"Hadeuh," lirihku malas melihat ponselku yang terus saja berbunyi.
Ya, meskipun setiap hari selalu begitu karena grup W******p dari anak-anak kantor, kali ini jauh lebih berisik karena grup W******p reuni SMP yang baru aku ikuti.
Yang membuatku sebal, sejak tadi mereka masih ribut melakukan pengambilan suara untuk menentukan tanggal pelaksanaannya. Mereka masih menemui jalan buntu karena sebagian besar teman-temanku di perantauan—hanya beberapa yang masih menetap di Kota Aare.
Anyway, namaku Adela Putria, biasa dipanggil Dela. Usiaku menginjak 28 tahun ini, bekerja sebagai salah satu pegawai di kantor pemerintahan setingkat kota administratif di Kota Metropolitan Milton—ibu kota .
Aku berbeda dengan orang lain yang harus dipaksa untuk menjadi seorang pegawai pemerintahan. Pekerjaanku sekarang adalah salah satu impianku dan orang tuaku. Selain ingin mengikuti jejak ayahku, aku ingin di hari tua nanti mempunyai uang pensiun setiap bulannya. Terjamin, kan?Kembali lagi ke reuni SMP ini. Sejujurnya, aku malas ikut acara seperti ini, sudah lebih dari 15 tahun tidak berkontak dengan teman-teman, bahkan aku mulai lupa beberapa wajah dan nama. Bukannya sombong, hanya saja aku baru ganti ponsel karena yang lama sudah rusak. Aku belum banyak menyimpan kontak lagi. Masuknya aku ke grup reuni ini juga gara-gara Tina, sahabatku sedari SMP.Akhirnya, aku cuma jadi silent reader di grup reuni. Dulu, di SMP, aku hanya punya beberapa teman akrab, sedangkan yang lainnya hanya teman sekadar kenal karena sistem rolling class yang membuat kami harus saling berkenalan setiap tahunnya."Ngapain lo mantengin ponsel mulu, pake manyun segala?"Yang bertanya itu Shela, teman kantorku sekaligus tetangga apartemenku sejak kuliah di ibu kota ini. Saat masih kuliah, kami sama-sama menyewa kos sekitaran kampus. Setelah bekerja dan memiliki tabungan yang cukup, kami memutuskan pindah ke apartemen karena privasi kami lebih terjaga. Apalagi setelah bekerja, kami sangat membutuhkan waktu istirahat yang cukup."Ini, nih, grup SMP gue, berisik banget bahas-bahas reuni. Gue males mau datengnya," jawabku sambil merengut kesal."Dateng ajalah, siapa tahu lo dapat jodoh dari reuni itu. Emang kapan, sih, acaranya?""Tau, nih, masih voting buat tanggalnya.""Ya udahlah, lo dateng aja. Gratis juga, kan, acaranya? Lagian lo juga udah lama gak pulang.""Hmm ... ntar gue pikirin lagi, deh."Tapi, memang benar kata Shela, aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Mungkin sudah saatnya aku pulang sekalian bertemu lagi dengan teman-teman lama.Setelahnya kami sama-sama diam sambil menatap ponsel masing-masing. Aku dan Shela sedang makan malam di dekat apartemen. Setelah pulang kerja kami memutuskan langsung mampir beli makan. Jarak dari kantor ke apartemen hanya sekitar 15 menit, setiap hari aku membawa motor kesayanganku bersama Shela. Sesekali—terutama kalau cuaca sedang tidak menentu—bergantian dengan Shela, aku menumpang mobilnya.***Jumat ini aku memutuskan untuk pulang ke Aare , kota kelahiranku. Setor muka ke orang rumah sekalian datang ke acara reuni yang akan diadakan hari Sabtu besok. Karena desakan Tina, aku akhirnya memutuskan untuk hadir di reuni.Sepulang kerja, aku langsung menuju ke stasiun untuk pulang ke kotaku. Menggunakan alat transportasi kereta api di saat akhir pekan seperti ini adalah pilihan yang bijak, mengingat banyaknya pekerja yang pulang sekaligus melepas penat di Kota Aare. Menggunakan kereta, perjalanan dari ibu kota Milton ke Kota Aare hanya memakan waktu dua jam. Jauh lebih cepat dibanding harus bermacet-macetan di jalan. Jika lancar saja bisa memakan waktu tempuh satu setengah jam dari Kota Milton ke Kota Aare, bagaimana kalau macet?Itulah salah satu alasanku menyewa tempat tinggal di dekat kantor. Aku tak sanggup kalau harus setiap hari pulang pergi. Sudah lelah bekerja, aku tidak sanggup kalau masih harus berkutat dengan kemacetan saat perjalanan pulang.Adikku, Stevan, menjemput di stasiun. Adik kesayanganku dan satu-satunya. Kami 2 bersaudara, maka tidak heran jika kami sangat dekat. Saat ini Stevan sedang menjalani kuliah semester 4."Hai, Kak. Gimana perjalanannya?" sapanya sambil memelukku."Capek banget, lumayan penuh tadi