Tepat jam 8 malam Bagas sampai ke rumah, wajahnya tampak ceria karena habis bercinta dengan Dinda.“Mas Bagas kok baru pulang?” tanya Ita sesaat Bagas baru memasukkan sepeda motornya ke dalam rumah.Bayang-bayang akan wajah cantik Dinda dan senyuman manisnya, kini buyar berganti dengan wajah Ita. Senyum Bagas yang sedari terpatri di wajahnya, kini perlahan lenyap, melihat wajah istrinya yang baginya sudah tak menarik lagi membuatnya seakan malas berada di rumah.“Iya, Dinda masih beli peralatan dan barang-barang kontrakan. Aku juga yang harus nyusun di dalam kontrakannya”“Mas Bagas berdua di dalam kontrakan sama Dinda?”“Enggak, ada juga Mas-mas yang tukang nganter barang tersebut buat bantuin”Bagas nyelonong pergi ke kamarnya untuk istirahat. Ita kembali curiga saat tubuh suaminya masih tercium aroma sabun, khas orang baru mandi.“M—mas mandi di mana?” tanyanya curiga.Bagas yang tadi sudah rebahan santai di ranjang empuknya kini terduduk lalu memandang Ita dengan tatapan tak suka.
“Aduh .. sudah malam begini Mas Bagas belum juga pulang” ucapnya gelisah.Ita mondar mandir di ruang tamu karena sampai jam 9 malam sang suami belum pulang, apalagi pesannya dari tadi pagi belum di baca sama sekali. Di telfonpun gak di angkat sama sekali. Membuatnya menjadi semakin khawatir, ingin menghubungi rekan kerja Suami, tetapi dia tidak tahu siapa saja dan berapa nomer kontaknya.Selama dia menikah, tidak pernah sekalipun dia mengotak atik ponsel sang Suami, karena baginya tindakan itu sangat lancang. Hanya rasa percaya yang begitu besar kepada sang Suami yang ia miliki.Tetapi belakangan ini sfat Bagas mulai berubah, membuat Ita mulai ragu dengan Suaminya. Selalu saja prasangka buruk yang hinggap dikepalanya.Dulu, sesibuk apapun Bagas, dia kan berusaha menghubungi dirinya, tetapi sekarang sampai malam begini dia tidak juga mendapati satu pesan pun dari Bagas suaminya.Ita kembali berusaha menghubungi suaminya.“Mas, noh Istri kamu nelfonin melulu dari tadi, ganggu kita aja!”
“Semenjak aku bekerja, Mas Bagas tidak lagi memberiku uang nafkah. Apa-apa harus pakek uangku sekarang. Bahkan uang untuk dapur saja Mas Bagas perhitungan! Ada apa dengannya?” Ita tampak gusar.Dia mengeluarkan uang di dompetnya, ”Hanya tinggal segini. Apalagi Mas Bagas belakangan ini sudah jarang berada di rumah! Dia sering lembur.”“Bosan juga sering di rumah! Apa aku pergi ke rumah Dinda saja ya? Hanya sekedar ngobrol. Siapa tahu hari minggu dia juga libur kerja”Ita terlihat kembali bersemangat sangat menyusun agenda untu besok bersama Dinda, dia akan mengajak Dinda untuk jalan-jalan, rujak dan yang lainnya. Senggaknya bercerita, mengenai masa kecil keduanya.Ita tersenyum sendiri, lalu memasukkan kembali uang ke dalam dompetnya. Dia langsung kembali berbaring, melihat tempat suaminya kosong. Ini adalah bukan kali pertamanya, tetapi dia sudah mulai terbiasa tanpa sang suami yang biasanya selalu menemani hari-harinya.“Mas kenapa sering lembur dan bahkan jarang sekali pulang?”“Aku
Di dalam sana, Ita melihat Bagas mencium mesra sang sahabat, dari kening hingga turun ke bibirnya. Dinda mendorong pelan dada bidang Bagas.“Kenapa?”“Capek”“Sini tiduran di atas paha Mas”Bagas menuntun Dinda untuk tiduran, sedangkan pahanya dia jadikan sebagai bantal Dinda. Bagas mengelus perut Dinda yang pulai tampak buncit, dia mencium punggung tangan Dinda dengan sayang.Semua itu tidak lepas dari perhatian Ita, selama menikah, Ita belum pernah diperlakukan semanis itu oleh suaminya, Bagas. “Mereka pengkhianat Ita, suamimu dan sahabatmu diam-diam menjalin hubungan. Mereka pasti menjalin kasih sejak lama! Lihat saja, bahkan sahabatmu tengah mengandung benih dari suamimu!” hasut Dasim.PlakIta terkejut saat ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang, dia mematung, wajahnya pucat. Bukankah siang hari tak ada yang namanya setan?“Mbak?”Ita menoleh, dia memindai gadis di depannya ini dari atas hingga bawah, hanya untuk memastikan bahwa wanita di depannya ini memang benar-
Yesa mengeluarkan dompetnya, Agam langsung merampas dompet tersebut.“Loh Mas, kok ambil lebih? Bukannya Bakso satu porsi sama teh dingin Cuma 30 ribu? Kamu kenapa ngambil 50?”“Untuk bensin,” jawabnya santai.“Jangan pelit gitulah sama Suami! Kamu itu hidup sama aku! Jadilah wanita penurut dan mandiri. Memangnya kamu mau jalan kaki sambil dorong sepeda motor?”Yesa menggeleng lemah.Agam membayar pesanan mereka lalu beranjak pulang kembali ke rumah.Di rumah tersebut Yesa masih terlihat canggung karena belum terbiasa, orang-orang rumah jarang mengajaknya duduk bersama untuk sekedar mengobrol. Setelah selesai berdagang jam 8 pagi, penghuni rumah kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat, karena sejak dini hari jam 2 sudah berkutat di dapur untuk memasak bahan makananan yang nanti akan di jual, dan mereka akan menjualnya setelah shubuh. Itu sudah menjadi rutinitas bagi Agam dan keluarganya.Agam sibuk dengan motor kesayangannya, sedangkan Yesa aktif di group kepenulisannya, dia sa
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan