Hari yang dinantikan telah tiba, Rere melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Perhatian berlimpah ruah sedang tertuju kepada Rere dan putranya. Tentu Edzard pun melakukan hal yang sama, di depan ruang persalinan, kedua keluarga berkumpul berbahagia mendengar tangisan bayi baru lahir. Ada Kenzo dan juga Helene juga di sana. Mereka turut menunggu proses persalinan. Tidak ada yang tahu jika ada sepasang mata mengawasi dari kejauhan. Tatapan mata sendu, menahan tangis.
“Pergilah Eve jika kau ingin melihat bayi mereka, sebelum waktumu habis,” ujar Aarav menatap wanita cantik di hadapannya. Wanita itu mengenakan pakaian perawat lalu menutup mulut dengan masker. “Berhati-hatilah, kau hanya punya waktu seperempat jam saja!” ujar Aarav mengingatkan.
Evelyn mengangguk dia menghela napas dengan berat lalu melangkah dengan percaya diri mendekati ruangan Rere. Wani
Malam itu saat Edzard baru saja pulang dari kantornya, lelaki itu melihat Rere yang nampak gusar. Sang istri bolak-balik kamar mandi, Edzard mengira itu hal yang wajar mengingat kehamilan Rere sudah memasuki usia sembilan bulan. Edzard tersenyum melihat Rere keluar kamar mandi, dia duduk di ujung ranjang setelah meletakkan tas kerjanya di nakas. Rere ikut duduk di samping sang suami, dia menyandarkan kepala ke pundak lebar lelaki itu. Edzard mengelus punggung Rere mencoba memberi kekuatan agar sabar. Wanita tersebut memeluk sang suami, mencari kenyamanan setelah berulang kali badan terasa pegal terutama bagian punggung. "Sudah merasa baikan, Sayang?" tanya Edzard. "Lumayan, Bang," jawab Rere. Edzard memeluk erat tubuh tersebut lalu mengulas senyum, "Abang mandi dulu ya," kata Edzard. "Iya, Bang," jawab Rere, wanita itu hendak berdiri namun Edzard menahannya. "Kau mau ke mana?" tanyanya. "Rere akan buatkan Abang kopi panas," jawab Rere. "Tidak perlu
Ada beberapa pertanyaan yang menggelayut di benak Edzard untuk apa Evelyn datang dengan sembunyi-sembunyi. Jantung Edzard berdetak semakin cepat, dia menghela napas menahan gejolak yang dalam dada. Edzard mencium sang bayi yang berjenis kelamin perempuan itu untuk menghilangkan aroma Evelyn, mantan istri keduanya. Aroma memikat yang hadir kembali setelah sekian lama berlalu. Edzard kemudian memilih keluar ruangan, mencari kesempatan untuk bertegur sapa dengan wanita tersebut. Dia sabar menunggu di lorong rumah sakit, menyandarkan punggung pada tembok yang terasa dingin inj. Edzard mendongakkan kepala ke atas, melihat langit-langit warna putih bersih, tidak ada sarang laba-laba sama sekali. Seolah lelaki tersebut tengah mencari jawaban atas tidakan konyol yang dia lakukan. Mengapa harus demikian, mengapa dia menunggu wanita tersebut. Begitu pertanyaan mengusik kini, semua kenangan manis dan pahit berseliweran dalam benak Edzard, seolah menari, mempermainkan. Mesk
Begadang, kurang tidur dan lelah, hal lumrah bagi pasangan suami istri yang baru memiliki momongan. Edzard senantiasa membantu mengurus buah hati mereka. Tangisan pecah bayi di rumah utama keluarga Devan menambah riuh, kakek dan nenek si bayi juga membantu sebisa mungkin. Bayi kecil yang belum memiliki nama. Ritual unik bagi Rere juga dijalankan saja oleh wanita muda tersebut, tradisi warisan nenek moyang. Di mana selama empat puluh hari Rere mengenakan jarik yang dililit dengan stagen. Ada pula bagian pelipis yang diulas dengan sesuatu berwarna coklat dan berbau khas. Tidak lupa selama itu Rere juga menjaga pola makan, lebih tepat disebut ‘ngayep’ istilah makan dengan makanan tanpa digoreng, hanya direbus, tidak boleh makan-makanan yang berbau amis, seperti daging dan juga ikan. Kata Nyonya Devan, agar luka di dalam tubuh cepat sembuh dan tidak berbau amis yang sangat. Edzard sempat bersitegang dengan penuturan sang ibu, meski Rere melakuk