keretanya. Jemput pakai apa lo ke sini?" tanyaku sambil mengikuti Stevan ke parkiran."Tuh, naik motor. Malas pakai mobil, pasti macet banget.”Aku yang melihat motornya hanya bisa melongo. "Lo gak salah bawa motor ini?""Emang kenapa, sih, Kak?" tanyanya tanpa merasa bersalah sedikit pun.Karena yang lo bawa itu motor ninja, Stevan! Kedua tanganku mulai risi menarik-narik rok seragam kerjaku supaya menutupi bawah lutut—walau sebenarnya tidak berefek apa pun sama sekali."Lo gak lihat gue pakai rok, hah!" seruku pada Stevan."Ck, ribet banget dah lo. Nih, pakai jaket gue. Lagian kenapa tadi gak ganti baju dulu?"Aku merengut menatap Stevan. "Mana sempet! Kan gue harus ngejar kereta, ntar kemaleman!"“Ya udahlah, naik aja, sih. Ntar makin kemaleman kalo lo ngomel terus.”Aku mencebik. Akhirnya, dengan sangat terpaksa aku menaiki motor Stevan—itu pun harus dibantu tangan Stevan saat aku menaikinya. Apa dia tidak sadar, motor ini tinggi, sedangkan aku pendek dan menggunakan rok pula. Dasar adik durhaka.Motor Stevan melaju membelah jalanan Kota Aare. Benar saja, jalanan mulai padat kendaraan. Seperti biasa setiap weekend, pasti Kota Aare selalu macet karena banyaknya wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat wisata di sini. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai rumah."Dela pulang, Ma, Pa!" teriakku pada Mama dan Papa yang sedang menungguku di ruang tamu."Duh, akhirnya anak Mama ingat pulang juga," jawab Mama menyindirku.Begitulah sambutan Mama setiap aku lama tak pulang. Padahal baru sebulan yang lalu aku pulang ke rumah, tapi memang waktu sebulan terhitung lama bagi Mama."Dih, apaan sih, Ma? Baru juga bulan lalu pulang," protesku tak terima pada Mama."Ya ... kamu. Dari ibu kota ke sini, kan, deket banget, malah jarang pulang.""Sudah, sudah. Anaknya baru dateng udah diajak berantem." Papaku pun ikut menyahut untuk menengahi kami.Seperti biasa, setiap pulang ke rumah, hal pertama yang kulakukan adalah menuju meja makan. Aku sudah rindu masakan Mama. Di ibu kota banyak makanan enak, tapi masakan Mama tetap paling juara.Mama menyusulku ke ruang makan, sedangkan Papa tetap di ruang tamu melanjutkan membaca koran, dan Stevan sudah masuk ke dalam kamarnya."Gimana, Kak, besok jadi ke acara reuni yang diadain Wali Kota baru itu?""Iya, jadi, Ma. Besok jam 4 sore," jawabku sampai melahap soto ayam buatan Mama."Kakak berangkat sendiri atau bareng temen?""Sama Tina. Mama inget, kan, sama Tina?""Ingetlah, yang dulu sering main ke sini, kan?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mama memang mempunyai daya ingat yang kuat. Setiap teman dekatku yang kukenalkan pada Mama, Mama pasti ingat."Sekalian kamu cari jodoh, Kak. Udah usia 28 tahun, loh, masak masih jomlo juga."Aku mengibaskan tangan di depan wajah. Mama mulai lagi, tiap pulang pasti ditodong tentang jodoh."Mulai, deh, mama. Ntar juga dateng sendiri jodohnya.""Masak kakak kalah sama Stevan? Dia aja udah punya cewek, tuh."Menelan kunyahan terakhir makananku, aku pun menjawab cibiran mama. "Kan, si Stevan emang playboy, Ma. Ceweknya pasti beda dari yang bulan lalu."Setelah mengucapkan itu, aku beranjak dari meja makan dan mencuci piring bekas makanku."Udah, ya, Ma, bahas jodohnya. Jodoh gak bisa dipaksain. Kalau udah waktunya pasti datang sendiri. Kakak naik ke kamar dulu, ya, mau mandi," pamitku sekaligus mengakhiri pembahasan tentang jodoh ini. Sekilas aku mendengar dengkusan Mama karena jawabanku. Yah, mau bagaimana lagi. Jodoh, kan, memang tidak bisa ditebak kapan datangnya.Keesokan harinya, pukul tiga sore, Tina menjemputku di rumah. Sudah tidak ada alasan lagi untukku tidak ikut ke reuni. Semua ini demi menemani Tina dan segala nasehat dari Mama tadi pagi setelah aku berkata jujur kalau sebenarnya terpaksa mengikuti reuni ini. Mama bilang hitung-hitung tetap menjaga silahturahmi sama teman biar kalau ada apa-apa banyak yang bantu. Dan sekarang aku sudah berada di dalam mobil Tina menuju venue reuni di Hotel De Emerald. Hotel ini sendiri milik Walikota baru yang merupakan salah satu temanku SMP. "Gimana Del, udah punya pacar?" Dari banyaknya pertanyaan, kenapa si Tina harus banget sih nanyain pertanyaan keramat itu. "Lo kayak gak ada pertanyaan lain aja deh", protesku pada Tina. "Ya elah, lo sih udah 28 tahun masih jomblo aja." "Sorry gue bukan jomblo, tapi gue single. Mentang-mentang lo udah nikah ya langsung nyuruh gue buru-buru nikah aja." Tina hanya menjawab dengan kekehannya. "Lo kenapa sih gak ngajak suami lo aja ikut ke reuni, malah maksa-
