Selama perjalanan pulang, Edgar terus memikirkan ide yang Franklin berikan tadi.“Mengajaknya jalan-jalan, hmm?” tanya Edgar tertegun sendiri sambil tangannya terus bergerak lincah di atas setir. pemandangannya lurus memandangi jalan di depannya. Namun, pikiran melayang ke orang lain. Memikirkan Loli.Ketika sudah tiba di area parkir apartemennya. Edgar menghentikan mobilnya, dan melompat keluar.Edgar naik lift yang segera melesat menuju apartemennya berada. Bunyi penyok mengiringi ketika pintu lift terbuka.“Hah….” Edgar melepaskan napas kasar dan berat saat Lolita menyambut kedatangannya dengan duduk di sofa sambil memainkan flashdisk di tangan."Om, ingat aturannya ya. Jangan membawa wanita dan bercinta di sini, dan jangan pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Om paham kan?" tanya Lolita memutar, melempar, lalu menggenggam benda kecil berwarna biru tua itu di tangan kecurigaan.Edgar menggeram pelan, berusaha menahan amarah. Dia buru-buru menarik napas dalam dan membuangnya untu
Lolita dan Edgar kini berjalan menuju butik langganan Edgar, setelah kenyang makan di restoran mewah.Lolita tadi merinding melihat bill saat Edgar hendak membayar makanan mereka. Hampir seribu dolar dihabiskan hanya untuk makan satu kali. Uang yang sangat banyak. Memang sih itu bukan apa-apa bagi Edgar, tapi bagi Lolita itu uang yang sangat banyak dan sayang dihabiskan hanya untuk membeli makanan.Memikirkan hal itu membuat Lolita berjalan lebih lambat dari Edgar. Pria itu sudah jalan jauh di depannya. Lolita tersadar dan berlari menyusul Edgar.Saat sudah sejajar dengan Edgar, Lolita melirik kedua tangan pria itu yang terselip di saku celana. Dengan sengaja Edgar menghindari bergandeng tangan dengan Lolita. Sekali lagi Edgar menegaskan dalam hati. Ini bukan kencan!"Om ….""Hmmm …" balas Edgar hanya dengan sebuah deheman."Bukan apa-apa." Lolita seketika melempar pandangan ke arah lain. Awalnya dia ingin memberikan flashdisknya sekarang karena Edgar sudah membelikan makanan enak un
Di pintu masuk Central Park, Lolita turun dari mobil dengan pandangan kagum. Ini tempat romantis yang sering dibicarakan banyak orang. Ternyata seindah ini."Kau masuk dulu, aku pergi sebentar. Ada urusan yang harus aku selesaikan. Aku segera kembali," ucap Edgar setelah menerima panggilan dari Franklin yang mengatakan jika para investor datang ke perusahaan untuk bertemu dengannya."Siap, Om," jawab Lolita berusaha menutupi rasa kecewanya. Dia melihat Edgar masuk ke dalam mobil, lalu mobil itu melaju meninggalkan Lolita yang masih berdiri di tempatnya. Angin yang berhembus pelan menerpa wajahnya, Lolita merutuki kebodohannya. Kenapa juga tadi dia tidak membawa jaket? Udara sekarang sedang dingin, dan dia hanya memakai dress tanpa lengan.Lolita memutuskan untuk masuk ke Central Park sambil sesekali memeluk tubuhnya sendiri, berharap itu membuatnya lebih hangat.Lolita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat banyak pengunjung berpasangan dan sedang menikmati waktu mereka bersama
"Edgar?" balas Jones berdiri dari tempat duduk dan mengarahkan tatapan tak sukanya pada Edgar.Sedang, Edgar langsung menarik Lolita ke arahnya, mengambil tas gadis itu dan langsung mengajaknya pergi.Lolita buru-buru mengusap air matanya sebelum Edgar tahu. Dia menyeimbangkan langkah Edgar yang cepat dan tegas."Kenapa kau bisa bersama pria tadi?" tanya Edgar setelah dia menghentikan langkahnya. Mereka sekarang berada di tengah Central Park, cukup jauh dari jangkauan Jones.Lolita tertegun sesaat ketika mendapati suara Edgar terselip nada tak suka. Mungkin kah pria itu cemburu?"Dia tadi menolongku, Om. Saat aku bertemu teman-temanku yang pernah membullyku," jawab Lolita terus menilik perubahan ekspresi wajah Edgar yang semula mengeras, menjadi sedikit tenang."Kau dibully?" Edgar bertanya dengan dahi berkerut.Lolita mengangguk pelan. "Iya. Maka dari itu aku benci sekolah dan teman-temanku."Setelah ucapan Lolita itu, tidak ada lagi yang terdengar hanya suara hembusan angin, dan ker
