"Mas Bimo? kamu ada dimana sekarang?" tanya Niken siang itu, melalui panggilan selulernya, saat mendapati, Bimo tak ada di ruangannya."Maaf Niken, aku ada urusan." jawab Bimo singkat."Yah, urusan apa sih? padahal baru aja, aku mau ajakin kamu makan siang!" rajuknya, tampak kesal."Maaf, lain kali saja. Sudah dulu ya." Bimo langsung mematikan ponselnya, supaya tak ada lagi, orang yang akan mengganggunya, membuat Niken berdecak kesal. Gadis didepan nya, tampak menatapnya dengan pandangan yang penuh tanya."Maaf, jadi kita dulu memang saling kenal ya?" tanyanya lagi, kepada gadis berlesung pipi itu.Kanaya tersenyum tipis, kemudian mengangguk."Ada banyak hal, yang ingin aku tunjukkan pada Kak Bimo." ucapnya, kemudian bangkit dari duduknya. "Kemana?" tanya Bimo, menatap gadis itu."Ayok." ajak Kanaya, kemudian mengambil kontak motornya.Tanpa banyak tanya lagi, Bimo pun kemudian mengikuti langkah gadis didepannya."Aku duduk di belakang? Gak mau ah, aku aja yang setir!" ucap pria ber
"Apa ini?" tanya Bimo, saat menerima bungkusan daun jati, yang berisikan lontong pecel. "Ini adalah favorit Kakak dulu, waktu aku masih berjualan di sekitar kampus." jelas Kanaya. Bimo segera membuka bungkusan itu, yang sudah di letakkan di atas piring."Baunya enak," ucapnya segera menyendok potongan lontong itu, yang sudah bercampur dengan sayuran dan bumbu kacang. "Bismillâh dulu Kak." peringat Kanaya, terkekeh."Oh iya, lupa." jawab pemuda berkuncir itu, tampak tersenyum malu.Tanpa menunggu lama, isi dalam daun jati itu, sudah tampak bersih, tak bersisa lagi.Kanaya yang memperhatikan semenjak tadi, tampak tersenyum puas."Enak ..besok aku mau lagi." ucap Bimo, segera mengambil gelas minuman yang di sodorkan oleh Kanaya, dan meneguk nya hingga habis."Boleh??" tanyanya, menatap wajah Kanaya. Gadis berlesung pipi itu, segera mengangguk sembari tersenyum lebar.Setelah berbasa-basi sebentar, Bimo pun kemudian pamit."Aku harus masuk hari ini, ada jadwal operasi jam 9 nanti." pa
Sepulang dari rumah sakit sore itu, Bimo tak ingin langsung pulang. "Kanaya sudah pulang belum ya, dari kuliahnya?" gumamnya merasa rindu, dengan gadis berlesung pipi itu. Terlihat langit mulai gelap, angin berhembus sedikit kacang, menghantarkan hawa dingin, pertanda hari akan hujan.Jam masih menunjukkan pukul setengah empat. Niken tampak berlari-lari, menghampiri pemuda berkuncir itu, di parkiran."Mas Bimo, aku ikut mobil kamu ya?" ujarnya, segera memegang lengan pemuda itu.Entah mengapa, Bimo kini merasa risih, di perlakukan seperti itu, oleh Niken."Maaf Niken, tapi aku tidak langsung pulang, aku masih ada janji dengan seseorang." tolak nya."Janji? janji sama siapa?" tanya Niken, terlihat curiga."Itu bukan urusan kamu Niken, sudah ya, kamu pulang naik mobil kamu sendiri saja." Bimo segera melepas pegangan tangan gadis itu, dan membuka mobilnya."Orang itu pasti perempuan kan?" Niken berkata dengan dingin, menahan pintu mobil Bimo."Itu bukan urusan kamu." jawab Bimo."Tetap
"Kanaya nya ada Bu?" tanya pemuda berkuncir itu, langsung pergi ke rumah makan Kanaya, karena ia merasa, gadis itu tidak akan langsung pulang ke rumahnya. Bu Tuti tampak terkejut, melihat tubuh Bimo yang basah, sore-sore begini datang mencari Kanaya."Nak Bimo, kenapa basah seperti ini? nanti kalau sakit bagaimana?" seru bu Tuti, tampak khawatir. Bimo tak menjawab, ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok Kanaya, di rumah makan itu... "Kanaya belum datang kemari Nak Bimo." jawab bu Tuti akhirnya, karena melihat wajah Bimo, yang tampak khawatir."Kalau begitu saya pamit ya Bu." pamit Bimo, mencium punggung tangan bu Tuti."Loh, tidak makan dulu Nak? setidaknya ganti dulu bajunya, biar ndak masuk angin.."Bimo menggeleng, sembari tersenyum tipis, kemudian segera masuk ke mobilnya lagi, dan berlalu.Bu Tuti, hanya dapat menatap heran, dengan tingkah pemuda barusan."Kemana Kanaya? apa dia pulang ke rumah?" gumamnya. "Sebaiknya aku pastikan dulu, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan
"Masa sih, Bimo bilang begitu Mah?" tanya Pak Rafli, membulatkan matanya."Iya Pah!!" jawab bu Slavina, mengangguk."Anak itu, tampaknya memang sudah ingin menikah." ucap Pak Rafli, tersenyum lebar."Tapi nih Pa, kata Niken, gadis yang sedang dekat dengan Bimo sekarang ini, adalah seorang penjual pecel." ucap bu Slavina, tampak tak suka. "Ya memangnya kenapa kalau jualan pecel?" jawab Pak Rafli, merasa heran."Ya masa sih, menantu kita seorang penjual pecel. Keluarga kita itu, hampir semuanya berprofesi dokter Pa..apa kata saudara-saudara yang lain coba, kalau lagi kumpul keluarga gitu, kan gak nyambung nanti dia, waktu di ajak ngobrol." ucap bu Slavina, kesal."Mama ini gimana sih, katanya bineka tunggal Ika.., justru keberagaman itu, membuat suasana menjadi lebih hidup, dan tidak monoton." bela pak Rafli, terhadap pilihan putranya."Lagian nih Ma, entah kenapa, Papa juga kurang sreg, kalau Bimo jadian sama Niken." "Lah, emang kenapa Pah? Niken kan cantik, baik, dokter juga, sama
"Jadi pemuda itu seorang dokter ya?" gumam Aryan, saat mengetahui status pemuda yang kini tengah dekat dengan Kanaya. Pria berumur 30 an itu, tampak mendesah pelan, setelah membaca profil tentang Bimo."Lulusan S2 ilmu kedokteran, dari sebuah Universitas di Inggris, usianya baru mau 26 tahun. Putra dari seorang direktur rumah sakit swasta terbesar di kota ini, yang juga seorang dokter." Aryan membaca ulang, biodata dari Bimo, sekali lagi."Sepertinya berat, jika harus bersaing dengan nya." gumam nya lagi, tampak lesu."Kenapa Kanaya bisa dekat dengan orang sepertinya?" lagi-lagi Aryan menghela nafas nya kasar."Tapi aku akan cari tahu dulu, sedekat apa sebenarnya, hubungan mereka berdua. Rasanya aku masih belum percaya, lelaki seperti nya, akan menjalin hubungan serius, dengan Kanaya yang masih sangat polos itu.Atau jangan-jangan, pemuda itu hanya akan memanfaatkan Kanaya??" gumam nya lagi, merasa gelisah.Mulai tadi, sibuk dengan pikirannya sendiri, Aryan akhirnya memutuskan untuk
"Anak itu ternyata manis juga ya Pah, dia juga sangat cekatan, Mama suka." ucap bu Slavina, sambil berbaring di sebelah suaminya."Iya, Papa juga merasa dia sangat cocok untuk Bimo. Mama dengar tadi? meski merangkak dari nol, kini penghasilannya, sudah ratusan juta. Papa sangat simpatik dengan orang-orang seperti itu, pantang menyerah, dan tak pernah berputus asa." jawab pak Rafli, mengagumi sosok calon menantunya itu."Mama setuju. Awalnya, waktu Niken bilang, Bimo dekat dengan gadis penjual pecel, bayangan Mama, gadis itu kampungan, dan tak akan bisa berbaur, dengan keluarga besar kita..Ternyata Mama salah, menyimak dari jawaban-jawaban yang terlontar dari mulut nya tadi, ternyata dia adalah gadis yang cerdas." ucap bu Slavina, juga mengagumi sosok Kanaya."Diajak ngobrol juga enak, nyambung anaknya.." ujarnya lagi."Ya sudah, ayo sekarang kita tidur dulu Mah, sudah malam, masalah Bimo dan gadis itu, biarlah sekarang mereka berdua yang memutuskan." ajak Pak Rafli, segera memeluk
"Ada apa Bu?" tanya Bimo, urung mengambil lauk pauk yang tampak menggiurkan di atas meja makan. "Orangtua Nak Bimo katanya mau kemari ya?" tanya bu Tuti, menatap wajah tampan Bimo, yang tampak segar dengan rambutnya yang sedikit basah."Iya benar, rencananya nanti malam." jawab Bimo tersenyum. "Kalau di undur sampai malam Kamis gimana Nak? ini nanti kan sudah malam selasa, jadi di tunda dua malam saja." ucap bu Tuti, sembari mengambilkan beberapa lauk, yang disukai oleh pemuda itu."Memangnya kenapa Bu?" tanya Bimo, kemudian menoleh ke arah Kanaya. "Bukan apa-apa, sebenarnya Ibu ingin sekalian sama selamatan pindah rumah, yang baru kami beli beberapa minggu lalu." ujar bu Tuti, tersenyum. "Ooh, jadi rumah itu sudah bisa di tempati ya?" tanya Bimo tampak antusias, karena ia juga sudah tahu, tentang pembelian rumah itu, dari Kanaya."Iya Nak, gimana..bisa kan?" tanya bu Tuti, tampak begitu berharap.Bimo tersenyum lebar, kemudian mengangguk."Baiklah Bu, nanti biar Bimo sampaikan ke