Kaisar sudah tampil ganteng, duduk di sofa sambil berselonjoran kaki. Kegemarannya kalau buka sosial media adalah melihat-lihat foto wanita seksi, meskipun semuanya kelihatan sama saja. Semua wanita itu pasti sudah pernah ditiduri oleh bermacam pria hidung belang. Bukan Kaisar tidak tahu. Berbeda dengan Sweety-nya yang masih polos dan malu-malu tapi sangat menggemaskan. Ah, memikirkan Nara, Kaisar jadi kangen dengan gadis itu. Sedang apa dia sekarang ya? Apa dia sudah bisa jalan? Ck. Kaisar menekan icol call untuk memanggil nomor yang diberi nama Sweety tersebut, senyum senantiasa tersungging di bibirnya membayangkan bagaimana gadis itu akan mengomelinya karena membuatnya tak bisa jalan. Namun, hingga panggilan ketiga, tidak ada jawaban dari Sweety, bahkan operator wanita di dalam talian mengatakan kalau Sweety-nya sedang berada dalam panggilan lain. Seketika itu juga, senyum di wajah tampan Kaisar sirna, berganti menjadi masam. Ponselnya ia remas kuat, bersamaan dengan giginya y
“Pokoknya nenek nggak mau tau, kamu jangan mau tergoda apalagi berhubungan sama si Kaisar itu. Dia udah punya istri, nanti yang ada kamu dibilang merebut suami orang, apa sih sebutannya?” Nenek Ratih tampak mengingat-ingat sebutan apa untuk wanita yang kerjanya merebut suami orang. Nenek pernah mendengar itu dari ibu-ibu yang bergosip saat berbelanja di tukang jual sayur keliling. Jangan sampai cucunya jadi bahan gosip ibu-ibu rempong itu. “PELAKOR?” celetuk Nara.“Nah, itu! Nenek nggak mau kamu dicap sebagai pelakor. Malu-maluin. Apalagi sampai digosipin sama ibu-ibu nanti bisa nyebar satu komplek, tahu sendiri ibu-ibu di sini gimana mulutnya kalau ngomongin aib orang. Kayak diri sendiri nggak punya aib aja.”Omelan nenek tadi malam terus terngiang di kepala Nara. Siapa juga sih yang mau jadi pelakor? Kaisar aja yang kelewatan genit jadi orang. Udah punya istri juga masih aja ngelirik gadis lain. Nara bisa mengomel seperti itu seolah kejadian malam kemarin tak pernah terjadi. Lalu
Ini gila. Luna tak bisa menepis bayangan Aldo dalam benaknya sedetikpun setelah kejadian malam itu. Setiap sentuhan yang pria muda itu berikan pada tubuhnya menimbulkan sensasi yang nikmat dan membakar gairahnya. Ia dibuat klimaks berkali-kali. “Aldo, kenapa dia sangat ahli? Apa dia sudah sering meniduri wanita?” Luna jadi susah berkonsentrasi membuat rancangan gaunnya. Kejadian malam itu berputar-putar di kepalanya tanpa diminta. Bagaimana dia mendesah kenikmatan setiap kali Aldo menghujam miliknya dengan sangat dalam, bagaimana tubuhnya mengejang saat gelombang dahsyat itu menerjang. Segalanya terasa nikmat. Kenikmatan yang tak pernah diberikan Kaisar padanya. Tok tok tok. Bunyi ketukan pintu ruang kerjanya membuat Luna menarik kembali kesadarannya, ia tak boleh terlihat bengong di depan karyawannya. Apalagi bengong karena urusan ranjang. “Ya, masuk aja. Nggak dikunci kok.” seru Luna lantang. Luna tak pernah mengira kalau yang masuk adalah Aldo. Pikirnya, setelah kejadian mengg
“Ga, udah berapa lama ya kita pacaran?” Saat mengantar kepulangan Rega ke depan pintu pagar tadi, Nara bertanya seperti itu pada pria yang masih berstatus pacarnya. Nara berusaha untuk menelan kembali pertanyaannya itu yang sudah mengantung di lidah, tapi kepalanya terus mendesak agar segera menuntaskan. Ya, Nara sedang membandingkan antara Rega dan Kaisar. Kenapa Rega tak pernah menciumnya, sedangkan Kaisar begitu bernafsu padanya. Padahal sesama pria, tapi kenapa mereka berbeda? Kenapa Rega lebih sopan padahal seharusnya Rega yang melakukan itu padanya karena mereka pacaran. Kenapa malah Kaisar? Yang bahkan sudah memiliki istri? Pikiran Nara berkecamuk. Belum lagi soal Kaisar yang abangnya Rega, belum lagi Kaisar yang sudah memiliki istri. Luna juga sangat baik untuk disakiti. “Kira-kira setahunan lebih. Kenapa emangnya? Lo mau bikin perayaan anniversary? Boleh tuh.” Rega cekikikan sendiri membayangkan jika tebakannya soal anniversary itu benar, sebelum dilihatnya raut wajah Nar