Rere tersenyum bahagia, malam upacara selamatan, cukuran, pemberian nama sekaligus aqiqah pada empat puluh hari kelahiran putrinya. Acara sederhana digelar hanya keluarga terdekat yang hadir. Rere sudah berdandan dengan anggun dalam balutan kebaya warna emas dengan jarik warna hitam motif batik. Wajah Edzard nampak bersemu merah terpana akan kecantikan Rere. Ah, tidak bosan dia menatap, memandang wajah cantik yang tengah berjalan mendekat. "Kamu cantik," bisik Edzard. Rere tersenyum manis, wanita itu memandang Edzard yang terlihat sibuk bercengkrama dengan saudara yang hadir. Sang suami nampak gagah mengenakan baju batik lengan panjang warna coklat perpaduan cream. Pengajian atas pemberian nama putri keduanya, dengan nama Larisa Edzard. Acara berjalan dengan lancar hingg
Pendar menyembul ke permukaan dari atma. Mengecap manis meski sebuah empeduKerikil tajam yang terpijak bak tanpa rasa, jalan pun masih berlalu lintas deminya. Pesona yang tidak mampu terelak, mendendangkan kidung rindu yang menggelegak. Meski hati berlawan, tidak. Namun, rasa tumbuh bernas tanpa mampu menolak. Oh kama, mengapa harus demikian? Renjana tidak mampu untuk ditolak, buliran bening berambai-rambai tidak sepadan pada kukungan memukul penuh sesak Dia pun berlalu tanpa menoleh, menyisakan lara memikul pilu. Sayatan bernanah telah kembali menggores, pada atma yang disinggahi lalu, kesabaran telah habis, pengorbanan telah menepis, dan rasa cinta mulai terkikis. Betapa hancur lebur sudah perasaan melihat Rere melihat kebersamaan Edzard dan Evelyn. Lebih memilukan ada seorang anak kecil di antara mereka. Dengan tatapan penuh kasih sayang Rere melihat Edzard mengelus kepala bocah lelaki itu. Sakit, sudah pasti, apa yang
Sesak napas seketika, bukan karena berada di ruangan sempit dengan beberapa orang, tetapi karena beban yang tiba-tiba seperti menyembul, mengukungnya. Kecewa, sakit hati bercampur menjadi satu. Rere tidak peduli, dia keluar lift menghirup udara segar yang tidak terlalu membuat lega. Dengan tergesa-gesa Rere sedikit berlari, hingga menyenggol beberapa orang yang lalu menatap aneh."Hei, perhatikan jalan Anda, Nona," keluh suara bariton."Maafkan saya," ujar Rere menundukkan kepala menyembunyikan mimik wajah kusutnya. 'Tolong jangan pandang aku dengan tatapan sarkas kalian,' keluh Rere merasa kecil sekali di antara orang-orang di sekeliling. Rere tiba-tiba merasakan kesepian di tengah hiruk-pikuk, di tengah keramaian ada jiwa senyap dalam sendiri.
Seperti naik lore coaster jantung Rere berdentum dengan kencang, antara hidup dan mati yang di depan mata. Tidak ada hal yang bisa dia lakukan, nasi menjadi bubur, dia teledor, merutuki dirinya pun sekarang tidak guna, semua telah terjadi, sungguh malang. Haruskah berakhir demikian, dengan segala derita yang dia emban belum satu pun yang lepas dari beban. Bodoh. Satu kata yang dia lontarkan untuk diri sendiri. Bersama keputusasaan yang menggerogoti seperti penyakit mematikan yang tiba-tiba menyerang tanpa ampun. Siapa yang menduga di balik kepasrahan nasib, sang kuasa masih sayang. Sebuah tangan berotot menarik Rere dengan cepat. Malaikat penolong datang membantu Rere, membuat Rere kembali bersyukur atas apa yang terjadi. Tubuh wanita tersebut diseret cepat dalam pelukan, mendekap mengapit dalam kungkungan wanita dan bayi tersebut. sang penolong itu berusaha menyelamatkan kedua nyawa itu dari mara bahaya. Tubuh cekatan bergera
Suasana hening seketika, siapa wanita yang tidak akan cemburu melihat sang suami berduaan dengan mantan istri, di mana keduanya pernah saling mencintai. Harus apa Rere besikap, tenang, itu tidak mungkin, yang ada naik pitam dan juga sesak napas, merasa ingin mengacak-acak wajah tanpa dosa kedua tersangka. Ingin mengamuk sudah pasti, tetapi itu bukan jalan yang ingin Rere tempuh. Selugu apa pun dirinya tetap ingin tampi elegan setelah kejadian memalukan berurai air mata dan nyarius tertabrak mobil. Dalam sejurus kemudian Rere berpikir sungguh bodoh sekali dirinya, bukan. Edzard masih mencoba bersikap biasa tanpa emosi, dia membuka pintu mobil samping kemudi, mempersilahkan sang istri masuk. “Sayang, naiklah, aku bukan sopir,” cebik Edzard ketika melihat Rere berjalan hendak membuka pintu mobil bagian belakang. Lelaki itu merangkul sang istri meski wanitanya menolak. Dia mencoba tetap lembut mengajak Rere untuk naik mobil