“Kenapa kau melotot seperti itu?” Feza bertanya dengan pandangan jijik ke Gian.Menoleh dengan malas ke Feza, Gian menjawab, “Aku tidak melotot.”“Kau menantang kami?” Nazik menampar meja meski tidak sekeras Yagdar tadi. Bagaimanapun, ini bukan tempat miliknya.Gian masih menjawab dengan suara setenang mungkin, “Aku tidak ingin seperti itu. Aku hanya ingin pulang bersama Cia. Itu saja.”“Yagdar sudah bilang kalau dia yang akan mengantar Cia. Kau pergi saja sana! Mengganggu saja pada pertemuan antar saudara!” Erhan berkomentar mengingatkan akan ucapan sepupu Alicia sebelumnya.Tapi, tentu saja Gian tidak bisa dikalahkan dengan kalimat semacam itu dan masih bisa membalas, “Aku datang dengan Cia, maka pulang juga harus bersama dia.”“Telingamu tuli?” Yagdar melotot makin gahar ke Gian.Sementara itu, Alicia terus berusaha mendingin kedua belah pihak dengan wajah memohonnya, tapi tak ada satupun pemuda yang bersedia reda untuknya. Mereka seakan menemukan celah untuk menyalahkan Gian dan m
Tepat seperti dugaan Gian, orang-orang yang mengikuti dia dan Alicia adalah teman-teman Yagdar dari Timur Tengah.Alicia panik dan khawatir akan keselamatan Gian. Dia yakin dirinya tidak akan disakiti, tapi bagaimana dengan kekasihnya? “Gian, Gian, jangan berhenti! Kenapa malah berhenti?”Wajar kalau Alicia makin panik ketika Gian malah menghentikan motor begitu mobil penguntit memotong jalur dan mengadang di depan. Padahal, menurutnya, Gian masih bisa membelokkan motor dan kabur dari para penguntit.Namun, Alicia tentu belum paham maksud Gian menghentikan motor. Gadis itu juga mungkin terlupa mengenai kekuatan besar Gian yang melebihi logika.Para pemuda keluar dari mobil, namun tak ada Yagdar di sana, hanya teman-temannya saja.“Alicia, sepertinya udara malam ini terlalu dingin. Bagaimana kalau kau ikut kami saja menggunakan mobil?” tanya Erhan.“Ya, benar! Kau bisa sakit kalau naik motor begitu.” Feza menimpali.“Pacarmu itu sungguh tidak perhatian, bisa-bisanya gadis secantik kau
Di saat keempat pemuda itu masih terperangah dengan sesuatu yang ada di mobil mereka, mendadak saja terdengar bunyi korsleting dan berakhir dengan letupan-letupan kecil. Meski letupannya kecil, namun mana berani mereka tetap di dekat mobil itu. Keempatnya lekas lari berhamburan menjauh dari mobil karena takut benda itu akan meledak. Setelah itu, Gian terkekeh dan berkata menggunakan wajah menyeringai ke mereka, “Nah, kalian lihat sendiri apa yang terjadi dengan mobil kalian? Itu bisa terjadi ke kalian kalau kalian mengganggu aku ataupun Alicia. Mengerti?” Seperti orang bodoh, keempatnya mengangguk cepat ke Gian dan tak lama, mereka hanya bisa melihat Gian membawa Alicia pergi dari sana dengan motor. Sepertinya, setelah menyaksikan sendiri dengan mata masing-masing tentang apa yang terjadi dengan mobil yang disentuh tangan Gian, mereka tidak akan berani mencari perkara dengan Gian. “Arghh! Ini sakit sekali!” Setelah selesai tertegun, dua dari mereka mulai sadar akan rasa sakit pada
Apakah Gian salah dengar? Temannya ingin disetrum? Dia menatap heran ke Evita. “K—kok … minta disetrum?” Dia terheran-heran.“Hanya ingin tahu rasanya saja, kok!” Evita merayu dengan sikap manja. “Aku kan belum pernah merasakan listrik kamu. Aku dengar, Danar dan gengnya pernah, ya kan?”Gian menelan ludah, rupanya berita itu sudah bocor. Tapi mau bagaimana lagi? Jika nanti dia kesulitan mengendalikan massa, dia hanya perlu meminta tolong pada Elang saja, karena tikus putih itu sudah menjanjikan hal tersebut padanya.“Itu … tapi mereka berakhir kejang-kejang, loh!” Gian tak yakin Evita masih mau melanjutkan keinginannya. Meminta disetrum? Kenapa terkadang perempuan memiliki keinginan aneh, sih? Gian tak paham dengan pola pikir perempuan.“Yah, jangan banyak-banyak setrumannya, dong!” Evita mencubit pipi mulus Gian, pipi yang dulu sering ditumbuhi jerawat hingga meradang mengerikan.“Lalu, yang seperti bagaimana?” Gian tak paham.Evita menautkan jemarinya ke tangan Gian. “Nah, coba ali
