“Piceus!”Bella memekik dan berlari cepat melintasi tanah landai tatkala kuda hitam gagah itu terlihat dalam pandangannya.“Piceus! Ya Tuhan!”Kuda itu meringkik keras dan menendang-nendang tanah mendengar suara Bella.Bella tertawa, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh lembut puncak kepala Piceus. Dia menjadi lebih tenang, kemudian mendenguskan napasnya ke telapak tangan Bella.“Dia baik-baik saja, Damian!” sahut Bella pada Damian yang menyusul di belakang.Damian terkekeh dan bergegas mendekat. “Aku tahu dia kuda yang cerdas,” ucapnya. Saat penyerangan itu terjadi, rupanya Piceus bersembunyi di belakang tumpukan jerami yang berada di ujung hutan.Damian sempat berpikir kalau Piceus kabur melewati dinding pembatas, sebab terkejut oleh suara tembakan yang menggelegar. Tetapi rupanya dia cukup cerdik dengan tidak menampakkan diri pada dua pria penyerang itu. Damian bersyukur Piceus bisa ditemukan kembali, tanpa lecet sedikit pun.Sore ini, Piceus dibawa ke kandangnya, bergabung dengan
Bagaimana mungkin ia bisa mengenakannya di depan Damian?Bella termangu di tempat, tatapannya terpaku pada beberapa lembar gaun tidur mahal yang diberikan oleh ibu mertuanya. Kainnya tipis dan halus, terbuat dari sutra dengan hiasan renda di bagian atasnya. Potongan dadanya berbentuk V, sementara panjangnya hanya sebatas paha atas Bella.Katanya, gaun itu adalah keluaran terbaru untuk dipajang di butik ibu mertuanya. Dia memberikan beberapa pada Bella untuk dikenakan.Bella meraih satu gaun berwarna hitam dan mendekat ke cermin. Ibu mertuanya menyuruhnya untuk mengenakannya malam ini, mengingat Damian pasti akan menyukainya.Jadi, ini yang mereka bicarakan lewat tatapan mata mereka.Hanya dengan membayangkan reaksi Damian, pipi Bella jadi terbakar. Ia tahu benar Damian akan menyukainya, tetapi ia merasa malu untuk memakainya.Bella melirik jam dan menggigit-gigiti bibir. Setelah makan malam, Damian pergi ke sayap barat untuk melakukan diskusi dengan anggota organisasinya. Sudah seteng
Van mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan gusar. Matanya terus tertuju pada pintu yang tertutup, menunggu sang kepala pelayan untuk menampakkan diri.Malam ini, ia berniat untuk menunjukkan dirinya pada Helena.Setelah berjam-jam memikirkan hal itu, ia pikir inilah waktu yang tepat. Van tidak bisa terus bersembunyi dari wanita itu dan menunggu sampai ia menemukan putrinya.Van sangat ingin tahu bagaimana reaksi Helena ketika melihatnya. Wanita itu jelas akan syok berat, tetapi lebih dari itu, ia penasaran apakah Helena masih melihatnya sebagai pria yang sama.Pria yang dia cintai selama bertahun-tahun, sampai ia terpaksa pergi karena membutuhkan uang. Van menyesali sikapnya waktu itu, namun tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya.Masa lalu hanya masa lalu. Meskipun faktanya, masa lalu lah yang menentukan masa depan seseorang.Van menarik napas panjang, tetapi rasa gelisah di hatinya hanya semakin bertambah. Jantungnya berdentum keras, keringat dingin mulai membasahi t
Damian berjalan cepat menuju pintu markas. Penjaga menyapanya seperti biasa dan ia mengangguk singkat sebagai jawaban.“Selamat pagi, Tuan Damian!”“Selamat pagi,” balas Damian, melambai ringan pada beberapa anggota yang bergantian menyapanya.Ia langsung berjalan menuju ruang penyimpanan senjata, dan mengeluarkan beberapa pistol rakitan ayahnya. Damian ingin mengganti pistolnya yang sempat lecet saat menghadapi kekacauan di Rainelle.Ada banyak hal yang perlu diurus hari ini.Massimo memberitahu bahwa Ymar tidak bisa ditemukan di mana pun. Dia sengaja disembunyikan di suatu tempat. Massimo bahkan pergi ke tempat tinju liar di Rainelle setiap malam, tetapi mereka (Ymar dan Lester) tidak pernah menampakkan diri lagi. Mereka bermain dengan rapi.Andrius juga memberi kabar tentang Axel yang menolak untuk bicara sampai akhir. Dia akan dieksekusi hari ini, sebab tidak ada gunanya lagi untuk mempertahankannya.Terakhir adalah pembahasan tentang organisasi Paman Velvet yang telah tumbang. Si
