Pendar menyembul ke permukaan dari atma. Mengecap manis meski sebuah empedu
Kerikil tajam yang terpijak bak tanpa rasa, jalan pun masih berlalu lintas deminya. Pesona yang tidak mampu terelak, mendendangkan kidung rindu yang menggelegak. Meski hati berlawan, tidak. Namun, rasa tumbuh bernas tanpa mampu menolak. Oh kama, mengapa harus demikian? Renjana tidak mampu untuk ditolak, buliran bening berambai-rambai tidak sepadan pada kukungan memukul penuh sesak
Dia pun berlalu tanpa menoleh, menyisakan lara memikul pilu. Sayatan bernanah telah kembali menggores, pada atma yang disinggahi lalu, kesabaran telah habis, pengorbanan telah menepis, dan rasa cinta mulai terkikis. Betapa hancur lebur sudah perasaan melihat Rere melihat kebersamaan Edzard dan Evelyn. Lebih memilukan ada seorang anak kecil di antara mereka. Dengan tatapan penuh kasih sayang Rere melihat Edzard mengelus kepala bocah lelaki itu. Sakit, sudah pasti, apa yang
Sesak napas seketika, bukan karena berada di ruangan sempit dengan beberapa orang, tetapi karena beban yang tiba-tiba seperti menyembul, mengukungnya. Kecewa, sakit hati bercampur menjadi satu. Rere tidak peduli, dia keluar lift menghirup udara segar yang tidak terlalu membuat lega. Dengan tergesa-gesa Rere sedikit berlari, hingga menyenggol beberapa orang yang lalu menatap aneh."Hei, perhatikan jalan Anda, Nona," keluh suara bariton."Maafkan saya," ujar Rere menundukkan kepala menyembunyikan mimik wajah kusutnya. 'Tolong jangan pandang aku dengan tatapan sarkas kalian,' keluh Rere merasa kecil sekali di antara orang-orang di sekeliling. Rere tiba-tiba merasakan kesepian di tengah hiruk-pikuk, di tengah keramaian ada jiwa senyap dalam sendiri.
Seperti naik lore coaster jantung Rere berdentum dengan kencang, antara hidup dan mati yang di depan mata. Tidak ada hal yang bisa dia lakukan, nasi menjadi bubur, dia teledor, merutuki dirinya pun sekarang tidak guna, semua telah terjadi, sungguh malang. Haruskah berakhir demikian, dengan segala derita yang dia emban belum satu pun yang lepas dari beban. Bodoh. Satu kata yang dia lontarkan untuk diri sendiri. Bersama keputusasaan yang menggerogoti seperti penyakit mematikan yang tiba-tiba menyerang tanpa ampun. Siapa yang menduga di balik kepasrahan nasib, sang kuasa masih sayang. Sebuah tangan berotot menarik Rere dengan cepat. Malaikat penolong datang membantu Rere, membuat Rere kembali bersyukur atas apa yang terjadi. Tubuh wanita tersebut diseret cepat dalam pelukan, mendekap mengapit dalam kungkungan wanita dan bayi tersebut. sang penolong itu berusaha menyelamatkan kedua nyawa itu dari mara bahaya. Tubuh cekatan bergera
Suasana hening seketika, siapa wanita yang tidak akan cemburu melihat sang suami berduaan dengan mantan istri, di mana keduanya pernah saling mencintai. Harus apa Rere besikap, tenang, itu tidak mungkin, yang ada naik pitam dan juga sesak napas, merasa ingin mengacak-acak wajah tanpa dosa kedua tersangka. Ingin mengamuk sudah pasti, tetapi itu bukan jalan yang ingin Rere tempuh. Selugu apa pun dirinya tetap ingin tampi elegan setelah kejadian memalukan berurai air mata dan nyarius tertabrak mobil. Dalam sejurus kemudian Rere berpikir sungguh bodoh sekali dirinya, bukan. Edzard masih mencoba bersikap biasa tanpa emosi, dia membuka pintu mobil samping kemudi, mempersilahkan sang istri masuk. “Sayang, naiklah, aku bukan sopir,” cebik Edzard ketika melihat Rere berjalan hendak membuka pintu mobil bagian belakang. Lelaki itu merangkul sang istri meski wanitanya menolak. Dia mencoba tetap lembut mengajak Rere untuk naik mobil