Untungnya, ada orang lain yang memanggilnya.Kini aku sedang di toilet untuk buang air kecil dan sedikit memperbaiki make up. Setelahnya, aku pun keluar. Namun, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Jendra yang juga baru keluar toilet laki-laki!"Sial banget sih, kenapa harus ketemu lagi?" gerutuku pelan. Tanpa bisa menghindar, aku berjalan santai kembali menuju ballroom dan saat melewati Jendra, aku hanya melempar senyum untuk menyapanya karena aku tidak ingin dianggap sok kenal dengan berbasa-basi dengannya. "Habis dari toilet Del?" sapanya. Menghembuskan nafas pelan, aku berbalik badan menghadap Jendra untuk menjawab basa basinya. "Iya Dra, lo,..aduh sorry maksudku kamu udah mau cabut sekarang?" tanyaku saat kulihat asisten dan beberapa pengawalnya terlihat bersiap meninggalkan ballroom hotel. "Udah gue bilang, santai aja. Sesantainya lo aja, ga usah formal-formal sama gue, lo bukan bawahan gue.” Ucapnya dengan santai. “Iya, masih ada kerjaan yang harus gue urus. Gue pamit du
Seminggu sesudah acara reuni, aku sudah kembali menjalani aktivitas sehari-hari di Ibukota Milton sebagai pegawai pemerintahan. Tentu saja, karena kemarin aku tidak mengajukan cuti sama sekali jadi Senin subuh dengan menggunakan kereta pertama aku kembali ke kota perantauan. Selesai dari car free day minggu lalu, Jendra yang dulu meminta nomor ponselku, sampai saat ini tidak ada pesan masuk ataupun telepon darinya. Dan aku juga tidak mengharapkan hal itu, sebenarnya. Aku hanya berfikir mungkin kemarin dia hanya basa basi saja meminta nomor ponselku saat kami bertemu. Ponselku yang berada di atas meja bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku melirik sekilas id pemanggilnya, betapa terkejutnya aku saat nama Jendra terpampang di layar ponselku. Baru juga dipikirkan langsung telepon. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat teleponnya."Ya halo." "Halo Del, lo di mana?ada di rumah gak?" Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. "Gue lagi ada di Ibukota
Tepat pukul tujuh malam, Jendra sudah berdiri di depan pintu unit apartemenku. Aku sudah siap berangkat, rapi dengan mengenakan midi dress serta flatshoes. Sedangkan Jendra tampil dengan kemeja flanel yang di buka seluruh kancingnya dan memperlihatkan kaos hitam polos di dalamnya serta celana jeans. Tak akan ada yang mengira bahwa Jendra adalah seorang wali kota jika melihat penampilannya saat ini. Kami berjalan beriringan di koridor menuju lift untuk ke lobi apartemen. Di lobi sudah terparkir mobil Camry yang tadi siang digunakannya. Di belakangnya ada satu mobil lagi yang sepertinya berisi asisten dan para pegawalnya. "Itu mobil belakang, mobil pengawal lo?" tanyaku pada Jendra begitu kami meninggalkan pelataran apartemen. "Iya, lo kok tau?" jawabnya sambil melirikku sekilas. "Soalnya dari tadi siang kayaknya ngikutin mobil lo mulu. Ngomong-ngomong kita mau makan di mana?" "Ada, deh, rahasia itu," jawabnya dengan kerlingan jail, yang kubalas deng
Sepanjang malam kami mengobrol cukup lama di balkon dan minum kopi yang tadi sempat dibuatkan chef-nya sebelum meninggalkan apartemen Jendra. Ketika melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta Jendra mengantarkanku kembali ke Apartemen."Thank's ya Dra, buat makan malamnya." Ucapku tulus begitu kami sampai di lobby apartemenku."You're welcome. Besok lo ada acara ga?""Hmm ga ada kayaknya, kenapa?""Temenin gue ke pasar minggu ya, mau survei pasar minggu yang ada di sini. Buat perbandingan sama di kota kita""Gak janji ya, gue kalau hari minggu susah bangun pagi."Jelas hari minggu adalah hari bermalas-malasan untukku, karena hanya di hari sabtu dan minggu, aku bisa bangun siang. Sedangkan di hari biasa, aku harus bangun pagi-pagi buta untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang lalu berangkat bekerja."Gampang, ntar gue telepon lo berkali-kali sampai lo bangun.”