Setelah lelah berjalan-jalan. Lolita menjatuhkan dirinya di sofa sesampainya di apartemen. Loli merasa senang. Meski begitu, dia sedikit takut akan membuat marah Edgar tadi, karena dia telah lancang menyuapi pria itu coklat. Tapi, suasana hati yang tenang itu segera membaik. Sungguh melegakan.Edgar baru masuk sesudah dia mengambil semua pakaian Lolita dari mobil. Dia menempatkan ke sisi Lolita dengan sedikit melemparnya. "Ini semua pakaianmu.""Aku akan berangkat kerja sekarang. Jadi, mana flashdiskku? Berikan sekarang! Aku memerlukannya." Edgar menjulurkan tangan pemberitahuan, meminta flashdisknya. Dia sudah berkorban banyak hari ini. Jadi, sekarang giliran dia yang mendapatkan apa yang dia inginkan. Flashdisknya.Lolita tiba-tiba bangkit berdiri. Dia meraih tasnya dan mencari flashdisknya di sana. Semua barang sudah dia keluarkan, tapi benda berwarna biru gelap itu tidak segera dia temukan.Gerakannya berhenti begitu teringat kejadian tadi saat berada di Central Park. Kedua teman
Sepanjang perjalanan pulang, Edgar masih terngiang-ngiang perkataan Franklin. "Mana mungkin aku jatuh cinta dengan Lolita?" tanya Edgar pada dirinya sendiri sambil terus memutar setir saat melewati belokan di depannya.Edgar bergeleng pelan. "Itu tidak mungkin."Mobil Edgar berhenti saat sudah berada di parkiran apartemen. Edgar membawa dirinya ke unit apartemen miliknya dan tak mendapati Lolita di ruang tamu. Padahal biasanya gadis itu duduk menunggunya di sana.Entahlah. Edgar tak mau terlalu memikirkannya. Dia menggiring langkahnya menuju kamarnya. Namun, aroma lezat makanan yang tercium dari arah dapur menghentikan gerakan kakinya.Edgar bergerak menuju dapur, dia penasaran dari mana asal aroma lezat ini. Alisnya tertaut saat mendapati Lolita sibuk di dapur. Celemek terpasang di tubuh mungilnya, dan kedua tangannya lincah memotong sayuran, kemudian memeriksa daging yang tengah dipanggang di teflon. Gadis itu terlalu sibuk sampai tak menyadari keberadaan Edgar yang berdiri di bela
Edgar meninggalkan uang lima puluh dolar seperti biasanya untuk Lolita, tapi sekarang dia tambahkan lima puluh dolar lagi.Semalam Roy menghubunginya dan bertanya tentang Lolita. Suara Roy terdengar begitu khawatir, dan berubah lega setelah Edgar menjelaskan jika keadaan Lolita baik-baik saja. Roy berencana pulang bulan depan, tapi karena ada acara penting di rumah ibunya, Roy menunda kepulangannya. Dua bulan lagi Roy baru bisa pulang. Itu berarti waktu yang Lolita habiskan untuk menginap di apartemen Edgar juga semakin lama.Edgar mendengus pelan. Dia berbalik setelah meletakkan uang di atas meja makan, dan seketika terkejut melihat Lolita sudah berdiri di belakangnya."Sejak kapan kau ada di sana?" tanya Edgar menunjuk ke arah Lolita berdiri.Lolita tak menjawab pertanyaan Edgar. Dia berjalan menghampiri Edgar, dan mengecup pipi kanannya dengan berjinjit."Semangat kerjanya, Om," ucap Lolita tersenyum manis setelah mencium Edgar.Edgar sempat terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya
Nola enggan untuk pulang. Dia masih menunggu di luar ruangan Edgar sampai pria itu keluar dari sana. Beberapa karyawan yang lewat di depannya berbisik-bisik begitu melihat Nola. Beberapa dari mereka tampak kagum dan tak henti-hentinya memandangi Nola.Banyak orang yang mengenal Nola. Dia model menjadi brand ambasador produk fashion terkenal. Sebelumnya para investor perusahaan Beauty Corp memberikan saran agar Edgar memakai Nola untuk menjadi modelnya, karena di saat itu nama Nola sedang melambung-melambungnya. Tapi, Edgar menolak. Apapun yang terjadi Edgar tidak akan pernah memakai Nola sebagai modelnya, karena Edgar tak ingin lagi berhubungan dengan Nola. Dia berharap tak akan pernah bertemu lagi dengan Nola seumur hidupnya."Dia masih menunggu?" tanya Edgar kepada Franklin yang berdiri menunggu di dekat pintu ruangan yang masih dibiarkan terkunci.Franklin mengangguk. "Iya, Tuan. Dia masih berdiri di luar."Edgar mendengus. "Sifat keras kepalanya tidak berubah sama sekali," desis