[Sambel Ijo]Septi_an : Gaes, galau nih gue:(AH Jaffar : Napa lo?Arnando Kusuma : Masih pagi, Njing.AH Jaffar : Auk dah. Baru juga bel, Nyet.Septi_an : Cius. Tara cuma read chat gue semalem.Septi_an : Sad:( Septi_an : Sekarang gue ngerasain apa yang Raka rasain dulu. Hebat lo, Ka, bisa bertahan berbulan-belunan ngadepin sikap cueknya Tara. @Raka Tasena Septi_an : Anj. Septi_an : RB 3, tapi gak ada yg respon.Septi_an : @Raka Tasena kasih tips buat deketin Tara, dong:(AH Jaffar : Jangan ngaco. Kalau Raka punya tips nggak bakal deh dia putus sama Tara.Septi_an : Cara PDKT doang, deh:(Arnando Kusuma : Maksa, Njing.Septi_an : Kaaaaa:((Raka Tasena : Lo nanya k siapa?Septi_an : Ke elo lah, bangsyatttt. [Read by 3]Septi_an : Woi!Septi_an : Kentut babi lo semua :( [Read by 3]“Septian La Fazza... asyik banget kayaknya di sana.” Suara bu Nia menggema ke seluruh ruangan yang sedang hening. Atensi seluruh siswa yang semula tertuju pada papan tulis ya
Hari ini tepat tanggal duapuluh satu Desember, Karina dan Tara bertambah usia. Tepat tujuh belas tahun sejak pukul 00.00 tadi, Karina menelepon temannya, mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun lalu berdoa semoga harapan di usia yang menginjak fase dewasa ini tercapai.“Jangan lupa nanti siang, ya,” ujar Karina di seberang sana. Terdengar perempuan itu menguap di akhirnya.“Iya, nanti gue jemput lo, ya.”Karina mendengus. “Mentang-mentang udah jadi keluarga kaya, lo mau jemput gue.”Tara tergelak. “Gue berusaha memanfaatkan fasilitas yang disediakan, gak mungkin juga gue nyuruh Dio.”“Kalau mau ajak Dio juga gak pa-pa.” Nada semangat dari Karina sangat jelas tertangkap olehnya. Bukan hal yang aneh sejak Karina pertama kali berkunjung ke rumah Tara tahun lalu, perempuan itu langsung tertarik dengan Dio yang memasang wajah dingin saat itu. Karina senang beradu mulut dengan Dio yang juga bermulut pedas.“Nggak. Kita berdua aja.”“Serius, gak pa-pa, Tar.”“Nanti siang di Richeese. Goo
Tara baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat Eva duduk di atas tempat tidrunya dengan cemas. Ia baru selesai memasukan barang-barangnya ke dalam tas untuk keperluan di puncak nanti.“Kenapa, Bu?”“Kamu gak bilang sama papa kalau kemarin gak jadi ke Makassar?”Tara mengusap tengkuknya menggunakan handuk. Ia memang tidak memberitahu Farhan seperti yang disarankan Karina tempo hari, dan mematikan ponsel sejak dua hari yang lalu.“Dek?” “Uh, iya. Lupa.”Eva menghela napas kasar. “Ya ampun, Papa telepon Ibu dan Dio dari kemarin. Kamu tahu kan Ibu lagi sibuk-sibuknya di kantor kalau akhir tahun gini, Ibu juga gak sempat jelasin kemarin.”Tara mengangguk paham, bahkan ia melihat Honda Brio yang dikendarai Eva baru ada di garasi tadi subuh, bersamaan dengan mobil kantor milik Arsen. “Maaf, Bu.”“Terus kenapa kamu gak bisa dihubungi?”“Hapenya aku matiin.”“Bagus, ya. kamu sengaja menghindari Papa dan limpahin ini semua ke Ibu. Ibu udah capek sama ke
Esoknya, Setelah sarapan di restoran hotel Tara dan Kaila sudah bersiap di lobi menunggu Dio, mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar hotel.Tara menatap orang lalu-lalang dengan bosan, di sampingnya Kaila sedang asik bermain ponsel. Arsen dan Eva sendiri sudah lebih dulu pergi.“Yuk.” Dio menghampiri keduanya. Lalu mereka berjalan bersisian menuju Cimory Riverside karena jarak antara hotel dengan tempat yang mereka tuju tidak sampai satu kilo meter.Kaila menelepon Arsen, menanyakan posisi orang tuanya saat ini karena mereka sudah lebih dulu sampai. Tara dan Dio yang tak jauh darinya hanya menatap bosan sekitar, kenapa juga Arsen dan Eva harus pergi lebih dulu dan membuat mereka pusing.Ia menghampiri keduanya. “Papa gak angkat telepon. Kita duluan aja.”“Bilang aja mereka pengin berduaan, gak mau diganggu,” gerutu Tara.Setelah Kaila membayar tiket masuk ke Cimory River Walk, mereka berjalan di tepi sungai menggunakan jembatan bambu unik karena Hutan Cimory ini terletak di sebe
