Mengetahui bahwa Alicia saat ini hanya sendirian saja di rumahnya tanpa orang tua yang sedang pergi, mendadak saja akal sehat Gian menghilang secara cepat.Dia sudah mencoba bersabar dan terus membujuk Alicia untuk kembali menjadi kekasihnya, tapi Alicia menolak dan justru menerima cinta pemuda lain.Mana mungkin Gian tidak berang? Dia yang lebih kuat dan lebih hebat dari pemuda manapun, justru ditolak!Maka dari itu, mengabaikan pengusiran Alicia, dia justru makin melangkah maju dan mendorong pintu sehingga gadis itu terhuyung ke belakang.“Gian … lebih baik kamu pulang saja, yah! Mama dan papa sebentar lagi pulang. Aku mohon, Gian.” Nada suara Alicia bergetar melihat ada kilatan misterius di mata Gian yang sepertinya tidak menandakan sesuatu hal yang baik.“Kenapa buru-buru menyuruhku pulang? Ingin mengundang pacarmu itu? Kau begitu mencintai dia? Lebih memilih dia ketimbang aku, Cia?” Ada denyut sakit di hati Gian ketika mengucapkannya. Padahal ini ucapannya sendiri.“Gian, jangan
Gian makin menggila dan ingin selekasnya memiliki Alicia, apapun caranya!Ketika dia sedang mencoba mengarahkan miliknya ke area terlarang Alicia, gadis itu menangis lirih.“Gian … hiks! Kamu kenapa sejahat ini padaku? Hiks!” Wajah Alicia sudah banjir akan lelehan air mata.“Kamu yang memaksa aku begini, Cia. Andai kamu menerima aku lagi dan tidak berpacaran dengannya. Kau dan dia juga pasti sudah sejauh ini, ya kan?” Gian meluapkan apa yang bercokol di kepalanya.“Hiks! Gian … mana mungkin aku semudah itu menyerahkan diriku pada lelaki? Hiks! Apakah aku di matamu begitu rendahan? Jangankan aku menyerahkan diri ke dia, berpacaran dengannya saja tidak, hiks! Mana mungkin aku semudah itu disentuh lawan jenis, Gian? Kamu tega, Gian … kamu keji … hiks!” Alicia menutupi wajah basahnya dengan kedua tangan, tangisnya makin memilukan. Dia mau tak mau harus bersiap akan sesuatu yang sangat buruk terjadi pada dirinya.Seketika, Gian mematung. Matanya membeku dengan mulut ternganga usai mendenga
“Me—menantu?” Mata Gian membesar ketika mendengar ucapan Wina.Gadis itu mengangguk sembari mengulum senyumnya, lalu berkata, “Ya! Papa dan mama sudah tahu hubungan kita dan mereka merestuinya.”“Tapi, aku masih anak SMA, aku belum lulus, Win!” Gian mengatakan hal masuk akal. Bagaimana mungkin dia yang belum lulus SMA malah hendak dijadikan menantu?Wina tertawa ringan menampilkan deretan gigi rapi dan putih dia yang terawat. “Tentu saja kita tidak perlu menikah dalam waktu dekat. Kita bisa bertunangan dulu, Gian.”Meski dikatakan tidak perlu menikah dalam waktu dekat, tetap saja Gian terdiam merenungkan ucapan Wina.Memiliki pasangan secantik dan menawan seperti Wina, lelaki mana yang tidak ingin? Gian juga tak mungkin menolak keberuntungan itu. Cantik, molek seksi, cerdas, baik, sopan, juga dari keluarga kaya! Kurang sempurna apa Wina?Tapi … justru Gian yang merasa dirinyalah yang tidak sempurna untuk Wina.Meski dia kuat dan mengagumkan, namun dia tak akan bisa membahagiakan Wina.
