"Mbah, saya mau yang bernama Daut mantan suami saya itu menderita. Saya nggak rela dia menghancurkan saya." Lirih Atika. Ia sedang berbicara, dengan suara Mbah Rondo didalam kamar rahasianya."Kamu mau dia menderita seperti apa?" Suara Mbah Rondo tiba-tiba menggema diruangan itu."Saya ingin dia gila! saya sangat tidak menyukainya Mbah," Ucap Atika lagi. Perkataanya begitu yakin, saat mengatakan itu. Padahal ia tau Daut adalah ayah dari anaknya sendiri."Itu saja?" "Saya juga ingin yang bernama Yuni itu bangkurut, dan terpuruk." "Kalau itu mudah. Kamu ambil saja tanah kuburan yang masih baru, lalu lemparkan kerumahnya." Mbah Rondo tertawa, hingga membuat Atika sedikit ngeri. "Tanah kuburan?" "Iya, tanah kuburan baru. Usahakan kamu mengambilnya saat malam Jumat keliwon, dan segera melemparkannya. Nanti saya akan kasih mantranya." "Terimakasih Mbah," Atika tersenyum puas, saat Mbah Rondo ingin mengabulkan permintaanya."Darimana?" Tiba-tiba Diwan memergoki Atika, saat Atika keluar
"Aduh! Mas. Tolong buatkan obat untuk luka ini Napa!" Pekik Dara. Lukanya semakin parah, dan semakin berbau, akibat tidak dibawa berobat."Kenapa kmu nggk berobat saja? uangmu kan banyak!" Jawab Agus."Aku masih males keluar rumah.""Kenapa? kamu takut kalau warga akan melihatmu?" Selidik Agus."Apa, sih! kamu kenapa ya? jadi terus memojokkanku? kamu itu bukan membela istri, malah menuduh." Pekik Dara."Tok, tok, tok.""Siapa lagi sih itu!" Pekik Dara. Ia segera berjalan kearah pintu depan, dan segera membuka pintunya. Tampak seorang wanita paruh baya sedang berdiri membelakanginya."Mbak Risa? ada apa mbak?" Dara sembari menutupi luka dikeningnya menggenakan selendang."Kamu pasti tau kedatangan saya kesini untuk apa.""Maksut Mbak Risa?" Dara merasa heran."Kamu ingat waktu kita beli baju tidur, yang kemarin di pasar? dan aku nggak jadi beli yang samaan denganmu?" Ucap Risa."Baju? iya kenapa mbak emangnya?" Dara masih belum kepikiran."Kamu masih menyimpan baju itu?" "Masih, emang
"Keluar kamu!" Pekik warga."Ada apa ini?" Tanya Daut. Ia mengerutkan keningnya."Jangan sok, polos kamu Daut! Kami tau kamu kan, yang bermain pesugihan itu?" Pekik salah seorang warga."Persugihan apa? saya nggak mengerti maksut kalian." Timpal Daut."Tidak usah berpura-pura! Kami sudah tau, harusnya sedari kemarin kamu itu diberi pelajaran." Pekik mereka."Ini maksutnya apa? saya nggak mengerti. Apa belum puas kalian memfitnah, serta menghakimi istriku?" Sahut Daut."Siapa yang memfitnah? istrimu saja nggak bisa memberikan keterangan. Dan kalau bukan istrimu yang mengulah mana mungkin kami main hakim sendiri."Ayo, kita geledah saja rumahnya." Pekik mereka."Geledah apa? kalian mau cari apa? jangan main-main dengan saya. Kalian bisa saya tuntut, karna sudah memfitnah." Pekik Daut lagi."Halahh, nggak usah dengarkan dia! ayo, kita geledah saja. Aku yakin dia ini bersekutu dengan setan." Pekik mereka. Semua manusia yang berada disana sudah seperti iblis yang siap menerkam mangsanya.
