Bergegas Adrian berjalan ke arah pohon beringin yang sudah ada beberapa orang yang berkerumun. Sementara Wandi dan Tina mengomel tiada hentinya. Mereka sangat kesal dan juga khawatir jika Adrian kembali seperti dulu lagi. Meski demikan, keduanya hanya bisa mengomel lirih tanpa dapat mencegah temannya itu. Apalagi hari sudah menjelang sore, perut lapar dan haus.“Laper nggak lu?” Tanya Wandi kepada Tina yang sedang duduk di atas jok motor.“Heh, pakai nanya lagi. Lu sendiri gimana? Udah laper nggak? Tuh temen lu kurang kerjaan banget sih, ke sana lagi. Mo cari masalah dia.”“Biarin dah, emang udah keblinger tuh anak. Nggak bisa gue nasehatin. Eh ... ingat yang gue omongin kemaren kan? Gimana? Lu kenal ama orang pintar nggak?”Tina menoleh ke arah Wandi, tangannya yang putih mulus menarik telinga Wandi pelan, hingga yang punya tertawa. Mereka sama-sama melepas lelah dengan berdebat canda. Rasa perih yang ada di perutnya menjadi berkurang. Mereka tidak memerdulikan lagi keberadaan Adria
Tepuk tangan dari Adrian membuat keduanya menoleh. Tawa keras keluar dari pemuda kampung itu. Tidak disangka teryata dia sudah dibohongi oleh keduanya. Seperti drama yang sukses tanpa skenario membuat Adrian percaya begitu saja.“Waauu ... hahaha ... sukses membuat gue percaya sejak awal. Kalian memang cocok, bapak sama anak. Emang apa maksudnya bohongi gue? Tidak akan mempan itu. Coba saja kalo mo ajak! Ilmu gue lebih banyak dari kalian hahaha.”Seketika sikap Adrian berubah, matanya menyala merah menatap kedua makhluk yang ada di hadapannya. Terlihat bukan sosok pemuda kampung yang itu yang sesungguhnya. Dia tertawa di sambut angin kencang yang datang secara tiba-tiba. Dua orang yang ada di hadapannya mendadak kabur dan akhirnya menghilang. Suasana sekitar pohon beringin seketika menjadi tenang, dan Adrian masih berdiri tegak di sana.Muncul kakek Hesta dari balik pohon beringin. Menepuk bahu Adrian yang masih menatap tajam ke arah hilangnya dua makhluk laki dan perempuan tadi. Soro
Adrian memulangkan wandi terlebih dahulu, tanpa sepatah kata terucap di bibirnya. Membuat temannya heran, namun tidak mampu bertanya. Setelah tiba di rumahnya ia membersihkan diri, dan melahap makanan yang ada di meja dengan rakusnya.“Kenapa perasaan gue gelisah sekali, rasanya ada yang kurang. Tapi apa?” gumamnya sambil merebahkan dirinya di atas ranjang.Ingatannya kembali pada kejadian tadi siang. Mendadak tubuhnya serasa berat dan terbakar. Ia tidak mampu mengendalikan dirinya. Di matanya terlihat bayangan-bayangan hitam memutar mengelilingi pohon beringin. Dua orang Herman dan gadis yang mirib dengan Hesta ketakutan dan menghilang.“Siapa sebenarnya mereka? Mengapa gue jadi bisa melihat makhluk halus itu? Mungkinkah ini ada kaitannya dengan ...? Yaa ... kain itu. Mungkin kain yang ada noda darah itu. Di mana gue taruh? Kenapa amnesia kaya gini?”Adrian bangkit, dan menuju dapur. Hari sudah menjelang malam. Kedua orang tuanya belum juga datang saat ia berusaha mencari kain yang w
Dua orang berbeda alam ini tidak menyadari, jika apa yang sudah mereka lakukan melanggar kodrat. Kilatan petir yang menyambar tidak mereka perdulikan. Mereka terus bercanda hingga lupa waktu dan tidak merasakan lapar.Suasana di sekitar pohon beringin yang sunyi, membuat suara mereka terdengar sangat jelas. Binatang di sekitar yang melintas tidak mereka perdulikan. Sesekali binatang itu, berhenti dan menatap ke arah dua makhluk beda alam itu. Hanya rasa bahagia yang mereka rasakan, hingga beberapa saat waktu berlalu.Merasakan ada yang dingin mengenai wajahnya. Adrian mencoba mengusap, ternyata Wandi yang ada di depannya.“Anjirr ...! Lu ngapain di kamar gue?”Teriaknya saat melihat Wandi sudah berkacak pinggang sambil membawa air di gayung. Sementara tangannya terlihat basah di dekat wajah Adrian.“Heh! Lu sekolah kagak? Emak nyuruh gue ke sini. Mereka udah berangkat, lu susah baget di bangunin dari tadi. Lagian mimpi apa sih, sampe senyun-senyum sendiri?”“Mimpi? Oh iya ... dasar k