Sedari tadi Kaila sibuk ketawa-ketiwi mendengar suara Raka lewat telepon, ia berguling ke sana-ke mari menghabiskan tempat di kasur.“Eh, aku udah beli mug buat kamu, lho.”“Hah? Mug paan?”Kaila berdecak kesal. “Ih, kan tadi siang aku udah bilang ada mug lucu.”“Oh, iya. Makasih, ya, Kai.”“Woi, bakar yang bener!”“Heh, ngebucin aja kerjaan lo, bantuin, nih!”Terdengar suara Tian dan Jaffar di sana.Kaila tertawa. “Ya udah, sana bantuin temen-temen kamu dulu.”“Oke deh, nanti tengah malem aku telepon lagi, ya.”“Dah...”Setelah telepon ditutup, Kaila memeluk bantal dengan gemas, lalu menggulingkan tubuhnya lagi.Tara yang sejak tadi mendengar obrolan mereka dan memilih pura-pura tuli bangkit dari single sofa yang menghadap ke balkon, kemudian menoleh pada saudara tirinya. “Udah teleponnya? Keluar yuk, yang lain pasti udah nungguin.”“Hm, oke, wait, Tar.” Kaila membenarkan ikatan rambutnya, lalu memakai sweater pink favoritnya.Pukul sepuluh malam, Arsen, Eva dan Dio sudah di kolam re
Tara dan Kaila menuruni anak tangga dengan perasaan berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya mereka berjalan sendiri-sendiri, kini ada perbincangan kecil untuk menjadikan pagi terlihat lebih cerah. Di belakangnya ada Dio yang sibuk membaca materi untuk Try Out.Di meja makan sudah ada Arsen yang sedang membaca koran, dan Eva yang sibuk menyiapkan sarapan. Kaila tersenyum lebar, kehangatan di dadanya lebih besar dari beberapa bulan lalu saat pertama kali Eva ada di posisi ini.“Selamat pagi, Pa, Bu.” “Pagi juga, anak-anak.”Kaila mencium Arsen dan Eva bergantian, lalu duduk di sebelah Dio.“Hadiah kalian udah Papa siapin. Mau diambil kapan?” tanya Arsen.“Nanti sore?” tanya Dio.Arsen mengangguk. “Boleh. Dio mau ring basket di halaman belakang ‘kan?”“Iya, Pa.”“Hari ini Papa urus.” Seolah itu adalah hal yang dapat dilakukan sekali jentikan jari. “Tara dan Kaila gimana?”“Aku mau sepatu Gabino terbaru, Pa!” seru Kaila.Orang kaya. Iya, Tara selalu ingat itu. Sepasan
Minggu ini Raka dan Kaila sepakat untuk pergi keluar untuk merayakan ulang tahun Kaila. Setelah memberikan kado pada pacarnya, Raka mengajak Kaila menonton film. Raka mengurungkan niatnya untuk mengantre tiket bersama Kaila saat ia melihat Tara dan Tian baru saja keluar dari teater satu. Ia mendengkus saat tangan Tian yang berusaha menggengam tangan perempuan di sampingnya. Tara sendiri tidak merasa risi atas sikap Tian padanya.“Kita di teater empat. Yuk!” Ajakan Kaila menyadarkan Raka kembali. Ia menurut saja kala tangannya ditarik ke teater empat.Dalam benaknya, Raka bertanya-tanya, kenapa Tara mau saja diajak kencan oleh Tian? Apa mereka membeli tiket yang sama dengannya? Setelah ini mereka akan ke mana? Dan kenapa Tian tidak memberitahunya kalau ia akan mengajak Tara pergi?Ia bisa bersikap biasa saja kalau Tian memang berusaha mendekati Tara, karena dulu, saat ia baru berpacaran dengan Tara, temannya itu baru mengaku kalau ia juga menyukai perempuan yang sama. Tapi ini Tara, Ra
Sore ini sekolah sudah agak sepi karena kegiatan ekskul tidak terlalu banyak, beberapa memilih langsung pulang ke rumah, nongkrong bersama teman-teman atau sekadar diam di kelas menikmati WiFi sekolah yang cukup kencang. Termasuk Tara dan Karina yang masih sibuk dengan soal-soal ulangan harian ekonomi yang dilaksanakan siang tadi di kantin sembari ditemani sepiring batagor dan es jeruk peras.Raka melangkah ragu menghampiri keduanya seraya membawa dua surat undangan di tangannya. “Nih, hari Sabtu,” katanya seraya menyimpan surat tadi di atas meja.“Apaan, nih?” Karina menatap Raka yang berdiri di depannya, lalu membolak-balikan surat itu.“Baca aja.” “Arlan, ya,” gumam Tara membaca sampul depan surat itu. “Thank's. Nanti gue datang, kok.”“Mami gak nyuruh lo datang hari itu aja, tapi hari sebelumnya juga,” jelas Raka. Ia ingat tadi pagi Kiera mengomel padanya, harus bisa mengajak Tara