"Gimana sayang? sudah siap?" Tanya Diwan. Ia sangat terlihat gagah saat memakai kaos oblong andalannya."Sudah Mas," Jawab Atika. Ia tampak berbeda sekali hari ini ia menggenakan gaun sebatas Mata kaki."Buk, jangan lama-lama ya perginya," Lirih Mail. Wajahnya memang tidak murung sama sekali, karna dirumah ada Ijah yang menemaninya."Nggak lama sayang. Ibu cuma satu hari saja, Ijah saya titip Mail ya." Ucap Atika."Baik buk. Mail sama bi, Ijah dulu ya," Ijah mengelus-ngelus pucuk kepala Mail.Saat mereka ingin melangkahkan kaki keluar rumah, tiba-tiba ada sosok pria berdiri membelakangi mereka. "Sandi? ada apa?" Tanya Atika binggung."Wah, ada yang ingin pergi berbulan madu." Ketus Sandi."Nggak usah basa-basi! maksutmu kesini ngapain?" Sahut Diwan. Ia berbicara tanpa menoleh, dan melihat kearah Sandi."Santai, nggak usah buru-buru." Jawab Sandi santai."Maaf San. Kami mau pergi, kalau ada keperluan lain kamu bisa datang besok-besok," Ucap Atika."Enak sekali, besok-besok. Aku kesini
"Maaf sayang. Mas, nggak sengaja. Jadi gimana kamu siapkan?" Lirih Diwan.Atika malah tidak menjawab. Ia malah berjalan mendekat jendela kamar mereka, dan menatap keluar kamar."Harus gimana lagi aku? aku ini suami atau bukan sih?" Ujar Diwan.Lagi-lagi Atika tidak menjawabnya. Reflek karna geram Diwan malah menangkap Atika dari belakang, dan mencampakanya keatas kasur."Mas, apaan ini? kamu kok maksa!" Pekik Atika saat tubuh kecilnya ditindih oleh Diwan."Terserah kamu mau bilang apa! aku nggak perduli, aku mau mau hakku." Lirih Diwan. Ia segera melakukan tugasnya, walaupun Atika terus berontak."Plakkk," Sebuah tamparan keras mendarat dipipi Diwan."Awhhh." Diwan meringis kesakitan, dan perih."Maknya jangan kurang ajar." Pekik Atika."Aku nggak kurang ajar sayang. Aku cuma mau menuntaskan hak, ku!" "Tapi jangan memaksa," Atika malah menagis, seharusnya ia senang bukan malah seperti wanita yang sedang di lecehka*."Kamu nangis?" Diwan memakai kembali kaos oblongnya, yang sudah semp
"Tidak usah basa-basi. Mau apa kamu kesini?" "Aku tau kamu lagi butuh uang." Ucap wanita sombong, yang telah menghancurkan Atika, dan Daut dari awal."Cukup Yun! aku sudah tidak mau berurusan denganmu. Kamu tau? semenjak berurusan denganmu, hidupku hancur, sehancur-hancurnya.""Kamu menyalahkanku? bukankah harusnya kamu bersyukur?""Sudahlah Yun! aku nggak mau mendengar lagi apapun dari, ucapanmu. Atika itu tidak pernah selingkuh, dan sekarang aku sadar kenapa dia jadi seperti ini. Itu karna ulahmu." Pekik Daut."Nggak, kamu salah. Gini saja, aku akan membiyayai semua operasiku. Tapi kamu harus rebut kembali Atika, dari tangan Diwan.""Hahaha, licik sekali kamu! setelah ini semua ternyata kamu mau mengambil kembali suamimu? Ingat, mereka sudah menikah, dan mungkin sebentar lagi akan punya anak." "Nggak! aku nggak akan biarkan itu semua terjadi. Ayolah, bekerja sama denganku. Aku yakin kamu butuh uang banyak kan?" Yuni terus memaksa."Nggak Yun! aku nggak butuh bantuan, kamu. Aku mas
"Bagaimana Pak? apa sudah bisa dilunasi biyaya oprasinya?" Tanya Dokter itu lagi. "Sebentar ya Dok, saya mau hubungi keluarga saya dulu." Jawab Daut. Ia kebinggungan, kepada siapa ia harus meminjam uang. Sedangkan tabunganya juga nggak cukup untuk biyayanya."Nggak ada jalan lain. Aku terpaksa meminjam uang kepada Atika. Mudah-mudahan dia mau meminjamkan aku uang, lagian tanah yang ia gunakan masih tanahku, dan atas namaku juga." Gumamnya.Ia segera mengambil ponselnya, dan mengirimkan sms kepada Atika, berharap ada balasan dan Atika belum mengganti nomornya."Mas Daut?" Mata Atika membulat ketika ia melihat isi pesan, dari Daut."Siapa sayang?" Tanya Diwan. Namun tidak melihat kearah Atika, karna ia fokus menyetir."Bukan siapa-siapa sayang. Ini Rasti mau pinjam uang.""Rasti? pinjam uang lagi? kok aneh ya, dia pinjam uang terus. Kemaren juga dia minjam sama Mas," Ucap Diwan keceplosan."Dia minjam yang sama kamu Mas? kapan? kok aku nggak tau?" "Kemarin itu sekali." Jawab Diwan lag
"Mail, kamu kenapa nak?" Tanya Diwan. Matanya tertuju kearah Mail, yang sedang menangis dibelakang pintu dapur."Nggak papa Yah." Jawab Mail pelan. Ia tidak Berani mentap Diwan. "Astaghfirullah, kaki kamu kenapa nak?" Mata Diwan dikejutkan dengan luka lebam, disekujur betis Mail."Aw, sakit Yah," Lirih Mail, saat Diwan menyentuh betisnya."Ini siapa yang melakukanya?" Tanya Diwan serius. Ia memeluk tubuh munggil Mail.Mail terdiam, ia sangat takut untuk menjawabnya. Ia tidak mau ibunya bertengkar dengan Ayahnya karna pengaduannya."Mail jatuh Yah," Jawab Mail. Ia menundukan pandanganya."Bohong! jawab, siapa yang buat ini?" Tanya Diwan lagi. Ia sangat menyayangi Mail, ia tidak rela jika Mail disentuh oleh siapapun, walaupun ibu kandungnya sendiri."Mail nggak bohong Yah." Jawab Mail lagi, namun tiba-tiba airmatanya mengalir."Ibu yang melakukan ini kan? Mail, lihat ayah! Ayah selalu mengajarkan Mail agar tidak berbohong, karna berbohong itu adalah perbuatan dosa. Jadi jawab Ayah, sia