Ucapan selamat datang yang diucapkan oleh Allora bukan hanya ancaman belaka. Gadis itu benar-benar membuktikan kalimatnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah Camilla. Allora pandai mencari muka di depan Dean dan terutama di depan Miller. "Miller, kamu sudah kembali?" ucap Allora suatu sore. Miller melepaskan sepatunya dan bersandar di sofa lebar dengan wajah lelah. "Bagaimana Milla hari ini?""Huft ... Seharian ini dia menolak untuk kusuapi, semua makanan yang sudah kubuatkan untuknya dibuang dan dia mengira aku memberikan racun di makanan itu." Allora menjelaskan sambil membawakan tempat sampah yang isinya penuh dengan makanan. "Nih, lihatlah!"Kepala Miller terulur sedikit untuk melongok ke arah tempat sampah kecil itu. "Jadi, dia belum makan? Apakah aku harus memakai perawat untuk mengurusnya?"Namun, Allora menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, Miller. Bagaimanapun kamu pernah ada di hidupku dan Camilla tetap menjadi kakak iparku.""Aku akan terus berusaha supaya Camil
Usaha Allora untuk menjerat Miller di hatinya, tidak tanggung-tanggung. Gadis itu selalu datang dengan memakai pakaian yang dibelikan oleh mantan suaminya itu. Selain itu, Allora juga mengubah rambutnya seperti dulu dan terkadang, dia memasak makanan kesukaan Miller. Tentu saja hal itu membuat kemarahan Camilla semakin meradang. "Sayang, aku perhatikan akhir-akhir ini kamu dekat dengan Allora? Bahkan kemarin malam, kamu menawarkan diri untuk mengantarnya pulang," tanya Camilla suatu malam. Miller meletakkan ponselnya. "Aku hanya berusaha baik padanya, Sayang. Dia sudah banyak membantumu."Camilla berdecih kasar. "Cih! Apanya yang membantu? Apa kamu masih tidak mempercayaiku?""Aku memasang kamera pengawas dan dia baik-baik saja padamu, Milla. Maksudku, aku tidak tau apa yang terjadi padamu. Kamu baru saja kehilangan sesuatu yang besar dan traumamu belum sepenuhnya hilang." Miller beranjak dari ranjangnya dan membuka laptop tipisnya. Pria itu memperlihatkan rekaman kamera pengawas
"Sekarang kamu sudah tidak pernah menemuiku lagi, Allora! Kamu telah berpaling atau suamimu mengetahui hubungan kita?" tanya Dominic Cortez. Pada malam Allora berciuman panas dengan Miller, Dominic menghubunginya dan meminta gadis itu untuk segera menemuinya. "Aku tidak melupakanmu, Sayang. Aku sedang mengerjakan sebuah proyek besar." Allora berdalih sambil memalingkan wajahnya. Dominic menghampiri dan memulas bibir gadis manis itu dengan jarinya. "Apa proyekmu itu membuat pewarna bibirmu memudar?"Dengan kasar, Dominic melumat benda kenyal yang menggairahkan itu. "Hmm, red wine. Dengan siapa kamu tadi? Apakah dengan suamimu?""Mantan!" Allora menyahut kesal. Dia tidak suka pria itu mulai menginterogasinya. "Dengar, Cortez! Aku bukan milikmu, jadi, berhentilah untuk bersikap seolah aku milikmu!"Dominic menjauh dan menyesap birnya. "Kamu memang milikku, Allora Sayang! Kalau kamu tidak setuju, aku akan menjebloskanmu ke dalam penjara dan apa yang telah kita lakukan selama ini, akan
Acara makan malam yang berakhir dengan gairah semu itu, berhasil membuat Miller menjadi sosok pria yang sering termenung. Tentu saja, perubahan suaminya itu tak luput dari perhatian Camilla. "Apa kamu sedang ada masalah, Sayang? Kuperhatikan akhir-akhir ini kamu sering termenung?""Oh, t-tidak ada, Sayang," jawab Miller. Kemudian, kedua maniknya tertuju pada tongkat Camilla. "Ke mana kursi rodamu?"Camilla tersenyum dengan angkuh. "Kamu terlalu sibuk dengan pikiranmu sendiri sampai kamu tidak sadar kalau aku sudah dapat menggerakkan kakiku sendiri.""Lalu? Bagaimana dengan Allora? Bukankah kemarin dia masih datang ke sini?" Miller bertanya dengan jantung berdegup kencang. Pria itu mengerahkan seluruh kemampuan mengingatnya. Kapan terakhir kali dia melihat Allora di sini? "Aku sudah tidak membutuhkan dia lagi. Tapi, kenapa kamu bertanya tentang dia, bukan tentangku? Apa ada yang kulewatkan?" tanya Camilla. Dengan langkah tertatih, dia berjalan menggunakan tongkatnya hanya untuk me