Nara masih benci sama gue bahkan setelah enak-enak berdua kemarin malam? Sebenarnya dia punya perasaan nggak sih sama gue? Kaisar yang sedang memakai sendiri dasinya di depan cermin kedapatan melamun. Otaknya tak bisa lepas dari Nara seolah ada lem UHU yang membuat gadis itu menempel di sana. Kenapa gadis itu seolah menjauhinya? Gue harus ke rumahnya lagi. Kaisar membatin kemudian mempercepat merapikan pakaiannya. Luna yang sedang menyiapkan sarapan, bahkan tak sempat menawarkan pada Kaisar, suaminya keburu pergi. Kaisar memacu mobilnya kencang, biar cepat sampai ke rumah Nara. Sejujurnya, dia sedikit khawatir, apa mungkin Nara masih sakit karena neneknya bilang cucunya itu tak enak badan. Apa dia minum obat herbal dari gue? Kaisar tampak mengetik pesan untuk Nara. Dia tak bisa cuma menunggu, belum tentu juga Nara yang akan keluar, bagaimana kalau neneknya? Kaisar juga khawatir wanita tua itu seperti tak menyukainya. Di meja makan berbentuk segi empat itu, Nara sedang sarapan sen
Yang Nara khawatirkan benar-benar kejadian. Sang nenek, mengintip dari tirai jendela saat Kaisar menciumnya. “Apa itu barusan? Pria bernama Kaisar itu mencium Nara?” Nenek Ratih shock, satu tangan menutup mulutnya, yang satunya lagi memegang dada, tapi detik berikutnya yang dia lihat adalah cucunya menampar keras pipi Kaisar. Nenek sedikit bernafas lega. Bukankah itu artinya Nara tidak suka akan ciuman itu? Artinya Nara tidak menyukai si Kaisar? Jadi ceritanya, nenek menyadari kehadiran Kaisar di depan pagar rumahnya. Wanita tua itu sengaja tidak mau membukakan pintu, apalagi mempersilakan masuk. Dia tak ingin Kaisar mengganggu cucunya lagi. Akan tetapi, saat dia mengecek ke depan, baik Nara dan mobil Kaisar tidak ada di sana. Apa Nara pergi dengan Kaisar? Ah, nenek jadi khawatir lagi. ***Tanpa Nara sadari, ada Elsa yang sedang mencari tempat parkir untuk sepeda motornya saat Nara keluar dari mobil Kaisar. Gadis itu tertawa puas, seolah dia pu
Makan siang Nara dan Rega di cafetaria kampus, setelah cukup lama tidak makan bersama. “Wah, udah lama ya mbak dan mas-nya nggak makan siang bareng di sini. Kirain udah nggak bersama lagi, alias putus gitu. Hehe.” Basa-basi pekerja cafe yang membuat Nara dan Rega saling pandang dengan wajah tegang. Apaan sih? Nggak lucu. “Nggak dong, Mas. Kita lagi sibuk masing-masing aja, banyak tugas, hehe.” Rega menanggapinya dengan tertawa hambar, lalu pandangannya bertemu dengan Nara. “Kami berdua ini sehati, nggak bisa dipisahkan. Mas doain aja ya, biar langgeng sampai pelaminan.”Mas-mas pekerja cafe mengangguk tanda mendukung, tapi beberapa saat kemudian alisnya bertaut. “Berarti kemarin itu saya cuma salah lihat ya. Kirain saya, mbaknya makan siang di sini sama pria lain.”Waduh, mampus gue! Kenapa pakai ngomong segala sih ini mas pekerja cafe? Nara tidak tahu lagi, jantungnya seperti mau melompat keluar. Apa Rega bakal termakan omongan Mas-nya ya? Nara melirik Rega, berusaha bersikap ten
Nara kedapatan melamun di tempat kerjanya. Pertanyaan pamungkas dari Rega tadi saat di kampus sungguh membuatnya tercekat, sulit sekadar untuk menelan ludah.“Ra, kenapa diem? Lo juga sayang sama gue, kan?” Rega mengulang sekali lagi pertanyaan serupa. Wajahnya terlihat lebih serius. Ah, mengingatnya membuat Nara deg-degan. “Tentu dong. Lo kan pacar gue.” Rega yang entah sejak kapan menahan nafas, kelihatan menghembus nafas lega disertai senyuman mengembang di sudut bibirnya. “Makasih ya, Nara sayang. Gue janji, akan jadi pria yang membanggakan buat lo.”Jangan Ga! Yang ada gue makin merasa bersalah sama lo. Jerit Nara dalam hatinya seraya menangkup pipinya dengan kedua telapak tangan. Beruntung tak ada pembeli yang datang, jadi tak ada yang menyadari kalau Nara sedang resah gelisah. “Ra, ini ada kiriman bunga mawar buat kamu.” Mendengar suara teman kerjanya, Nara langsung membuka kedua tangannya yang menutupi muka. “Bunga? Dari siapa?”Teman kerja Nara yang seorang perempuan seba