“Butik sengaja dikosongkan hari ini, jadi kita bisa melihat koleksi terbaru dengan lebih leluasa, Sayang.”Bella tersenyum dan mengamit lengan ibu mertuanya. Ia diajak untuk berkunjung ke butik hari ini, mengingat Damian harus pergi ke markasnya di Alderson. Dia baru akan kembali menjelang makan malam.Bella sejujurnya tak lagi merasa takut, tetapi ia tetap mengawasi sekitar dengan waspada. Pistol mininya berada dalam tas selempangnya. Damian memberitahunya untuk tetap membawanya, sekalipun ia hanya pergi ke butik bersama ibunya.“Apa kau memakai gaun tidur yang Ibu berikan?”Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Bella lengah. Ia langsung tersipu mengingat kejadian semalam. ”Iya, Ibu,” jawabnya dengan suara pelan.Mirabesy tersenyum tipis. Tak perlu bertanya lebih jauh, hanya melihat rona merah di wajah gadis itu, ia sudah bisa menebak apa yang terjadi. “Ibu harap kau menyukainya,” ucapnya, lantas menarik Bella untuk memasuki butik. Beberapa karyawan menyambut mereka dengan hormat.“Aku m
Damian:[Apa kau masih di sana, Sayangku?][Aku menunggumu di sini.][Aku merindukanmu.]Wajah Bella berseri-seri ketika melihat tiga pesan berturut-turut yang dikirim oleh Damian. Meskipun masih sore, dia rupanya pulang lebih awal dan kini menunggunya di mansion.Bella melirik ibu mertuanya yang masih berbicara dengan karyawan, dan buru-buru mengetik pesan balasan.Bella:[Kami akan pulang sebentar lagi.][Dan aku juga sangat merindukanmu.]Bella menekan tombol ‘send’ dan menyimpan ponselnya ke dalam tas selempang. Ia sudah cukup mahir dalam mengoperasikan ponsel, terutama saat mengetik pesan.Ibu mertuanya akhirnya menutup pembicaraan dan melambai pelan. “Maaf agak lama, Nak. Ibu harus memberi pengarahan sebelum datang mengecek sebulan lagi,” jelasnya.Bella mengangguk mengerti. Ibu mertuanya tersenyum dan menarik tangannya menuju supir yang telah menunggu. Beberapa tas kertas berisi gaun memenuhi tangan kanannya, itu adalah gaun yang akan ia pakai sebagai pasangan Damian di pesta b
Damian terbangun mendengar suara berisik dari halaman belakang. Ia meraba sisi ranjang yang dingin dan membuka mata. Bella sudah lama bangun, pikirnya. Hari telah cerah di luar, sinar matahari menelusup ke dalam kamar. Cabang-cabang pinus yang bergoyang tertiup angin terdengar bersama kicauan burung. Damian melirik jam, hampir pukul sembilan pagi. “Astaga,” gumamnya, beranjak bangun dari kasur. Ia tidur terlalu lama dan kepalanya sakit karena minum alkohol sebotol penuh semalam. Ia bergegas ke kamar mandi, sekadar mencuci muka dan berganti baju. Damian mengambil obat dan langsung pergi ke aula utama. Dari balik jendela kaca, ia bisa melihat Bella yang tengah berbicara dengan Erina dan Verona. Rupanya, suara berisik itu berasal dari mereka. Damian tersenyum, senang gadis itu bisa menikmati waktunya bersama teman-temannya. Damian sendiri memiliki diskusi dengan ayahnya, jadi ia tidak akan mengganggu Bella. Pesta Evren katanya akan diselenggarakan dalam dua minggu. Ada beberap
“Apa kau pernah membayangkan hidup di luar sana tanpa terjerat dengan bisnis ilegal?”Damian yang sedang menyandarkan kepalanya di bathtub perlahan membuka mata. Bella tak lagi bersandar di dadanya, kepalanya menengadah, menatap ekspresinya dengan penasaran.“Ya, sering,” desah Damian, tersenyum tipis. Tetapi, tatapannya terlihat pahit dan menyakitkan untuk dilihat. “Kau tahu, itu hanya sebatas imajinasi. Aku membayangkannya ketika pekerjaan membuatku stres. Atau ada masalah yang terjadi organisasi kami. Tapi itu dulu.”“Dan sekarang?”“Sekarang aku sudah bisa menerima segalanya,” jawab Damian, mengembuskan napas.Bella mengangguk dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Damian. Mereka hanya berendam di bathtub sejak 15 menit yang lalu tanpa melakukan apa pun. Bella rebah di tubuh Damian, sementara tangan pria itu memeluk perutnya.“Dan kau sendiri?” Damian balik bertanya.“Aku juga sering membayangkannya saat masih menjadi budak.” Bella meraih tangan Damian dan menjalin jemari mere