“Pak, semangatlah untuk sembuh! Maaf, Pak, saya mengatakan ini, tetapi sepertinya sudah cukup Bapak meratapi nasib, karena itu hanya akan semakin menyiksa batin Bapak. Bapak masih diberi hidup, jadi, jika hanya seperti ini akan semakin tersiksa. Bapak masih berhak bahagia. Masalah yang Bapak hadapi jauh berbeda dengan saya. Bapak masih sosok ibu yang mendampingi dan memberikan dukungan. Kalian juga tidak kurang makan dan uang. Bayangkan, Pak, jika di posisi saya! Saya harus berjuang untuk dua anak di saat tidak ada sumber penghasilan. Dikucilkan oleh keluarga besar, ditinggal selingkuh dan dizalimi keluarga mertua. Datang kesini, ke rumah orang yang tidak dikenal sama sekali untuk meminta diberi hidup dan tempat tinggal. Nyatanya saya lebih bahagia sekarang, Pak. Bapak hanya berjuang untuk sembuh saja. Siapa tahu jika sudah sembuh, kehidupan yang lebih baik dan bahagia akan menanti. Bukankah setiap orang akan diuji? Hanya saja ujian kita berbeda-beda. Kalau Bapak seperti ini terus, se
Part 32POV HarnoDasar anak ku--rang a--jar. Entah bagaimana caranya Resmi mengajari Dinis bersikap. Anak sekecil dia sudah berani saja memukul aku, orang yang telah membawanya ada ke dunia ini. Dengan perasaan yang sangat kesal, akhirnya aku angkat kaki dari rumah perempuan jelek itu dengan menahan sakit.Beruntung anggota keluarganya tidak pernah peduli dengan apa yang menimpa Resmi, sehingga aku aman dari segala amukan.Dengan membonceng ojek, aku pulang ke rumah orang tuaku. Sampai di sana, kakak-kakak yang sangat menyayangiku tentu saja geram dengan ulah Dinis. Terlebih Mbak Siti yang begitu membenci ibu dari kedua anakku, ia tambah murka mengetahui kejadian ini.“Anak-anak di sini tidak ada yang punya kelakuan seperti anakmu, Harno. Mana coba? Cari satu dari mereka! Tidak akan kamu menemukan anak ku--rang a--jar seperti dia.” Dengan penuh amarah Mbak Siti berkata.“Ambil saja semua harta Resmi. Biar tahu rasa dia,” sambung Emak.“Dia tidak mau memberikan itu, Mak, makanya aku s
Setelah mempertimbangkan banyak hall ditambah dorongan dari keluarga, beberapa hari kemudian, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah Resmi lagi. Kali ini dengan membawa teman yang terkenal preman di desa. Lihat saja nanti Resmi akan setakut apa dia saat melihat Bokir datang ke rumahnya.“Kamu harus kasih aku bayaran tinggi kalau berhasil,” ucap Bokir saat kami di jalan dengan menaiki motornya.“Iya. Pasti itu, kapan sih aku bohong sama kamu? Pulang Jakarta kemarin saja aku kasih uang sama kamu,” jawabku meyakinkan dia. “Tapi kalau tidak berhasil bagaimana?” Aku mulai putus asa.“Ya kasih saja untuk beli rokok dan bensin. Masa nyali kamu menciut sih? Payah! Gagahnya hanya di atas ranjang saja sama wanita-wanita. Menghadapi istri yang katanya sudah tidak dicintai, masa takut?”Aku diam tidak menjawab ejekan Bokir. Sibuk memikirkan bagaimana caranya agar Resmi mau mengalah.Sampai di halaman, rumah Resmi terlihat sepi. Sampah banyak dan berserakan di sana, padahal ia termasuk ora
Part 33Aku tidak percaya ini, sungguh tidak percaya. Resmi sudah mempersiapkan segala hal saat dia akan pergi. Meski melalui perdebatan yang sangat panjang, tetap saja Haji Abas tidak mau melepaskan tanah milik istriku.“Kalau begitu, Pak Haji saja yang beli tanahnya. Lalu, ambil saja uang yang sudah kalian berikan pada Resmi. Sisanya kasih sama aku.” Jalan ninja terakhir akhirnya ku pilih.“Kamu pikir kami ini orang bodoh apa, Harno? Dari dulu kami hidup di tanah ini dan tahu itu adalah tanah warisan yang diberikan pada Resmi. kamu siapa berani-beraninya memaksa kami untuk menjual?” Tak kusangka, Haji Abas menjawab dengan intonasi yang tinggi.“Pak, Harno ini suami Resmi. Kenapa Pak Haji yang orang lain berani dan lancang untuk melarang?” Sebuah suara keras membuatku menoleh.Ternyata Bapak menyusul kemari.“Karena Resmi sudah memberikan kami amanah untuk menjaga tanah itu. Anda pikir kami tidak tahu apa yang telah kalian lakukan pada Resmi? Tidak tahu malu datang kemari dan meminta
