Xander melihat kapten Lewis yang datang dengan seorang prajurit di belakangnya, ia berdiri dan jari-jarinya memegang besi berkarat yang membatasi antara tahanan dan budak, dengan para buruh."Siang, Kapten. Terimakasih sudah mau datang kemari."Lewis terkekeh setelah melihat penampilan Xander. "Kau terlihat kacau, Nak. Aku sudah dengar semuanya, entah apa masalahmu tapi dapat kukatakan kalau tindakanmu sangat ceroboh.""Maafkan aku, Kapten. Karena telah membuat keonaran di atas kapalmu. Aku tidak bermaksud demikian.""Kami sudah menaruh mayatnya di dalam peti mati, sekarang apa yang ingin kau sampaikan, Xander?""Aku hanya ingin bertanya kapan kita tiba di Paramaribo, Kapten. Selain itu apakah aku bisa meminta tolong padamu, untuk mengirim telegram pada keluargaku setibanya nanti di pelabuhan?""Kemungkinan kita akan tiba dalam tiga pekan lagi, Kapten, dan untuk mengirim pesan ... aku tidak bisa menjamin karena saat di darat nanti, aku tidak memiliki kekuasaan. Tanggung jawabku hanya
Bara berjalan memegangi pundak orang-orang yang berjajar di sepanjang ruangan. "Aku benci melakukan ini, Dara. Tapi aku harus memastikan, jangan khawatirkan aku, cukup kalian doakan saja!""Apa maksudmu, Mas Bara?" tanya Diah."Apa yang aku lakukan? Kira-kira ingin melihat keadaan luar, aku cukup penasaran apakah ada yang menolong tuan itu?" Bara menatap Dara dan Diah bergantian."Kembalilah, Mas. Jangan gila! Ini sangat berbahaya," teriak Diah."Sebenarnya aku sudah terbiasa. Namun, badai di samudra berbeda dengan badai yang ada di selat." Setelah mengucapkan itu, Bara sudah tidak ada di pandangan mereka."Apa yang dia maksud? Dia benar-benar gila!" seru Dara.Di luar sana, beberapa prajurit nampak meneriakkan Xander yang masih berusaha bertahan hidup, mereka melemparkan sebuah benda mengembang yang sudah terikat dengan tali di pagar pembatas.Bara yang melihat mereka berteriak layaknya anak gadis, tidak tahan untuk mengumpat. "Berteriak seperti itu tidak akan membantu apa-apa, dasar
Setelah kesadaran Xander benar-benar terkumpul, ia berusaha untuk bangun dari tidurnya. Namun, kepalanya seperti ditekan oleh benda yang berat. Ia beberapa kali menggelengkan kepala. "Apa badai semalam sudah berhenti?""Badai berlangsung selama tiga hari, Tuan. Selama itu Anda tidak sadarkan diri setelah diselamatkan."Xander terkejut mendengar penuturan Dara, ia memandang gadis yang saat ini berjalan mendekat ke arahnya. "Siapa yang telah menyelamatkanku?""Seorang dari kami! Dia melompat dan berenang di tengah badai untuk menyelamatkan Anda," jawab Dara dengan nada yang ketus. Ia menuangkan segelas air untuk diberikan pada Xander meskipun hatinya enggan."Minumlah, Tuan. Aku sudah bosan berada di kamar ini untuk mengawasimu.""Kalau kau tidak suka mengapa kau lakukan?""Kami bisa apa? Kalian selalu memaksa kami untuk melakukan hal-hal di luar keinginan kami, setidaknya Anda sedikit berterima kasih, Tuan!""Kau pun tidak pernah mengucapkan terima kasih setelah aku selamatkan tiga kal
Xera merapatkan tubuhnya dengan Lembayang, telapak tangannya membekap bibir lelaki yang lebih tinggi darinya—memastikan agar Lembayang tetap diam dan tenang. Gadis itu menajamkan pendengarannya, takut kalau Ananta curiga dan mencari tahu. Saat keadaan mulai aman, ia menatap lurus pada netra hitam Lembayang, saat mata mereka bersiborok, keduanya merasa kikuk.Xera lebih dulu menurunkan tangannya dan berdeham untuk mencairkan kecanggungan. Gadis itu mundur dua langkah ke belakang, dan menyilangkan tangannya di depan dada. "Apa kau ingin mencelakakan kami dengan sikap bodohmu itu?" tanya Xera seraya memicingkan mata.Lembayang ternganga, selama ia hidup, belum pernah ada gadis yang mengatai dirinya bodoh. "Maaf, tadi aku tidak berpikir panjang."Xera menggelengkan kepalanya, dan bibirnya melengkung ke bawah. "Kau hampir saja membahayakan kami semua, kau harus ingat, ibu dan kakakku mengambil risiko besar dengan menyelamatkanmu dan adikmu."Lembayang tersenyum tipis, merasa tidak enak.