Di kelas, saat pelajaran berlangsung, Gian masih terkejut sekaligus memikirkan mengenai apa yang tadi dilakukan Evita padanya. ‘Apakah itu bisa disebut sebuah pelecehan terhadapku? Tapi, rasanya nyaman.’Lalu, Gian menatap tangan kanannya yang tadi sudah menyentuh sesuatu yang sesungguhnya tak boleh dia sentuh dengan bebas karena dia dan Evita tak memiliki hubungan khusus apapun.Ya ampun, dia sudah menyentuh dada perempuan! Bagaimana jika Alicia sampai mengetahui ini? Akan membahayakan hubungan mereka, kan?Kemudian, tatapan Gian tertuju ke kekasihnya, duduk di baris tak jauh darinya. Seketika dia merasa bersalah. ‘Apakah aku juga harus memegang dada Cia agar aku tidak merasa sebersalah ini?’Tapi, makin dipikirkan, Gian justru makin merasa bersalah. Andaikan dia bisa menampar otaknya, ingin sekali dia bisa melakukan itu.Ketika pulang sekolah, Gian mendapati sikap dingin para siswi yang biasanya ribut berebut ingin mengantarkan dia. Karena itu, Gian berjalan sampai menemukan angkot
Gian membelalakkan mata dengan takjub akan apa yang dikatakan Elang. Selama ini, Gian menjadikan Elang sebagai penasehat terbesar dia sekaligus guru dan mentor.“Jadi … tak apa membiarkan mereka seperti itu, Elang?” Gian memastikan sekali lagi. Dia tidak ingin terlihat bodoh dan payah.Elang memutar bola matanya dan menjawab, “Tentu saja tak apa! Kau ini bodoh atau tolol, sih? Sudah susah payah si tua idiot itu memberikan semua ilmu dan kekuatannya ke kamu, tapi kau malah menyia-nyiakannya begitu saja!”“Menyia-nyiakan? Kenapa begitu? Aku hanya menolak kemauan aneh mereka saja, tentu itu sudah sesuai dengan moral masyarakat, kan?” Gian mengira sikap penolakannya sudah benar sesuai dengan adab yang ada di masyarakat.Elang melompat berdiri sambil menghardik dengan cicitan lucunya ke Gian, “Moral apanya, astaga! Kau ini sungguh terlalu hijau, Bocah! Kau bertahun-tahun menjadi itik buruk rupa. Diejek jelek, burik, dan berbagai macam ejekan lain, kau yang tahu sendiri. Nah, ketika kau sud
Gian panik, bagaimana jika dia tidak bisa menenangkan bagian selatannya itu? Tapi, akan lebih gawat lagi apabila Wina mengetahuinya.Baiklah, baiklah, dia harus tenang terlebih dahulu. Tak boleh panik.Maka, dia mulai melakukan olah pernapasan sambil duduk dan menatap ke luar jendela, memandangi langit kebiruan di atas sana, membayangkan alam, membayangkan Elang.Ah, mendadak dia menyesal tidak membawa Elang bersamanya saat ini. Kalau ada Elang, dia pasti tidak akan sebingung ini. Mungkin dia harus menyertakan si tikus putih apabila memiliki acara khusus semacam ini.Tanpa terasa, gundukan di selatan tubuh Gian mulai mengempis dan surut ketika Gian berfokus pada panorama dan Elang.Klak!Pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah Wina dari sana, namun hanya berbalut handuk dan mungkin sudah memakai pakaian dalam di balik handuk.Tapi … bukankah itu namanya ingin menyengsarakan Gian lagi? Pemuda ini baru saja berhasil menenangkan pusaka jantannya!Untuk menghindari kejadian seperti tadi,
“Gian? Tunggu apa lagi? Lekas lepas bajumu dan ganti dengan yang tadi kita beli.” Suara Wina menyadarkan Gian yang melamun.“Ha? Oh! Um … itu … aku ganti di kamar mandi saja, yah!” Gian tidak menunggu sahutan dari Wina dan menyambar kotak pakaian untuknya, membawa kabur secepatnya ke kamar mandi.Lea sampai terkikik geli usai Gian masuk ke kamar mandi. “Kalian … hi hi hi … kalian belum begituan, yah?” tanyanya secara frontal ke Wina. Itu karena mereka memang akrab dan Wina sering memanggil dia untuk merias.Wina terkekeh dengan wajah sedikit malu. “Belum, Kak. Dia … kami … masih sama-sama malu.”“Tak apa. Itu malah bagus. Pertahankan saja hubungan sehat semacam itu.” Lea menyentuh lembut lengan telanjang Wina.Di dalam kamar mandi, Gian menatap bingung setelan jas yang ada di depannya. Dia tak paham tata cara dan langkah demi langkah pemakaiannya.Tapi, karena tak ingin keluar dalam kondisi setengah telanjang, dia nekat memakai saja berdasarkan naluri.Ketika Gian keluar dari kamar ma