Share

Bab 4: Gelora Cinta Sang Berondong

Bab 4: Perasaan yang Sesungguhnya

“Jadi, ini orangnya?” Naila hampir saja meledakkan tawa jika tidak mengingat lingkungan sekitarnya. 

Tatapan mata Rey yang melotot, mulut Rey yang mengaga lebar membuat Naila puas. Sangat puas hingga Naila ingin memamerkannya pada Adrian dan Hilda. Dua saudara yang selalu menertawai dirinya. 

“Benar, Nona. Rey adalah salah satu aktor yang mulai populer saat ini. Begitu banyak permintaan iklan datang untuk Rey. Bahkan, sudah ada tawaran film baru untuknya.” Produser menjelaskan dengan semangat yang berkobar. Sedang Naila, tertarik saja tidak untuk mendengar. 

Pikiran Naila saat ini hanya terpaut pada Rey yang mulai menundukkan wajah. Kepuasaan batin untuk Naila, saat melihat orang yang telah menyakiti dirinya tertekuk di ujung jemarinya. 

“Aku ingin menawarkan satu nama untuk film ini. Lagipula, produksinya baru dimulai, bukan?” Naila kembali melirik Sang Produser. 

“Na-nama? Untuk film ini?” 

“Yap! Aku membawa artisku sendiri. Dialah yang aku sponsori, Pak Produser. Aku bukannya mensponsori film ini secara cuma-cuma. Uang yang kukeluarkan juga tidak berlebihan jika aku meminta bagian, bukan?” Naila menaikkan sudut bibirnya. Kalimat demi kalimat yang diucapkan Naila membuang sang produser kebingungan. 

Meski proses syuting baru dimulai, namun produser dan sutradara sudah sepakat perihal aktris dan aktor yang akan berperan. Lalu, bagaimana bisa dia tiba-tiba mengganti peran?

“Aku tidak akan meminta perubahan dalam alur cerita, hanya saja, bawa aktorku ke dalam filmu. Jika tidak ada peran untuk aktorku, maka singkirkan aktor baru itu!” tunjuk Naila dengan ekor matanya. 

Hampir saja rahang Produser itu terlepas. Kedua pupilnya membesar dan keringat membanjiri pelipisnya. 

“Ba-bagaimana mungkin?” Produser itu bertanya dengan gugup. 

“Mungkin saja. Sponsor berhak untuk memberi syarat, bukan? Aku memberi Anda dan tim waktu untuk berfikir hingga besok. Jika setuju, hubungi aku melalui sekretarisku. Ingat, Pak Produser! Hanya sampai besok.” Naila terus menekan kalimatnya. 

Tanpa menunggu jawaban dari produser. Naila segera berbalik, melangkah dengan penuh percaya diri sembari menyematkan kacamatanya ke posisi awal. 

Derap langkah Naila, membawa dirinya semakin dekat dengan Rey. Hingga keduanya berselisih, dan terdengar Rey berucap pelan pada Naila, “Kamu sengaja ingin menghancurkanku, bukan?” 

“Hm? Kamu yang lebih dulu menghancurkan perasaanku, Rey. Terimalah nasibmu. Ini salahmu, Rey, berurusan dengan wanita gila sepertiku.”

Rey tercengang setelah mendengar jawaban dari Naila. Belum sempat Rey mengejar Naila, gadis itu sudah menjauh, lalu keluar dari pintu masuk lokasi syuting. 

“Rey ....” Produser menyebut namanya dengan suara berat. “Sepertinya aku harus bertemu manajermu,” lanjut Produser itu. 

--

Naila duduk dengan kaki tersilang di kursi belakang. Pandangannya menatap kosong pada bangunan-bangunan yang berjejer di luar jendela mobil. 

Rey sudah mendapat balasan, lalu apa yang membuat batinnya masih bingung? Hal apa yang masih tertinggal hingga dirinya merasa tidak tega setelah sadar baru saja menghancurkan karir yang dibangun oleh Rey? Benarkah ini jalan yang tepat? Naila begitu sibuk mencari alasan pembenaran dari sikapnya. 

Dian yang sedari tadi mengikuti pergerakan Naila di kursi belakang bersuara, “Bu Naila, apa ada hal yang ingin Anda lakukan? Bagaimana jika berbelanja lagi? Di Mall tadi, saya melihat banyak barang-barang baru yang akan sesuai dengan selera Anda, Bu.” 

“Belanja? Ah, kamu sudah selesai belanja.” Naila membenarkan duduknya. Kemana saja pikirannya hingga dirinya lupa telah memberi tugas pada Dian. 