Semua teman yang ada di kelas Wandi membuka suara dengan mengolok cowok yang sudah diam mematung sejak tadi. Wandi yang sudah kebal dengan hinaan teman-temannya. Tidak ia memerdulikan dan tidak ditanggapi. Tidak ada perasaan sakit hati sedikitpun, karena sejak kecil hal itu sering ia alami. Bahkan di kampungnya ia pernah diejek saat bermain bersama dengan teman-temannya. Kedua orang tunya sering tidak tega meninggalkan anak mereka semata wayang mendapatkan perlakuan seperti itu. Hingga ia mengenal Adrian, dan dialah yang membelanya saat kedua orang tunya tidak ada di sampingnya.Hanya Adrian yang matanya menyala tajam ke arah semua teman yang sudah menghina Wandi. Demikian juga dengan Tina yang sudah merasa risih dengan ucapan teman-teman sekelasnya. Jantung mereka bergetar hebat menahan rasa marahnya. Keduanya berdiri sejajar dan memegang tangan Wandi, memposisikan anak itu di tengah-tengahnya. Seperti tiga sekawan dan bersaudara, mereka saling berpegangan tangan, sedangkan Wandi ma
Pak guru tidak menanggapi pertanyaan Adrian, melainkan melanjutkan pelajaran dengan membuat soal-soal untuk dikerjakan. Adrian yang tidak tidak menyimak pelajaran sejak awal, tentu gugup dan berusaha mengusik teman yang ada di sekelilingnya. Berbagai cara ia membuat membuat berisik seisi kelas, dengan tingkahnya.“Lu nggak mau contekin gue? Awas lu ya! Gue buat perhitungan nanti di luar!!”“Lu nggak tahu apa yang Pak Guru bilang? Gue gak mau gak dapet nilai, gara-gara elu!” sanggah temannya.Kemudian dia berbalik ke arah Wandi dan Tina yang sedang asyik mengerjakan soal.“Stt ... stt ... Wandi, Tina! Nomer satu!”Tidak ada reaksi dari kedua temannya itu. Dengan kesal Adrian melempar kertas tepat mengenai muka Wandi. Anak yang mempunyai rambut keriting dan tidak tersisir rapi itu terkejut, hingga membuat Tina yang ada di sebelahnya berteriak.“Heh! Apa-apaan sih? Berisik tahu!”teriaknya lirih membuat kelas yang tadinya tenang sekarang gaduh.“Apa! Ada yang lempar gue, sory kalo lu kag
Marjuki berlari terbirit-birit saat Adrian menatapnya dengan tajam. Beruntung ada guru datang dan menyelamatkan dirinya.“Woooiii ...!!! Kiii ... ngomong apa luu!!” teriak Adrian tanpa memperdulikan guru yang ada di dekatnya.“Heh! Adrian! Kamu denger tidak si Marjuki bilang apa tadi? Sudah keterlaluan sekali kamu ya? Mau melecehkan orang?! Hahhh ...!!” hardik gurunya dengan berkacak pinggang.Semenjak kejadian itu, pak guru Heri yang bernama Heri, tidak tidak pernah mempercayai Adrian sedikitpun. Bahkan dia menganggap pemuda itu selalu berbohong disetiap tingkah lakunya. Demikian juga pada hari ini, meskipun melihat ada yang aneh dengan pemuda itu.“Wandi, tolong kamu panggil teman-teman supaya masuk kelas, waktunya pelajaran Bapak. Atau kalian semua akan mendapatkan hukuman!” “Ta-tapi Pak! Ini ... ini Adrian ... ba-bagaimana?” sahut Tina yang bingung dengan situasi yang sudah tidak terkendali.“Anak itu, selalu membikin ulah. Biarkan saja,” sahut pap Heri tetap mengacuhkan Adrian y
Adrian terkejut tetapi sayang sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya mulutnya yang berusaha bicara dengan tersengal, tangannya mengapai meminta pertolongan. Tubuhnya berdiri sempoyongan, berusaha meraih apa saja yang ada di sana. Berjalan terhuyung tidak tentu arah mengelilingi pohon beringin yang mulai rontok daunnya. Berulangkali Adrian menabrak batang pohon beringin dan membuatnya terjatuh. Namun kembali bergerak bangkit."Gue gak boleh mati, gu masih ingin hidup bersama dengan Hesta, kurang asem ternyata tadi itu bukan kekasih gue. Dia makhluk jadian ... mengapa gue bodo banget. Bisa-bisanya nurut sama dia," ucapnya dalam hati.Sedangkan gadis yang menyerupai Hesta sudah mengilang dengan meninggalkan sisa tawanya masih menggema di sekitar pohon. Adrian tersadar jika dirinya sendirian. Makanan apa yang sudah diberikan gadis jelmaan itu? Mungkin saja racun untuk membunuhnya. Pikirannya sudah buruk berusaha mencari ponselnya di saku."SII ... ALL!! Kenapa gue nggak bawa ponsel?