Suara bising mobil di tengah kemacetan sungguh mengganggu indra pendengaran. Aarav mengemudikan mobilnya dengan pelan. Larisa duduk manis sembari tersenyum menatap layar ponsel. Seperti bocah gila yang jatuh cinta pada benda pipih itu. Terkadang tersenyum lalu menggigit bibir. Aarav melirik di saat bersamaan.
'Ah bibir yang menggoda,' pikir lelaki itu. Semejak dia melumat bibir larisa, Aarav semakin sering terbayang wajah dan bibir itu. "Apa yang membuatmu tersenyum-senyum, kau sedang berpacaran dengan seseorang?" tanya Aarav tanpa dosa setelah memukuli kekasih Risa.
"Iya, namanya Emir," jawab gadis itu. "Om, kenapa Om belum menikah?" tanya Larisa.
"Entahlah, mungkin karena belum menemukan yang pas," jawab Aarav.
"Om kan ganteng, pasti banyak yang mengantri," ujar Larisa lagi.
Aarav terkek
Menikah, dengan Om Aarav, astaga pemikiran konyol macam apa yang diutarakan bujangan tua itu. Rasanya aku ingin menjitak saja kepala itu, jika tidak sadar beliau orang dewasa yang harus aku hormati. Berulang kali napas ini kembang kempis secara teratur, mengontrol emosi jiwa yang menyerang bak bom atom meletus. Tidakkah dia paham aku ingin menikah dengan pangeran tampanku, Emir. Meski bukan sekarang, karena Emir juga ingin masuk ke perusahaan ayahnya dahulu. Toh kami masih kuliah, perjalanan masih panjang, sepanjang rel kereta api yang tak putus-putus saling menyambung.Tidak pernah tercatat di kamus Larisa Edzard menikah muda, apa lagi dengan Om om, astaga, sungguh terlalu. Aku memutar bola mata lalu menoleh ke arah lelaki yang baru saja hendak meminangku, aku paham benar dia tidak mungkin menawarkan diri menikah atas dasar mencintai.
Astaga, aku nyasar dan baru menyadarinya setelah berjalan lama melewati lorong yang entahlah aku tidak paham jalan untuk pulang. Lutut rasanya mau copot, tidak pernah aku berjalan terlalu Tenggorokanku sangat haus terasa, kepanasan pula sungguh sial, ingin rasanya mengumpat tapi ini pun salahku. Mau mengalahkan siapa. Sedih rasa hati ini tersiksa, jika boleh meminta pada angin, aku ingin panas ini berlalu dengan berganti mendung. Dering ponsel untuk kesekian kali berdering, menyerah aku mengangkat panggilan tersebut. Mau ngeyel pun tidak bisa, aku tidak ingin tersesat semakin jauh. "Larisa, kau di mana?" tanya Om Aarav, suaranya terdengar panik. "Om, Risa nyasar," keluhku. "Astaga, bagaimana bisa?" "Mana Risa tahu," ujarku tanpa rasa salah. "Share loc, aku akan menjemputmu!" perintahnya. Aku men-share lokasiku saat ini lewat aplikasi FastApp, kemudian duduk di bawah pohon rindang, mirip orang hilang. Menunggu, perbuatan membosankan yang s
Bangun tidur rasanya aku masih malas, mata ini masih terpejam dengan nyaman. Di balik selimut dan juga ranjang yang nyaman dan empuk. Rasanya aku tidak ingin beranjak. Elusan halus menyapa pipi, ah perbuatan yang sering ibu lakukan. "Sampai kapan kau akan tidur?" Suara lelaki terdengar mengagetkan. Aku membuka mata dengan cepat. "Om," bisikku melihat Om Aarav berbaring di samping. "Kau nyenyak sekali tidurnya, dari tadi siang, sampai aku pulang meeting kau masih tidur," ceramah Om Aarav. Aku menyembunyikan tubuh di balik selimut. "Pergilah mandi, tubuhmu sudah bau kecut," keluh Om Aarav. Aku menyembul dari balik selimut lalu mencium lengan kemeja yang aku kenakan. "Aku masih wangi," keluhku mengerucutkan bibir. Om Aarav terkekeh, rasanya kesal melihatnya, aku lempar dia dengan bantal. "Larisa, mari kita menikah saja, kau terbebas dari rencana perjodohan. Jadilah tameng untuk diriku juga yang sudah didesak menikah," ujar Om Aarav. Aku menghel
Senja bersinar dengan indah, mengiringi pergantian hari. Semburat sinar merah kekuningan, jingga terpancar membelah keramaian, jalan lalu lalang kendaraan umum dan hiruk pikuk kerumunan manusia. Berbeda dengan kantor, mulai terlihat sepi, sunyi, sebagian besar karyawan sudah berpulang. Bukan hari-hari sibuk, tinggal segelintir saja yang tersisa. Edzard terlihat sibuk, lelaki yang kini tidak lagi muda itu masih terlihat gagah menawan meski rambutnya telah beruban. Usia semakin bertambah. Sudah lima puluh dua tahun, tidak disangka, Larisa juga hampir menginjak usia dua puluh tahun lagi. Edzard meraih bingkai foto yang ada di meja. Ada potret ketika wisuda dulu, juga kemudian di sebelah lagi ada potret dia dan keluarga kecilnya. Kenangan manis itu hadir menyapa, air mata tidak terbendung, luruh. Perjuangan rumah tangga yang penuh liku, sampai akhirnya Larisa hadir sebagai buah cinta dirinya dan sang istri. Dering ponsel menghancurkan memori berkelebat. Edzard meraih ponsel
