Share

Bab 3: Gelora Cinta Sang Berondong

Jadi Ini Orangnya?

“Selamat pagi, Bu Naila!” sapa Dian. 

Wanita berkacamata dengan penampilan rapi itu sudah berdiri tegak di atas heelsnya yang tumpul, menyambut atasannya yang baru saja datang dengan wajah kusut. Seakan sudah terbiasa, Dian segera menarik singgasana Naila dan mempersilahkan Naila duduk di sana. 

“Anda ingin kopi, Bu?”

Naila menggeleng tidak tertarik. Tatapannya malah terfokus pada figura minimalis di meja kerjanya. Figura manis yang membingkai selembar foto, yang mengisahkan kisah manis antara dirinya dan Rey dulu. 

“Anda ingin saya membuangnya?” Dian menebak. Berharap jika alasan dari wajah masam Naila hari ini disebabkan oleh berulangnya petaka yang sama. Naila putus cinta. 

“Bakar!” sahut Naila. Kedua mata Naila menyala marah.

“Ba-bakar?” Dian tergagap. Biasanya, Naila hanya meminta Dian untuk membuang foto-foto Naila dengan kekasihnya, tanpa memintanya membakar. Kali ini, sepertinya Naila menaruh dendam pada mantan kekasihnya yang satu ini, aktor tampan yang sedang naik daun itu. 

“Kamu tidak bisa mendengarku, Dian? Aku bilang, BAKAR!”

“Ba-baik, Bu Naila.” Dian segera meraih figura kecil itu, lalu membawanya serta dengan langkah setengah berlari.

Heelsnya yang mulai rusak bisa menimbulkan bebunyian jika Dian paksa berlari. Kehidupan Dian sebagai single parent dan baru bekerja selama satu bulan di bawah Naila membuat dirinya belum bisa bergonta-ganti barang mewah seperti sekretaris dari petinggi yang lain. 

Naila yang melihat gelagat dari Dian mengerutkan kening. Kedua netra Naila mengikuti pergerakan dari Dian hingga wanita itu menghilang dari ruangannya. 

Naila memutar kursi, menghadap dinding yang terbuat dari jendela kaca sembari mengatur nafas. Meski gadis itu terlihat sangat tenang, sejatinya kepala pintar Naila sedang sibuk merencanakan sesuatu. Sesekali gadis itu mengukir smirk, merasa puas dengan ide-ide yang terus bermunculan di kepalanya. 

Kkrreek!

Pintu ruang kantor Naila berderit. Naila berbalik demi melihat siapa yang baru saja bergabung dengannya di sana. “Kamu sudah kembali, Dian?”

“Benar, Bu. Saya sudah membakar figura tersebut sesuai dengan kemauan Ibu. Ada lagi yang Anda butuhkan?” tanya Dian sembari tersenyum. Tulunjuknya yang kurus membenarkan letak kacamata dengan frame hitam tebal di wajahnya. 

“Tentu saja! Ambil ini, dan beli beberapa potong baju dan sepatu. Pilih dari brand ternama dengan kualitas terbaik. Oh iya, harus desain terbaru!” lanjut Naila tanpa mengendurkan ekspresi arogannya. 

Dian mendekati meja Naila dengan ragu-ragu. Berusaha meraih kartu kredit berwarna emas yang diletakkan Naila di sana dan menggenggamnya erat-erat.

Benak Dian dipenuhi berbagai pertanyaan, entah apa yang merasuki Naila hingga meminta dirinya yang kuno dan kolot itu membeli pakaian untuk gadis se-fashionable Naila.

“Jalan, Dian! Jangan membuatku menunggu terlalu lama.” Lagi-lagi Naila berseru. Membuat Dian yang masih bingung tersentak kaget. 

“Ba-baik, Bu!”

Untuk kedua kalinya, dalam waktu kurang dari satu jam, Dian kembali berbalik dan bergegas meninggalkan ruang kantor Naila.

“Oh iya, beli beberapa riasan simpel juga. Beberapa makeupku mulai habis,” tambah Naila. Pandangan Naila masih terpaku pada meja kerjanya yang kosong. Tidak ada lagi figura yang selama ini menjadi mood-booster dari gadis itu. 

“Baik, Bu,” jawab Dian terakhir kalinya sebelum benar-benar keluar dari ruangan Naila. Tidak ada lagi pertanyaan lanjutan dari Dian, yang ada di benaknya hanyalah menyelesaikan tugas berat dari Naila dan kembali sebelum jam makan siang. 

--

“Apa kalian sudah berakhir?” Hill memulai percakapan dengan Rey begitu dirinya selesai take untuk scene hari ini. Hill bergabung bersama Rey, membawa dua kaleng soda dan mengambil tempat di sebelah Rey. 

“Maksudmu, Naila?” balas Rey. Satu tangan Rey menerima uluran soda dari Hill sembari menengadah membalas tatapan Hill padanya.

