Malam itu, Celine memutuskan untuk bermalam di villa. Namun meski sudah beristirahat di kamar terbesar dan ternyaman yang ada di dalam villa itu, Celine tetap tak bisa memejamkan mata. belum ada kabar sedikitpun dari Narendra dan itu sangat membuatnya gelisah. Walaupun pada awalnya, dia begitu senang mengetahui bahwa suaminya itu cukup pengecut untuk bisa bertemu dengannya di villa itu. Di kamar lantai atas, Celine bisa menatap ke bawah dengan leluasa dari jendela ke arah belakang rumahnya. Saat pandangannya sengaja dilempar ke ruang bekas gudang yang beberapa hari lalu difungsikan sebagai kamar sederhana, hati wanita itu menjadi kecut. Seharusnya Narendra sudah berada di villa itu sekarang dan menyaksikan betapa dia sangat berkuasa atas segalanya. Bahkan hanya untuk menyekap seorang tikus kecil yang telah menjadi hama perusak rumah tangganya.Dari kamar atas itu juga, Celine melihat perlahan Marni melangkah mendekati jendela kamar bekas gudang. Usai mengambil piring yang sudah koso
Dari sikap Rani yang memutuskan sambungan telepon tanpa pamit, Narendra tahu betapa sedang kecewanya wanita itu pada sikapnya yang justru membela Celine. Benarkah apa yang dikatakan Rani bahwa dia saat ini sedang dilanda cemburu mengetahui Agnia akan kembali pada suaminya? Melangkah kembali ke kamar tidur apartemennya, lelaki tampan itu bahkan sudah kehilangan minat untuk melanjutkan kesenangannya. Kini matanya justru menatap bingung pada wanita belia yang sedang berpose nakal di atas ranjangnya.“Pakai bajumu, kamu boleh pulang sekarang,” ujarnya kemudian, membuat wanita di depannya terbengong keheranan dengan lelaki yang beberapa saat lalu terlihat sangat menginginkannya itu. “Ta-pi kenapa? Apa Mas nggak puas sama pelayananku?” tanyanya sedikit takut. Dia tahu bahwa lelaki di depannya itu sangat royal pada wanita-wanita yang dikencaninya. Itulah kenapa dia langsung mengiyakan saja saat seorang teman menawari untuk menemani Narendra malam itu. Namun sebenarnya tak hanya itu saja ni
“Bu, menurutmu tasnya orang itu gimana? Apa perlu kita serahkan? Lumayan ini lho, HP nya mahal, uangnya juga banyak. ATMnya ada, tapi nggak tahu PIN nya, sama aja bohong.”Agus terlihat sibuk pagi itu mengobrak abrik tas selempang milik Agnia. “Kamu ngapain sih, Pak? Itu punyanya orang, jangan kelewatan,” kata istrinya mengingatkan. “Halah, kita kan nggak kenal siapa orang itu. Lagian kata Nyonya, hari ini dia akan dijemput sama orang-orang suruhannya Nyonya. Tugas kita selesai menjaganya. Hitung-hitung ini upah kita menjaga dia selama di sini.”Marni melotot ke arah suaminya. “Menjaga opo to, Pak? Dia aja di sini nggak kita kasih makan. Kamu bilang Nyonya berpesan kalau orang itu nggak boleh diberi makan kan?” tanya sang istri. “Iya, Nyonya pesen gitu semalam.”“Kasihan loh, Pak. Melihat wajahnya itu aku nggak tega sebenarnya. Aku ingat anak kita, almarhumah Si Denok. Biar aku kasih makan aja ya, Pak? Aku bikinin mie rebus sama telur. Setidaknya biar orang itu punya kekuatan. Kasi
Simon kembali menghubungi Dewo hari itu dan mengabarkan bahwa dia gagal mencari keberadaan Agnia. Dewo sudah terlihat pasrah saat lelaki itu mengatakan ketidakberhasilannya. Selama ini hanya Simon lah yang diandalkannya untuk membantu menyelesaikan sesuatu. Kini dia sudah tak bisa berpikir lagi akan bagaimana setelah itu. Apalagi dua anaknya semakin rewel dan tidak mudah untuk ditinggal. “Kalau saran saya, laporkan saja ke polisi, Pak. Ini sudah lebih dari dua hari. Aku yakin polisi akan langsung bergerak,” ucapnya dengan tak enak hati. “Kamu tahu kan aku tak pernah percaya menyerahkan setiap persoalanku pada polisi. Kamu dan teman-temanmu itu andalanku selama ini. Atau kamu tak bisa menyelesaikan tugas kali ini karena bayarannya kurang? Kalau memang iya, bilang saja. Akan ku usahakan secepatnya bisa mentransfer uang untukmu.”“Sama sekali tidak, Pak. Hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan uang. Bapak tahu kan selama ini saya selalu mengerjakan tugas Anda dengan baik bahka