Berpisah, tentu bukan hal yang pernah Edzard bayangkan sebelumnya dengan Rere. Janji untuk menjadikan dia wanita satu-satunya dalam mahligai pernikahan tidak lantas membuat Rere bersabar. Ah, mungkin waktu yang berlalu memang tidak pernah mampu diputar kembali. Cinta yang tumbuh membutakan membuat Rere tersadar dari sakit. Dia lalu bangkit dan memilih berpisah. Lalu Edzard, lelaki tersebut terdiam, seperti baru mendapatkan bogem mentah yang memukul tubuh. Ringsek, tidak bersisa, sang istri tidak bersalah, yang bersalah dirinya. Lalu apa yang harus diperbuat agar sang istri mau memaafkan, mungkin itu pernyataan yang sulit. Digadang-gadang sakit yang mendera tidak sebanding dengan duka yang dia torehkan kepada Rere. Lelaki itu menahan emosi yang teramat, memijat kening yang terasa berdenyut dengan jemari, dia biarkan Rere berceloteh mengeluarkan segala unek-unek yang mungkin membenakan. Marah, yah Edzard membiarkan dang istri melam
Sebuah kamar yang cukup luas untuk ditempati seorang anak. Ada bocah lelaki yang berlari ke sana kemari mengejar bola yang menggelinding. Pintu kamar terbuka, seorang lelaki masuk kemudian menatap wanita yang masih tersenyum mengekor sang balita yang sedang asik melempar bola masuk ke sebuah keranjang. Dia menatap miris dengan ekspresi yang tidak dapat digambarkan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, yang pasti mereka terseret arus pada pusara masalah keluarga seseorang. "Evelyn, kau baik-baik saja?" Suara bariton mendekat. "Alow apa ecil (halo papa kecil)," sapa putra Evelyn dengan yang masih cadel. "Yo, jagoan, mau main bola?" tanyanya, dia menunduk ber
Sang surya mulai bersinar kemerahan, keperkasaan telah berganti dengan pemandangan yang membuat orang terpesona dengan kecantikan. Seolah lupa dengan sosok yang panas menyengat di siang hari nan cerah. Pendar cahaya jingga menyeruak di langit sore, senja yang begitu mempesona. Namun, cerahnya mentari senja berbanding terbalik dengan perasaan Edzard yang campur aduk. Antara gugup dan bingung, walau bagaimana yang berada di hadapannya adalah sang mertua. Kedatangan kali ini pun bukan untuk berkunjung melainkan untuk mengantar sang istri. Di mana rumah tangga yang dia jaga sekarang masih terkoyak tidak bersisa. Edzard dan juga Rere duduk di kursi ruang tamu berhadapan dengan kedua orang tua wanita tersebut. Rere menangis sesenggukan membuat Nyonya Ananta langsung bangkit dari duduk dan membimbing sang putri masuk ke dalam kamar. Edzard menghela napas panjang melihat punggung sang istri dan juga putrinya yang merengek. Tuan Ananta menatap menantunya sangsi
Dengan berat hati Edzard berpamitan kepada kedua orang tua Rere. Lelaki itu juga menyempatkan masuk ke dalam kamar sang istri. Wanita tersebut pura-pura memejamkan mata saat mendengar pintu terbuka. Edzard melangkah mendekati, dia naik ke sisi ranjang bagian samping. Menatap istri dan juga sang putri bergantian. Berat sekali rasanya untuk berpisah sekejap, sungguh memilukan. Namun, apa daya nasi sudah menjadi bubur, semua terjadi karena ulah sendiri, dan dia sedang menuai apa yang diperbuat."Ayah berpisah dengan kamu dan ibu kamu sebentar, Larisa Sayang. Ayah menyayangi kalian," ucap Edzard mengelus pipi gembul bayi yang terlelap tidur itu. Dia mengecup beberapa kali pipi dan juga kening. Beralih menatap Rere, Edzard mengelus pipi mulus itu. "Maafkan aku Sayang, aku belum menjadi suami yang sempurna, belum menjadi imam yang baik, belu
Hanya dengan melihatnya saja sudah membuat muak. Rasa itu sungguh sakit tidak terkira. Jika tidak memikirkan nasib keluarga, Rere sudah pasti memilih berlalu pergi menghindari luka dan sakit. Rere merasa wanita di hadapannya itu tidak tahu malu, tersenyum tanpa dosa. Hingga Rere berpikiran buruk, akankah wanita itu menertawakan dirinya karena dia telah menyerah, memilih untuk berpisah. Senyum itu apa kah tanda kemenangan untuknya? Begitu tanya Rere pada diri sendiri. Wanita itu mengepalkan kedua tangan, menganggap akting yang dilakonkan wanita itu adalah terbaik, bersikap biasa saja setelah memporak-porandakan kehidupan rumah tangga seseorang. Sungguh luar biasa bukan."Apa kabar Re," sapa wanita tersebut terdengar menjengkelkan di rungu Rere.'Asta