Roanna menaruh cincin yang tadi ia pungut ke atas meja, Ananta menatap benda kecil itu dalam diam dan ekspresinya terlihat sendu. Ia menyenderkan kepalanya pada punggung kursi yang menempel di dinding. Roanna menangkap perasaan yang terlihat dari wajah dan setiap gerakan Ananta. Lelaki ini sedang patah hati."Anda minum-minum sendiri saja? Di mana teman-teman Anda?" tanya Roanna.Masih dalam kondisi setengah mabuk, Ananta berusaha berbicara dengan fokus. "Aku memang datang sendiri ke bar ini, Nona, teman terbaikku adalah minuman ini." Ia menunjuk pada botol-botol brendi kosong."Aku juga datang sendiri ke bar ini." Roanna mengeluarkan sekotak cigarettes dari dalam tas tangannya, kemudian menghidupkan satu batang dan menghirup dengan nikmat."Jadi, bagaimana rupa gadis yang telah mematahkan hatimu, Tuan?" tanya Joanna sambil mengepulkan asap cigarettesnya ke langit-langit.Sebelum menjawab pertanyaan Roanna, Ananta mengankat botol kosong ke arah bartender sebagai kode. "Gadis yang san
Xander sudah bisa berbaur dengan para buruh dan beberapa tahanan seperti Dara. Orang-orang itu juga tidak merasa keberatan. Xander hanya menjadi pendengar, jarang sekali ia membuka mulut untuk berbicara.Di ruangan lainnya, Sundari terlihat sangat cantik mengenakan kebaya berwarna hitam. Pagi ini ia mendapatkan undangan minum teh bersama Kolonel Harland. Di atas meja kayu yang berbentuk bulat—aroma wentelteefjes dengan topping kayu manis, gula, dan sirup sangat menggugah selera. Secangkir kopi dituangkan dari teko berbahan keramik.Kolonel Graff melihat arlogi yang menggantung di saku bajunya. "Kurasa waktu sangat cepat berlalu, maafkan aku, Nona. Ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Kau nikmatilah sajian ini. Aku harus pamit.""Saya sedikit sedih, Kolonel. Aku kira kita akan berbicara lebih lama, aku sudah mulai bosan berbicara dengan Sati setiap harinya."Kolonel Graff terkekeh mendengar keluhan Sundari. "Kamu bisa mengajak para prajurit berbicara, Nona. Mereka tidak akan menyakiti
Di bawah panasnya matahari tropis, Dara menengadah wajahnya—menatap langit biru tanpa awan. wajahnya yang berkeringat memantulkan cahaya seperti butir-butir mutiara."Benar kata Bara, seharusnya aku memakai caping." Dara menyeka keringat yang menetes.Semenjak dua minggu yang lalu, ia di tempatkan di peternakan sapi perah dan kandang kuda yang terletak di dekat kebun tebu pabrik Marienberg. Bersama Diah dan beberapa wanita lainnya—mereka diberi tugas untuk mengumpulkan rumput-rumput segar.Dari jarak belasan meter, para prajurit yang mengawasi para pekerja menatap dengan pandangan lapar. Bahkan, tidak jarang di antara mereka ada yang melakukan pelecehan, dengan menepuk bokong buruh yang tidak sengaja mendekat. Dara mengambil ranting dari pohon waru yang ujungnya cukup tajam. "Akan aku congkel keluar bola mata mereka kalau berani macam-macam!""Semuanya berkumpul, kita akan kembali ke peternakan!" teriak salah seorang pengawas.Semua pekerja segera mengikat rumput yang berhasil mereka
Saat tangisan Diah sudah mereda dan merasa lebih tenang, mereka memutuskan untuk segera pulang. Dara dan Diah berjalan di belakang Xander. derap langkah pria kaukasia itu membuat Dara menjadi gugup, bahunya yang lebar membuat gadis itu merasa terlindungi. Rasa gentar yang tadi menjalar kini perlahan menghilang.Tidak ada pembicaraan diantara mereka, Diah sibuk dengan pikirannya sendiri. Dara terus merangkul gadis itu. Hanya Xander yang sesekali menengok ke belakang untuk memastikan. Saat matanya tidak sengaja bersiborok dengan tatapan Dara, gadis itu segera menundukkan kepalanya."Di depan ada pertigaan, kiri, kanan, atau lurus? Aku belum hafal tempat ini?" tanya Xander memecah keheningan."Tempat tinggal kami ada di sebelah kiri, Tuan," jawab Dara buru-buru.Dari kejauhan, terlihat deretan rumah-rumah sederhana yang saling berhadapan, atapnya terbuat dari ijuk dengan tinggi tiga meter. Ada satu buah jendela yang membuat sirkulasi udara menjadi sedikit lancar, ubin dan dindingnya terb