Penyangkalan, penolakan, serta tak percaya. Itulah yang dirasakan oleh Camilla. Rumah tangganya kembali hancur oleh karena gadis yang sama. Camilla bukanlah sosok wanita yang memiliki banyak teman. Begitu dia menikah, dia akan benar-benar mengabdikan hidupnya pada sang suami. Kini, dia tak tahu ke mana harus membagi ceritanya. Namun, tiba-tiba terlintas nama Aaron Emerson di benaknya. "Maafkan aku karena mengganggu istirahatmu," ucap Camilla sungkan. Aaron menyeringai lebar. Dia menggelengkan kepalanya. "Tak masalah. Itu tandanya, kamu sudah percaya padaku dan aku merasa sukses menjadi konsultan kamu.""Tapi, kenapa kamu ingin bertemu denganku? Apa ada yang ingin kamu ceritakan?" Aaron bertanya sambil mengambil seraup kacang dari sebuah piring datar. Sejujurnya, Camilla sedikit ragu untuk menceritakan apa yang terjadi di hidupnya. Dia menggigit bibirnya, lalu, tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku tidak ingin sendiri malam ini."Ingatan wanita itu terlempar saat pertama kali dia dan Mi
"Siapa Gadis Jalang itu, huh? Pemuas nafsumu yang baru?" Allora bertanya dengan pedas pada Max saat pria itu kembali ke rumah malam harinya. Max berlalu dengan santai, seakan tidak mendengar pertanyaan dari istrinya. Sikap Max yang cuek itu membuat Allora semakin kesal. Dia menghadang langkah pria berstatus suaminya. "Jawab aku, Max!""Aku rasa aku tidak perlu memberikanmu jawaban. Kamu sudah tau jawabannya, kan?" jawab Max kalem. Gigi Allora menggeletuk, menahan emosi. "Eergghh! Max! Kenapa kamu lakukan itu padaku? Apa kurangnya aku?""Aku lakukan segalanya untukmu, untuk Alex, dan untuk kita! Tapi, kenapa kamu mengkhianatiku? Tega sekali!" Air mata Allora jatuh tanpa diperintah. Sakit! Itulah yang dirasakan oleh ibu muda tersebut. Tak pernah terpikirkan olehnya kalau Max akan tega berselingkuh darinya. Diserang seperti itu, Max hanya menggelengkan kepala dan masuk ke dalam kamar. Lagi-lagi, Allora menghadangnya. "Jawab aku, Max! Kenapa kamu sampai hati berpaling dariku?""Di m
"Aarrgghhh! Gladys Knight! Siapa gadis itu sampai membuat Max tergila-gila padanya! Ooh, aku benci sekali padanya!"Allora mengepalkan kedua tangannya dan berteriak dengan geram. "Ergh! Aku kesal sekali!""Siapa yang sudah membuat Gadisku kesal?" Seorang pria tiba-tiba memeluknya dari belakang dan mengecup ceruk lehernya. Allora terdiam. Gadis itu pun merasa aneh, mengapa dia kesal? Saat ini, dia punya dua orang pria yang menggilainya, kenapa harus Max?"Aku tadi mendengar teriakanmu dan kamu menyebut nama seseorang dan nama Max. Apa aku salah dengar?" tanya pria itu lagi. Gadis itu tersenyum gugup. "B-begitukah? Ah ... Hahaha! Kamu pasti salah dengar, Sayang."Seakan tak peduli, laki-laki itu terus saja melanjutkan kesibukannya. Bermain-main dengan area sensitif Allora. Walaupun demikian, Allora tidak pernah bosan dengan aktivitas terlarangnya itu. "Dominic, buatlah jejak di sepanjang tubuhku!" Segera saja gadis itu membuka handuk mandinya dan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang m
Suasana di rumah itu hening, hanya terdengar isak tangis dari seorang wanita di ruangan yang berbeda. "Aku tidak mau bercerai dan sampai kapan pun, aku tidak mau berpisah darimu!" tukas Allora panas. Hatinya terasa panas saat Max mengungkapkan keinginannya untuk bercerai darinya. Dunia gadis itu seakan runtuh dan entah mengapa, dia merasa sakit karena ucapan suaminya tersebut. Butiran bening yang berasal dari kesesakan di hatinya bergulir cepat. "Max, apa kamu mendengarkan permintaanku?""Entahlah, Allora! Hatiku sudah mati untukmu. Aku lelah. Kamu sudah menghancurkan hidupku dan sku tidak mau kamu menghancurkan hidupku lagi untuk kedua kalinya." Wajah Max tampak dingin, begitu pula suaranya. Allora seakan tertampar oleh pernyataan Max itu. Dari dulu, dia merasa Max-lah yang mendekati dia lebih dulu. "Fitnah! Tuduhanmu itu tanpa landasan, Max! Sejak awal, kamulah yang menggodaku! Camilla tidak bisa memiliki anak laki-laki dan seratus persen hatimu, kamu berikan padaku!" protes g