“Halo, ya Dra," sapaku saat ada panggilan telepon masuk. "Dela, lo masih di kantor?" "Iya ini gue masih di kantor, kenapa?" "Lo balik jam berapa?gue lagi ada di Milton nih. Ketemuan yuk Del" Mendengar ucapan Jendra, refleks aku menghentikan kegiatanku. "Hah gimana?kok mendadak amat sih." "Gue lupa tadi pagi mau ngabarin lo, ini mumpung ada kerjaan di Milton jadi sekalian pengen ketemu lo." "Tunggu gue pulang 30 menit lagi, masih kelarin laporan kerjaan hari ini." "Oke santai aja, ini gue juga masih meeting kok, kalau udah mau kelar kabari lagi ya, see you." Begitu sambungan telepon berakhir, aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku. Shela yang duduk di sebelah, melihat aku yang terburu-buru setelah menerima telepon pun bertanya, "siapa yang telepon Del?kok lo jadi buru-buru gini?" "Si Jendra yang telepon, ngabarin kalau lagi di Milton. Ngajakin gue ketemuan." "Jendra yang Wali kota itu?" Pekik Shela yang sukses mengundang teman-temanku
"Gue mandi duluan ya, udah lengket banget badan gue. Lo yang pesen makan, terserah gue ngikut aja." Kataku sambil menuju kamar mandi. Tak sampai 10 menit, aku susah selesai mandi. Di meja makan sudah tersedia banyak makanan, ada nasi goreng, ayam goreng, sate ayam dan soto daging. Bener-bener ya si Jendra ini, makan cuman berdua aja pesennya banyak banget. Beranjak dari meja makan, aku mencari keberadaan Jendra di ruang tamu, tapi yang kulihat hanya jasnya yang terlipat rapi disofa sedangkan orangnya tidak ada. Aku menuju ke balkon, satu-satunya tempat yang mungkin di datangi Jendra yang ada di apartemen kecilku ini. Dan benar saja dia ada disana, sedang menghadap pemandangan di luar apartemen, sepertinya dia masih saja sibuk dengan ponselnya. Tok tok..aku mengetuk pintu penghubung balkon untuk menarik perhatian Jendra. "Udah selesai mandi?ayo makan, lo pasti udah laper banget kan?" Ajak Jendra dengan berjalan menuju ke meja makan. "Gue gak tau lo maunya mak
Sebelum berjalan menuju pintu belakang, aku sempatkan untuk melirik sekilas keramaian yang ada di depan cafe. Ada banyak orang yang didominasi oleh kaum hawa yang terlihat penasaran mencari keberadaan Jendra. Mereka berdiri di area parkiran, tidak bisa masuk ke dalam karena café masih belum dibuka untuk umum. Padahal kami sekarang sedang di Ibukota Milton bukan di kota Aare tapi antusias fans Jendra tak kalah dari kota asal kami. Aku merasa tanganku ditarik, karena tidak siap, tangan kiriku refleks memegang lengan Jendra untuk mencari keseimbangan. Sadar dengan yang kulakukan, aku cepat-cepat melepas tangan kiriku dari lengannya, Jendra yang menyadarinya bertanya, "Kenapa Del?" "Gak apa-apa tadi gue kaget aja tiba-tiba lo tarik, untung gak jatuh." Kami pun melanjutkan berjalan menuju pintu belakang, di sana sudah ada Aldo yang keluar dari mobil Jendra. "Silahkan Bapak pergi dulu, kami akan mengatasi yang di sini. Nanti kami akan menyusul Bapak." Ucap Aldo sambil