Lebaran baru saja selesai. Itu artinya pernikahan Imah hanya beberapa minggu lagi dilaksanakan. Dikarenakan belum punya uang, maka untuk membayar rias pengantin, terpaksa menjual cengkeh kering Emak.Ternyata itu memicu masalah baru muncul. Wati marah-marah dan tidak terima karena ia tidak mendapat bagian.“AKu saja dulu nikah tidak pakai rias-riasan segala. Daripada rias mahal, tetapi dengan mengambil hak orang lain, mending pakai yang sederhana saja,” ucapnya sambil menuding wajah Imah.Hatiku terbakar emosi melihat dia berulah demikian. Aku langsung bangkit dan menampar wajahnya. “Berani-beraninya kamu bicara seperti itu, Wati. Pada saat kamu nikah, kamu menikah dengan orang miskin, minta disamakan dengan Imah? Beda kelas, wati! Berkorban sedikit untuk adikmu, tidak akan membuat kamu melarat. Toh uang yang dipakai masih pakai uang orang tua kita. Aku saja ikhlas, kenapa kamu tidak?” ucapku setelah melayangkan tangan pada pipi membuatn adik yang lahir setelah aku itu terhuyung.“Tid
Part 34Tidaklah aku akan diuji, sampai hati benar-benar berada di titik yang pasrah*Resmi*Dengan tangan gemetar, aku meletakkan gagang telepon. Mas Harno, lelaki itu, apa lagi yang diinginkan dariku? Bukankah aku hanya dianggap sebagai benalu dalam hidupnya? Kenapa sekarang ia mencariku? Mustahil jika tanpa sebab. Pasti ada yang diinginkan dariku.Hati menjadi cemas, terlebih Pak Harun dan Bu Normi belum juga pulang.Sumi, apa dia tega memberikan alamat rumah ini? Lalu tanah yang ku tinggalkan? Apa Pak Haji Abas akan semudah itu menyerahkan pada lelaki tak berperasaan seperti Mas Harno?Sepertinya batas antara bahagia dan sedih, tidak ada sehelai rambut pun. Buktinya, aku yang mengira keadaan akan baik-baik saja, ternyata perkiraan itu meleset.Gegas aku masuk ke kamar dan memberitahu Dinis agar tidak membiarkan adiknya keluar rumah. Sementara waktu, mereka harus bersembunyi, setidaknya sampai kedua majikanku pulang kembali.Aku membuka dompet besar yang tersimpan di lemari serta m
Pertanyaan macam ini? Bukankah tidak seharusnya majikan mengeluarkan kalimat seperti itu? Aku jadi bingung hendak menjawab apa. Sampai detik ini, aku masih berpikir ingin menjadi pembantu di rumah itu. Ketika dokter menyangka aku istrinya, hal itu pun tak lantas membuat hati jadi percaya diri.“Bu-bukan seperti itu, Pak maksudnya, tapi ....”“Pak Harun ....” Belum sempat menyelesaikan bicara, suster sudah memanggil.Pak Harun sudah bisa berdiri sendiri dan mulai berjalan pelan. Aku rasa akibat dari kecelakaan itu tidak terlalu parah, keterpurukan Pak Harun ditinggal istrinyalah yang seolah membuatnya semakin sakit.Setelah ucapannya tadi, Pak Harun jadi diam. Bahkan di dalam mobil pun demikian. Biasanya ia akan mengajak mampir ke rumah makan, ini tidak. Aku duduk di tengah pun sama-sama diam sambil memangku Hasbi. Apalah aku ini yang hanya seorang pembantu.“Hasbi tahun ini sudah saatnya masuk TK. Kamu harus memikirkan itu. kalau memang mau pulang kampung dan kembali sama suami kamu,
Aku membuka plastik yang diberi Pak Harun, isinya sebuah baju sepanjang lutut dengan lengan sebatas siku. Bahan yang lembut serta warna yang soft, membuat hati langsung jatuh hati. Tanpa sadar bibir tertarik membentuk seulas senyum. Andai yang memberikan adalah suamiku, tentu saja hati tambah berbunga-bunga. Senyumku redup, manakala sadar jika yang memberikan itu adalah majikan. Bukan tidak berterima kasih, tetapi aku tidak boleh terlalu bahagia. Itu sangat memalukan. "Kamu tidak suka?" Suara Pak Harun terdengar keras. "Em, saya suka, Pak. Tentu saja sangat suka. Ini terlalu bagus untuk saya yang seorang pembantu." "Kamu tidak mau menerimanya?" Sepertinya akhir-akhir ini Pak Harun senang sekali memfitnah. "Kalau tak suka, bawa saja berikan pada Sumi nanti saat kamu pulang," lanjutnya lagi. Lama-lama hati kesal juga dengan omongan dia. Jangan karena majikan, seenaknya saja bicara. "Pak Harun, maaf, dari tadi Bapak selalu men