Sore hari dirumah mas Deni,
Tiara menangis histeris, tak biasanya ia seperti ini. Neneknya memeriksa kalau-kalau ada luka dibagian tubuh yang membuatnya kesakitan. Benar saja, badan bayi itu demam tinggi."Den !!! Den !!! ke sini cepat Den !!!" teriak ibu Ilma"ada apa bu?" tanya Deni bergesas"Tiara demam tinggi Den, kita harus membawanya ke dokter sekarang, Den. Cepat" ibu Ilma panikDeni memeriksa tubuh putrinya, karena sepulang dari gedung pernikahan anaknya itu masih sehat. Tapi benar saja, badan bayi itu sangat panas. Bahkan tangannya pun reflek ditarik begitu menyentuh dahi Tiara."Astaghfirulloh panas sekali, Deni siapkan motor dulu ya bu"Deni berlari ke ruang tamu, mencari-cari kunci motor yang biasanya tergantung di tembok. Tapi kali ini entah bersembunyi dimana. Ia berlari kesana kesini tapi tak juga menemukannya."bu, kunci motor Deni nggak tau dimana. Deni pesen ojek online saja ya biar cepat" kAku menyusuri lorong rumah sakit, aku meninggalkan ibu Ilma dirumahku. Karena kupikir mas Deni pasti keteteran jika harus menunggu dirumah sakit sendiri. Lagipun, Ibu Ilma sangat setuju jika aku kemari.Ku rapatkan langkahku dengan wajah mencari-cari kalau saja aku menemukan mas Deni. Beberapa kali aku bertanya kepada petugas, dimana rawat inap untuk bayi? lalu aku menuju kemana mereka mengarahkanku."mas Deni? bagaimana keadaan Tiara?" tanyaku mengagetkannya"kamu, kenapa bisa disini? ibu bagaimana?" mas Deni bingung"ibu ada dirumahku mas, kamu tenang aja" jawabkuia mengangguk, kemudian menundukkan kepalanya lagi. Raut ketakutan sangat tampak diwajahnya, pandangannya kosong. "kamu yang sabar ya mas, InsyaAlloh Tiara akan baik-baik saja" hiburkuTapi ia tak menjawab sepatah katapun. ia menunjuk ke arah dalam ruangan. Dimana tampak seorang anak berada dalam inkubator dengan beberapa alat menempel didadanya."aku nggak tau mesti gimana Nay, aku
Perlahan aku menepis tangan Hendi yang masih menempel dipundakku. Dia melepaskan tangan dengan raut kecewa. Mungkin niatnya sebatas perhatian dan menghiburku, tapi ada suatu hal yang harus kujaga. Apalagi setelah aku memutuskan untuk menerima wasiat dari Ilma. "Tadi kita udah nemuin mas Deni, alhamdulillah dia sudah lebih tenang karena kondisi Tiara pun sudah mulai stabil" kata Rifki"beneran Rif? aku dari tadi disini sampe nggak mantau perkembangan Tiara" tanyaku "tadi kebetulan pas aku disana dokter menjelaskan. Jadi, aku tau" jawabnya lagiRasanya lega sekali mendengar kabar itu. Kami bermalam di depan ruang rawat inap Tiara. Kami tidur sekenanya, Rifki dan Hendi duduk dibangku, aku dan Mei saling menyandar dengan duduk beralas tikar. Sementara mas Deni, masih menatap Tiara dari balik Kaca."Nay, boleh kita bicara sebentar?" tanya mas DeniAku mengangguk dan mengikuti langkahnya. Dia membawaku ke sebuah taman didepan rumah sakit."Nay...." kalimatnya te
"kalo kamu masih hina Nayra, aku nggak bakal nikahin kamu secara resmi !!!" ucap RaditDini terdiam, mulutnya dibungkam oleh pernyataan Radit. Rasanya ia tak rela jika ia tak menjadi nyonya Radit secara resmi."tinggal satu minggu lagi pernikahan kita, jangan sampai kubatalkan karena ocehanmu yang tidaj bermutu itu" Radit ngeluyur meninggalkan Dini yang masih berusaha meredamkan amarah. Dia berpikir seandainya ada mertuanya, ia tak perlu repot beradu argumen karena jelas sang mertua akan membelanya."kenapa jadi gini sih? kenapa mas Radit berubah, dia nggak sayang aku lagi" Dini terisak memegangi perutnya"Halo mah, iya aku pengin pulang besok ya mah" kata Dini menelpon"mamah nggak ada dirumah Din, mamah lagi diluar kota" jawab suara dari seberang"oh iya mah" Dini menutup telepon Wajahnya kecewa, seperti biasa ia hanya ingin berkumpul dengan ibunya tapi itu menjadi hal yang sangat sulit diwujudkan. Kare