Malam itu dua anak Dewo tidur dengan sangat gelisah. Naya yang biasanya tenang pun, terlihat berpeluh di tengah malam yang dingin itu. Beberapa hari mungkin bukan waktu yang lama untuk berpisah dengan seseorang. Tapi bagi keduanya yang sejak bayi tak pernah dipisahkan dari ibu mereka, tak bertemu dengan ibunya adalah hal yang sangat berat. Terutama untuk Aqila yang begitu dekat dengan Agnia. Tepat pukul dua belas malam, tiba-tiba anak itu terbangun dalam keadaan kaget, lalu menangis. Sang kakak yang tidur di sampingnya pun ikut terbangun mendengar isak tangis adiknya.“Ada apa, Qilla? Kenapa nangis?” Di tengah perasaannya sendiri yang tak menentu, Naya berusaha memberi perhatian pada adiknya. Sejak mereka tidak tinggal bersama ibu mereka lagi, Naya terlihat lebih perhatian dengan Aqilla. Dulu dia yang biasanya sangat cuek dan bahkan sering mengomeli adiknya jika sedang kesal, mendadak berubah menjadi begitu dewasa saat adiknya sedang mengalami hal tidak menyenangkan. “Qilla takut,
Dini hari itu Agnia tersadar dalam keadaan sangat kebingungan. Sekelilingnya gelap gulita, sementara sekujur tubuhnya mulai terasa gatal dan perih. Sedikit keberuntungan untuknya karena langit sangat cerah saat itu, hingga cahaya dari bulan yang berbentuk hampir sempurna dan bintang-bintang lambat laun membuatnya mengerti dimanakah tempatnya berada saat ini. Butuh waktu tak sebentar untuk akhirnya dia bisa bangkit dari posisinya tergeletak di semak-semak berduri di pinggiran jalan itu. Mungkin dua lelaki yang membawanya pergi dari rumah besar bercat biru tadi membuangnya di tempat itu dengan cara dilempar begitu saja, hingga membuat tulang-tulangnya kini rasanya seperti remuk.Ketakutan kala menyadari sedang berada di tempat sangat sepi dengan pohon-pohon tinggi di sekelilingnya, membuatnya tak lagi bisa merasakan rasa lapar di perutnya akibat berjam-jam belum terisi sesendok pun makanan. Dengan terseok-seok, wanita itu melangkah dari semak-semak tempat dia dibuang, menuju ke jalanan
"Ron, kamu sudah dapat kabar dari Agnia?" Di hari sebelumnya, siang itu Alfa menyempatkan diri menemui Roni di ruangannya. Melihat sang bos menanyakan kabar salah satu penulisnya, Roni langsung menanggapinya dengan senyuman. "Saya kira Bapak nggak akan nanyain itu," godanya."Aku serius, Ron. Sudah tiga hari dia nggak ada kabar sama sekali." Alfa melangkah masuk, lalu mulai mendudukkan diri di kursi depan karyawannya. "Rencananya hari ini nanti saya akan pantau, Pak. Kalau Mbak Agnia online, akan segera saya hubungi. Artikel yang dia pegang juga harusnya sudah diupload beberapa," lanjut pemuda itu."Bukan itu masalahnya, Ron." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Alfa. Dia seperti tidak sadar bahwa sedang berbicara dengan anak buahnya di jam kerja dan justru menyinggung soal apa yang ada dalam hatinya."Iya, Pak. Saya paham." Roni pun langsung menyela sembari mengulum senyum. "Maaf ya, mungkin aku jadi terlihat nggak profesional, tapi Agnia itu ….""Spesial. Saya tahu itu, Pa
"Berhenti dulu, Pak! Berhenti!" Wanita itu tiba-tiba menarik dengan kasar bagian belakang sepeda yang sedang dituntun oleh suaminya. "Ada apa, Bu? Kamu itu ngagetin aja," ucap suaminya sedikit sewot. "Ini loh, mbaknya kayaknya sudah nggak kuat jalan." Wanita itu menunjuk ke arah Agnia yang berjalan susah payah mengikuti mereka. "Gimana Mbak, masih kuat tidak?" tanyanya kemudian saat Agnia sampai di tempat keduanya berdiri. "Masih Bu, terus saja," katanya dengan bibir gemetar."Masih gimana, wong nggak kuat gitu kok. Wis, gak usah dipaksakan. Gini aja, Pak. Seperti usulku tadi. Kamu jalan dulu, biar aku nunggu Si Teguh lewat," kata si wanita. Sejenak sang suami terdiam, untuk kemudian mengangguk dengan sangat terpaksa. Bagaimanapun dia tak sampai hati juga jika harus meninggalkan Agnia sendirian di tempat yang masih gelap itu, meskipun sepertinya tak berapa lama lagi fajar menjelang. Lelaki itu sudah akan mulai melangkah saat tiba-tiba dari arah kejauhan terlihat cahaya lampu red