Hill mengangguk, lalu membuka kaleng soda miliknya. “Kamu ketahuan?” Hill terkekeh geli lalu meneguk soda di tangannya.

“Sialan, Hill. Siapa yang membocorkan informasi itu pada Naila, sih? Aku belum mendapat banyak keuntungan dari gadis itu.”

Hill mengangkat bahu, dirinya juga tidak bisa menebak siapa yang membuat Rey kehilangan mangsa besar seperti Naila.

“Lagipula, kamu juga tidak menyukainya, bukan?”

“Heh! Siapa juga yang akan menyukai gadis kasar seperti Naila? Jika bukan karena latar belakangnya yang menakjubkan itu, aku yakin tidak akan ada satu lelaki pun yang bersedia mendekati gadis itu. Naila itu gila, Hill! Kamu lihat sikapnya saat makan malam di pestaku kemarin?” Bahu Rey bergetar. Lelaki itu merinding saat mengingat kembali kenangan bersama Naila.

“Saat Naila menyiram Venhyta?” tebak Hill.

“Yap! Setelah kejadian itu, Venhyta bahkan tidak mau bertegur sapa denganku.”

“Rey, bukankah itu juga salahmu? Kamu menggoda Venhyta di saat ada Naila di sana. Sudah bagus hanya Venhyta yang disiram, bagaimana jika kamu juga dijambak oleh tuan putri itu? Bisa rontok rambutmu, Rey!” seru Hill. 

Diceramahi begitu, Rey memilih diam. Meski ucapan Hill terhadap dirinya itu ada benarnya, tetap saja Rey menolak membenarkan. 

Kehidupan Rey selama ini baik-baik saja, karirnya melejit, gadis-gadis berdatangan padanya. Tidak ada satu gadis pun yang berani menolak jika Rey yang meminta. Bahkan, gadis sekasar Naila bisa menjadi mainannya. 

Lama keduanya terdiam, meneguk habis soda hingga tersisa kaleng kosong. Rey meremas kaleng soda, lalu melempar asal kaleng tersebut ke meja di depannya. 

“Apa artis utamanya sudah datang?” Hill bertanya sembari menengadah. Suara riuh-rendah dari pintu masuk lokasi syuting menarik perhatian Hill.

Rey yang sedari tadi juga diam, ikut melongok mengikuti arah pandang Hill. Keningnya berkerut, sinar matahari membuat jarak pandangnya terbatas. Meski begitu, Rey bisa menebak jika gadis yang baru saja masuk dan membuat kehebohan itu merupakan gadis cantik.

“Mangsa baru ...,” ujar Rey dengan senyum iblis. 

“Rey, Hill, kemarilah! Kita punya sponsor baru. Kalian harus menyambutnya dan bersikap sopan padanya. Apa kamu tahu? Bahkan dana yang dia berikan untuk film ini mengalahkan dua sponsor utama lainnya. Astaga! Aku tidak percaya jika orang sehebat dirinya bisa datang langsung ke lokasi syuting.” Sutradara yang baru selesai mengatur scene menghampiri Rey dan Hill. Nafasnya terengah-engah, begitu sibuk mengumpulkan satu per satu artis dari filmnya agar ikut menyambut sponsor baru. 

Mendengar penjelasan tergesa-gesa dari sutradara, mata Rey yang merupakan playboy kelas teri itu berbinar. Bisa Rey tebak, jika gadis yang baru saja datang tadi adalah sponsor baru yang disebutkan oleh sutradara.

“Ayo, Hill! Kita temui calon pacarku!” Rey segera bangkit dari duduk dan membenarkan kostum syuting yang sedari tadi melekat di tubuhnya. Perannya sebagai pria keren di film tersebut membuatnya berpakaian elegan. 

Terpaksa, Hill mengikuti Rey dengan langkah malas. Hill bisa menebak, jika sebentar lagi Rey akan mengeluarkan jurus-jurus mautnya demi menaklukkan gadis pemberi sponsor baru tersebut. 

“Itu dia, bukan?” Rey menyikut Hill dengan pandangan tertuju pada gadis yang membelakangi keduanya. 

“Kenapa dia terlihat familiar?” monolog Rey setelah memperhatikan cukup lama. Meski gadis di depannya berpakaian normal khas kantoran, tetap saja punggung gadis itu terlihat familiar. 

Meski ragu-ragu, Rey tetap mendekati gadis berpunggung cantik yang sedang mengobrol dengan produser. Melihat kedatangan Rey, produser tersebut menunjuk ke arah Rey, meminta tamunya untuk ikut berbalik. 

“Ini aktor baru yang saya bicarakan, Nona Halim.” Produser tersenyum bangga. Sedang Rey yang melihat kehadiran Naila, berubah pucat. 

“Oh, ini orangnya?” tanya Naila. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status