"sementara kamu tinggal disini dulu aja, sampe mama kamu udah nggak marah lagi" ujar Nayra"tapi inget, kamu harus kasih tau mamamu biar nggak makin salah paham. Kemanapun kamu pergi, bagaimanapun sikap mamamu dia tetap harus dikasih tau kabarmu walau dia cuek" Ibu Nayra menasehatiDini mengangguk sambil menyeruput teh yang dihidangkan.*****Pulang sekolah Dini tak ke rumah Nayra, Ilma maupun Mei. Dia menghilang dari pengawasan teman-temannya."ayah, butuh uang Din" ucap seorang lelaki paruh baya"ayah butuh uang buat apalagi sih? ayah udah punya keluarga lagi harusnya ayah kerja dong buat keluarga ayah. Masa iya Dini terua yang ngasih uang buat ayah" jawab Dini"Din, cari kerja itu susah Din. Nggak segampang yang kamu pikir" sangkal sang ayah"itu salah ayah, kalo aja ayah nggak selingkuh. Usaha ayah nggak bakal bangkrut" Dini mulai geram"kamu sekarang jadi kurang ajar ya" "kan anak me
"kamu ngapain ngelamun di teras malem-malem Din?" tanya sang mertua mengagetkan Dini"foto siapa itu?" tanya ibu RaditDiambilnya sebuah ponsel yang sedang dipegang Dini. Foto lawas masa remaja Dini bersama teman-temannya. Wanita itu menghela nafas."kamu rindu sama mereka ya? kamu pasti ngrasa salah, ngrasa pengin akrab lagi tapi itu sangat sulit"Dini tak menjawab, tangannya mengelap pipinya yang sudah basah berlinang air mata. Ia tak berfikir jika sikap irinya dimasa lalu dia tuai saat ini."yang sudah ya sudah, sekarang kamu hanya perlu perbaiki diri. Dan mama harap maklum jika sikap Radit akhir-akhir ini sangat kasar"Dini mengangguk.******Dini masuk kamar dengan Radit yang sibuk menatap laptopnya. Sepertinya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Maklum saja, semenjak Dini ketahuan hamil ia memilih keluar dari tempatnya bekerja jadi pekerjaan yang seharusnya ia lakukan dilimpahkan ke karyawan lai
"tolong yang tidak berkepentingan untuk keluar dulu" ucap seorang perawatMas Deni memundurkan badannya yang semula ada di pintu masuk ruang rawat Tiara. horden ruangan segera ditutup, nyaris tak ada celah untuk mengintip."ada apa mas?" tanyaku yang baru saja sampai"tadi badan Tiara tiba-tiba panas, terus aku panggil perawat, tapi ..." aku mengusap pundaknya, aku tau dia tak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi apada putrinya. "Tiara anak kuat, dia akan kuat" lirikuSebenarnya aku sendiri tengah sibuk dengan pikiran terburuk yang aku ciptakan. Bagaimana tidak? melihat para petugas medis yang sebegitu panik pastilah sebagai orang awam aku berpikir sesuatu bahaya terjadi pada Tiara."Assalamu'alaikum Mei, kamu cepet kesini ya sama Rifki" kataku lewat sambungan telephon.Mereka mengiyakan saja apa permintaanku. Aku takut kalau-kalau sesuatu terjadi, setidaknya ada mereka disini.Lima
"Tiara semakin kritis" lirih mas Deni dengan kepala tertundukwajahnya sangat lesu, nyaris tak ada raut semangat tampak. Kami semua terdiam, tak tau jawaban apa yang harus kami keluarkan untuk menghiburnya.Dia duduk disampingku dengan kepala menunduk disangga oleh kedua tangannya. Kami larut dalam pikiran masing masing sambil berharap akan ada kabar baik selanjutnya.****"aku pulang, bu"aku menutup pintu, tak kulihat siapapun diruang tamu. mungkin ibu dan bu dhe sedang istirahat. Ku tengok kamar ibu, tampak ibu tengah sholat. Kucari cari bu dhe diruang tengah. Beliau sedang duduk memandangi jendela."bu dhe sedang apa?" tanyakuBeliau tersentak kaget, ternyata ia tengah asik dalam lamunannya sampai tak menyadari kedatanganku."kamu sudah pulang Nay? gimana keadaan Tiara?"Aku tau pertanyaan itu yang akan muncul saat pertama kali bertemu. Aku kelu untuk mengatakan keadaan sebenarnya. Tapi, memang seha
Aku sampai rumah sakit tepat saat hujan mulai turun. Sangat lebat dan tiba-tiba. Aku menyiprat-nyipratkan ujung kardiganku yang sedikit basah.Langkahku kupercepat, dengan menenteng dokumen yang dibutuhkan mas Radit untuk perawatan Tiara."dimana mereka, kenapa disini nggak ada?" Aku menoleh kanan kiri berharap Mas Deni, Mei ataupun mereka ada di sekitarku. Tapi nihil, tak satupun dari mereka yang kujumpai.Kuputuskan saja untuk melihat kondisi Tiara dari balik Jendela dengan tirai sedikit membuka, cukup untuk mengintipnya."kok nggak ada? Tiara nggak di incubatornya? oh mungkin ada di ruang rawat inap. Baguslah berarti dia sudah membaik" gumamkuAku berjalan dengan raut ceria, langkahku semakin cepat karena ingin segera menemui Tiara."maaf mbak, mau menjenguk siapa?" tanya seorang perawat laki-laki"saya mau liat keadaan dede Tiara, mas" jawabku semangat"Tapi disini hanya ada tiga bayi dan semuanya