“Iya, sudah selesai. Saya mencoba mengingat bagaimana penampilan Anda selama ini dan mencocokkan beberapa pakaian di sana. Sepertinya, pilihan saya tidak akan sesuai dengan Anda, Bu. Apa perlu kita kembalikan dan Anda bisa memilih yang baru?” Dian berucap sembari melirik Naila dari spion tengah. Kedua tangan Dian begitu lincah menyetir. Setir kemudi mobil bergerak halus, tidak ada hentakan dari mobil yang membuat Naila berdecak kesal. 

“Kembalikan? Aku membelikannya untukmu,” sahut Naila enteng.

“U-untuk saya?” Dian hampir saja menoleh ke belakang sebelum akhirnya Dian ingat jika dirinya sedang menyetir. 

“Iya, bawa pulang semuanya dan gunakan mulai besok, Dian! Sekretarisku tidak boleh terlihat kolot dan ketinggalan jaman. Pola pikirmu terlalu cerdas untuk ditutupi dengan blouse kusam itu.” 

Untaian kalimat pedas dari Naila tidak membuat Dian berwajah masam. Melainkan, senyum di wajahnya mengembang, bahkan kedua matanya memerah haru. Sudah berkali-kali Dian berganti atasan di banyak perusahaan berbeda, dan Naila adalah satu-satunya atasan yang terlihat jahat, namun ternyata memperhatikan dirinya. 

“Terima kasih, Bu,” ujar Dian dengan suara sengau. 

“Kamu menangis? Jangan menangis, Dian. Papa akan marah jika aku membuat bawahanku menangis.” Naila kembali membuang pandangannya ke luar jendela. 

Dian berusaha keras menahan harunya dengan menggigit bibir bawahnya. Hampir saja isak harunya terdengar pada Naila. 

“Papa begitu keras mengajariku, Dian. Hanya Mama Queen yang sesekali menahan Papa dan meminta Papa agar berhenti menekanku. Kata Papa, hidup kami berat, keras dan tidak berbelas kasih,” kisah Naila. 

Dian mulai melirik Naila kembali. Didapatinya Naila bersandar pada pintu mobil dengan tatapan sayu. Seakan-akan ada kesedihan yang ingin Naila tumpahkan. Dian memilih diam, berpura-pura tidak melihat dan membiarkan Naila dengan perasaannya. 

“Kami harus menahan sakit, agar orang-orang yang bernaung di perusahaan tidak merasakan sakit, Dian. Aku sudah berusaha, namun di mata anggota dewan, aku belum layak menggantikan Papa. Padahal, posisi Ketua telah kosong sejak Kakek meninggal 5 tahun lalu,” lanjut Naila. 

“Hah, seandainya semua hal yang berhubungan dengan perasaan bisa dibeli dengan uang. Sudah pasti, akan aku habiskan isi rekeningku untuk membelinya.” 

“Anda sudah berhasil membelinya, Bu.” Dian berkata setelah lama diam. 

Perhatian Naila teralihkan dengan perkataan Dian. Naila tertarik, mendengar nasihat lebih banyak dari wanita kuat yang sebulan ini bersamanya. 

“Anda membeli banyak barang mahal untuk saya, itu juga memberi ada kebahagiaan, bukan? Anda membeli kebahagiaan, bukan berarti Anda jahat. Anda hanya melakukan kebaikan dengan cara Anda sendiri. Sedangkan saya yang tidak mampu, membentuk kebahagiaan dengan cara saya sendiri. Soal perusahaan, bukan berarti Anda tidak layak. Menurut saya, waktu untuk Anda menjabat saja yang belum tiba.” 

Hening ... Naila tidak memberi balasan. “Ah, maaf Bu. Saya keterlaluan,” ucap Dian setelah sadar jika dirinya baru saja menasihati Naila. 

“Tidak, Dian. Ucapanmu benar. Mungkin aku terlalu terburu-buru, padahal Papa sendiri menjadi Presdir setelah Kakek mundur. Terima kasih sudah menemaniku mengobrol, Dian. Biasanya, Mama Queen yang akan menemaniku. Tapi akhir-akhir ini, Papa menguasai Mama hingga 100 persen.” 

“Aku akan tidur sebentar, Dian. Kita pulang saja, moodku tidak terlalu bagus untuk bekerja,” titah Naila sembari merebahkan tubuhnya pada jok kursi belakang. 

“Baik, Bu. Saya akan membatalkan sisa jadwal Anda sore ini.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status