Hal yang paling membuat Gian kesal dan muak selama bekerja pada Gunawan adalah … dia tidak diangkat menjadi ketua pekerja Gunawan. Dia masih saja ada di bawah Wiro. Masih berstatus anak buah.Ini kerap mengganggu pikirannya. Dia kuat dan pastinya jauh lebih hebat ketimbang Wiro, tapi kenapa Gunawan tidak juga melengserkan pria paruh baya itu dan memilih dirinya?Kurang apa Gian membuktikan pada Gunawan bahwa dia lebih layak menjadi ketua pekerja ketimbang Wiro?Inilah yang membuat Gian mulai goyah dan malas. Dia berpikir untuk berhenti saja dari Gunawan.“Memangnya kau yakin ada orang lain yang bisa menggajimu sebesar Gunawan?” tanya Elang ketika Gian mendiskusikan pemikirannya pada suatu sore sepulang sekolah.Gian terdiam memikirkan ucapan Elang. “Um, pastinya aku bisa mencari bos lain yang membutuhkan orang kuat dan hebat sepertiku, bukan?”“Kau yakin bisa cepat mendapatkannya?” Elang masih menggoda dengan ucapan yang membuat otak Gian merasa rumit.“Duh! Lalu bagaimana, Elang? Aku
Cukup sekali tebak saja, sudah bisa diketahui bahwa rombongan yang mengepung mobil Gunawan adalah gerombolan bajing loncat yang meresahkan banyak pengendara di jalanan sepi antar kota dan provinsi pada malam hari seperti ini.Memahami situasi yang sudah seperti ini, maka Wiro memimpin bawahannya keluar dari mobil. Gian juga ikut turun dan bergegas melawan para bajing loncat tersebut.Dengan sekali pukul, Gian langsung merobohkan siapapun orang yang mencoba melawannya. Bahkan tentu ada yang kejang-kejang sampai mulutnya berbusa dan susah bangun kembali.Dari kaca mobilnya, Gunawan menyaksikan perkelahian anak buah dia melawan para bajing loncat tersebut. Perhatiannya tertuju pada aksi Gian yang sangat memukau. Kepala Gunawan manggut-manggut puas melihatnya.Hanya perlu waktu tak sampai setengah jam bagi Gian dan yang lainnya mengurus para bajing loncat dan sebagian besar semuanya dikalahkan oleh Gian.Tentu saja, Gian memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, menunjukkan kuali
Rasanya Gian nyaris tersedak salivanya sendiri ketika melihat siapa yang mendadak muncul dan berdiri di depannya.“W—Wina?” Gian tak siap dengan ini.“Syukurlah kamu masih ingat nama aku.” Wina tersenyum, kemudian dia melirik ke Sonia di samping Gian yang belum melepaskan belitan tangannya dari lengan si remaja pria.Tahu diri, Gian melepaskan tangan Sonia dari lengannya. “Win, ini ….”“Iya, tak apa, kok Gian.” Wina masih tersenyum dan kemudian berjalan keluar dari warung tenda.Mau tak mau, Gian mengejarnya, meninggalkan Sonia yang kesal.“Win! Wina!” Gian mengejar langkah Wina dan lekas menangkap tangan gadis itu.Wina tertahan langkahnya dan berbalik menghadap ke Gian. Wajahnya terlihat kecewa. “Kenapa malah mengejar aku? Kasihan pacar kamu tadi, Gian.” Dia masih memaksakan senyumnya meski terlihat masam dan sedih.“Aku … itu … dia ….” Gian harus berkata apa? Bahwa Sonia hanya satu dari keenam selir yang dia punyai? Lalu apa tanggapan Wina bila mendengar itu? Bukankah akan lebih ru
Gian berang dengan hardikan Gunawan. Dia merasa tidak dihargai oleh bosnya. Apakah bosnya buta sampai tak bisa melihat potensi besar dan kualitas dirinya? Kenapa masih saja menaruh Gian di bawah Wiro?Dengan sekali cekal, satu tangan Gian mencengkeram leher Gunawan, lalu mengangkat pria gemuk itu dari kursi.Gunawan kesusahan bernapas akibat dari perbuatan Gian. “Krrhh! Kau … kau … tamat! Krrgghh … aku … lapor … polisi … krrghh!”“Apa? Hendak melaporkan aku ke polisi? Kau pikir mereka sanggup menanganiku yang sekuat ini?” Gian memandang penuh cemooh pada Gunawan.“Krrghh … lepaskan .. aku ….” Suara Gunawan makin parau dengan wajah sudah memerah padam dan mulai membiru karena kekurangan pasokan oksigen.“Kau minta kulepas? Boleh! Tapi jadikan dulu aku pemimpin pekerjamu dan bayar aku dua kali lipat dari yang sudah-sudah!” Gian sudah dikuasai emosi. Dia mengingat ucapan Elang untuk tidak lagi membiarkan dirinya diinjak-injak oleh siapapun!Kedua kaki Gunawan bergerak-gerak di udara samb
Gian tidak akan mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya, Gunawan kini berada di ruang ICU karena sempat mengalami henti jantung dan sekarang pria itu mengalami koma.Sedangkan Wiro mengalami gegar otak ringan dan tidak dalam situasi bahaya.Meski begitu, keluarga Gunawan tidak terima dan mereka segera melapor ke polisi, apalagi isi brankas Gunawan dikuras. Meski yang ada di brankas itu bukan seluruh harta sang bos, namun tetap saja itu sebuah kerugian.“Pokoknya pelaku bernama Gian itu harus mendekam dan membusuk di penjara!” Istri Gunawan meradang marah di rumah sakit setelah melihat kondisi suaminya yang mengenaskan.Polisi pun didatangkan dengan segera dan menanyai anak buah Gunawan mengenai Gian.“Siapa nama lengkap dia? Di mana alamat rumahnya?” Polisi bertanya ke salah satu anak buah Gunawan.Tapi, mendadak saja orang itu terdiam sembari bingung. “Wah, aku … kami … kami hanya tahu namanya Gian, itu saja, Pak Polisi!” Dia berujar jujur.Rupanya selama ini, Gian tidak pernah dim