Laksa rindu terbalut indahnya senja, menawan hati bertabur bungah. Hati telah terpatri, bersama lantunan kidung cinta. Dahaga mengukung rasa yang tiada puas. Meski bersambut, bersua sewaktu-waktu rasa mengajuk semakin penuh, tumbuh. Begitu hasrat sepasang suami istri tersebut, tiada kata bosan dan lelah dalam memupuk terai asmara. Panah amor tepat menancap di atma masing-masing, mengukir afeksi, menyulam semakin erat. Rere menari di atas tubuh sang suami, naik turun secara teratur, Edzard membiarkan saja sang istri memuaskan diri sendiri. Rambut yang panjang itu sebagian tergerai ke arah depan ketika Rere menunduk, memperhatikan milik keduanya menyatu. Pemandangan yang eksotis bagi Edzard, dia ikut menggerakkan pinggul, menyeimbangkan Rere. Suara teriakan keduanya menggema di ruangan tersebut, bersahut-sahutan. Sampai pada akhirnya Rere mencapai puncak, getaran pada miliknya terasa mengurut Edzard, lelaki tersebut memeluk erat sang istri, membiarkan sebentar wanita itu menikmat
Terkejut sudah pasti, apa yang dilakukan Om Aarav membuat aku ingin berteriak namun suara tercekat. Harusnya tidak begini namun mengapa jadi seperti ini. Daging lembut kenyal itu, astaga. Bibir Om Aarav kembali menempel pada bibirku. Tidak hanya menempel, lebih tepatnya berubah melumat habis-habisan, dari pelan berubah menjadi semakin menuntut. Kesalahan besar membuat taruhan pada lelaki seahli ini. Astaga jantung, meletup-letup tidak karuan, pikiran mulai kosong, mendadak aku linglung dengan tindakan yang dilakukan Om Aarav. Fokusku hanya pada balutan lembut yang membuat melayang pada bibir. Sesekali, lidahnya menari di dalam mulutku, menyentuh lidah dan ah seperti membelit. Astaga, ciuman ini lebih memabukkan dari pada kecupan yang pernah dilakukan Emir. Emir, mengingat nama pemuda itu otakku kembali hampir waras. Yah, hampir, jika saja sensasi lebih unik aku dapatkan ketika tangan Om Aarav mendarat di kedua bukit kembarku, memilin bagian ujung. Hampir aku berte
Ayah seperti kesetanan, menyeramkan, mata melotot, memerah. Dadanya terlihat kembang kempis, suara terdengar penuh penekanan, beliau mencoba menahan amarah. Tidak pernah terbayangkan wajah menyeramkan ayah lebih seperti setan dibandingkan saat aku kedapatan menyimpan vcd porno. Ayah melangkah panjang mendekat ke arah Om Aarav, tanpa permisi, beliau melayangkan tinju secara bertubi-tubi ke wajah tampannya. Aku berteriak lantang saking terkejut, mana pernah berpikir semua akan menjadi seperti ini. Cepat tubuh ini beringsut, tangan gemetar mengancingkan kemeja bagian atas yang terbuka, lalu berlari menghampiri. Om Aarav terlihat pasrah saja tanpa perlawanan. Dia membiarkan diri dipukuli habis-habisan hingga terjerembab ke lantai. Saat bersamaan ketika ayah hendak menginjak tubuhnya, aku memeluk tubuh Om Aarav menghalau serangan ayah lebih lanjut. "Cukup Ayah!" Aku berteriak sembari menangis. Kelopak mata tidak mampu membendung genangan air. Tidak aku rasakan injakan kaki ayah, mun
Sepeninggal ayah keluar aku langsung melotot menatap Om Aarav, mengingat apa yang baru saja terjadi juga kesalahpahaman antara aku dan ayah. Sungguh sial mengapa aku terjebak di situasi yang rumit ini, sinting. Om Aarav memandangku dengan tatapan memelas mirip kucing liar habis kena gebuk masa. Aku yakin dia saat ini sedang bersandiwara, aku butuh penjelasan atas drama yang dia mulai. Karena hal menggelikan itu ahirnya aku terperangkap masuk ke dalam pusara segitiga bermuda, sial memang. Aku menghela napas panjang kemudian menatap tajam Om Aarav, tapi apa yang terjadi, suaraku tidak keluar sama sekali. Astaga, aku terlalu mellow melihat penampakan wajah sok tanpa dosa tersebut. Lelaki menjengkelkan sumber petaka itu memegangi pipi dan ujung bibir yang terluka. Mulutku sedikit terbuka hendak mulai ceramah. “Aw!” pekiknya membuatku urung berkata kasar, lagi-lagi aku kalah dengan wajah tampan, frustrasi aku. “Ayah kamu masih kuat baku hantam,” keluhnya. “Mau lagi,