"Beli, dong. Masak untuk anak cantik seperti Niken gak dibeli? Niken mau cincin apa kalung, Nak." Raka mengangkat dan menggendong Niken supaya bocah itu bisa memilih sendiri barang yang akan di belinya."Beli cincin aja, biar samaan kayak Mama dan Papa ya?" Kami berdua saling berpandangan dan tersenyum melihat tingkah lucu anakku."Gak ada untuk ukuran Niken kalau cincin kawin, Nak. Bagaimana kalau kalung aja?" tanya Raka sambil menurunkan Niken dari gendongannya. Kami berdua saling menatap dengan senyum mengembang. Ada-ada aja anakku meminta cincin kawin."Bagaimana dengan yang ini?" tanya Raka seraya menunjuk di balik kaca, satu buah kalung bertuliskan nama yang sangat indah menurutku."Yang mana?" tanyaku. Tanpa diminta pegawai toko menunjukkan padaku kalung pilihan Raka."Hmmm ... cantik juga. Selera Papa gak kaleng-kaleng." selorohku. Raka tersenyum begitu manis saat mendengar pujian dari calon istrinya ini."Gak mau yang lain? Yang ini saja?" tanya Raka untuk meyakinkan. Bagiku
Sinta memakai baju dengan motif bunga dan dipadukan dengan celana kulot motif garis-garis. Seumur-umur, aku belum pernah melihat Sinta memakai baju dengan motif tabrak seperti itu. Dan aku perhatikan wanita yang pernah menjadi adik ipar itu semakin hitam dan kucel."Jangan melihat orang lama-lama. Kayak orang baru turun dari gunung aja kamu, Say." Aku dikejutkan oleh nasehat Raka."Itu, Mas. Kasihan Sinta." Jariku menunjuk ke arah Sinta yang sedang berdiri di sebelah ibu yang memakai baju batik. Penampilan ibu itu seperti seorang wanita sosialita."Kasian ya, Mas. Dia itu dulunya bergelimangan harta, sekarang malah kayak gembel. Tidak terurus dan wajahnya kusam." Walaupun keluar kata kasihan tetapi sudut bibir ini tersenyum melihat penampakan seperti itu."Begitulah. Mas juga kasian melihatnya, tapi kita pun tidak bisa berbuat banyak. Sudah nasib dia.""Iya ya Mas. Kita tidak nyangka nasib Sinta akan seperti itu." Aku menoleh lelaki memiliki mata hazel disampingku."Iya. Hmmm ... seka
Muka ini tidak tahu lagi mau ku bawa kemana saat berjumpa dengan Niken, keponakanku. Anak itu sekarang sudah sangat cantik dan terawat.Kulitnya bersih juga putih mulus. Mungkin mereka sering perawatan, keluar masuk salon makanya jadi glowing begitu.Bukan maksud sombong dan tidak mau bertegur sapa dengan anak dari abangku itu, tetapi diri ini minder dengan takdir yang tidak sedang berpihak kepadaku."Andra jatuh dan kau hanya diama aja? Kemana kau bawa otakmu, hah?" bentak sang majikan saat tidak sengaja anaknya bernama Andra yang berusia tiga tahun jatuh dari perosotan bola dan membuat bibirnya berdarah. Spontan aku tersadar dari lamunanku.Akibat memikirkan nasib malang ini, sampai lalai menjaga anak hiperaktif itu, sehingga dia jatuh tersungkur ke lantai dan melukai bibirnya."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja." ujarku tertunduk dengan ekor mata melirik ke arah Niken, semoga saja dia tidak mengadukan kejadian ini kepada ibunya. Pasti sangat memalukan sekali."Menjaga anak kecil saja ka
"Ya Allah, Bu. ATM yang mana lagi yang mau Ibu pinta?" Aku menyugar kasar rambut ini. Selama dalam penjara, ibu dan juga Sinta tidak pernah menjenguk sekali pun. Sekarang, datang-datang malah minta ATM gaji, biar dia saja yang pegang.Dimana hati nurani wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Kadang diri ini berfikir, apakah aku ini anak pungut sehingga diperlakukan tidak adil seperti ini?"ATM gajimu lah. Emang kamu punya tabungan lain selain simpanan gaji?" tanya ibu dengan nada ketus.Mereka hanya tahu, senang saja. Tapi kesusahan aku, apa mereka mengetahuinya? Kalau pun mereka tahu, belum tentu mereka akan membantu.Buktinya mereka tidak pernah menjenguk diri ini di penjara. Jangankan menjenguk menanyakan kabar saja tidak pernah. Apa yang aku makan sehari-hari saja mereka tidak mau tahu."Rama gak punya gaji lagi loh, Bu. 'Kan Rama sudah dipecat." "Apa? Kamu dipecat?" Ibu kaget mendengar jika anak laki-laki yang selalu di banggakan selama ini sudah di berhentikan secara t
"Kalau Rama tidak membayar hutang ibu, mungkin sekarang Ibu yang merasakan dinginnya berada dalam penjara, bukan Rama, Bu." Karena kesal akhirnya suara sedikit meninggi sehingga ibu kaget. Biasanya anak lelaki ibu yang satu ini selalu penurut dan berlemah lembut tutur kata. Karena pikiran sudah buntu dan beban hidup semakin banyak membuat emosi ini tidak bisa aku kendalikan lagi."Kenapa malah Ibu yang kamu salahkan? Emang Ibu pernah menyuruh kamu untuk membayar utang-utang itu?" bentakan itu sangat menusuk ke relung hati ini. Beliau tidak pernah menghargai semua pengorbanan yang aku lakukan.J"Rama tidak menyalahkan Ibu. Tapi Rama kasian saja melihat Ibu dianiaya warga karena Ibu mencuri untuk membayar uang arisan sosialita." sindir aku."Memang dasar kamu saja yang bejat. Pekerjaan haram kamu itu jangan kau kait-kaitkan dengan Ibu. Aku tidak terima." Tangan wanita yang telah melahirkan diri ini ke dunia menoyor kepala sehingga tubuh ini sedikit maju ke depan."Ibu gak mau tau. Kamu
"Kakak disini mewakili Ibu dan keluarga, selaku anak tertua meminta tolong pada kamu Raka untuk menjaga dan membimbing adiku semata wayang itu. Tolong sayangi dia. Sayangi juga keponakanku, Niken seperti kamu menyayangi anakmu sediri. Jangan sakiti dia.""Dan jika kamu sudah bosan terhadap Agnes nantinya, kembalikan dia secara baik-baik kepada kami seperti disaat kamu mengambilnya." Kak Ayu memberikan sebuah pesan di depan tamu undangan yang terdiri dari para kerabat dan handai taulan. Sedikit terisak terdengar saat wanita berwajah sendu itu berbicara."Kalau kamu tidak mencintainya dan tidak menyayanginya lagi, kembalikan pada keluarganya. Jangan kamu khianati dengan berselingkuh di belakangnya." ujar kak Ayu lagi.Tanpa aba-aba pak Haji Bakri berdiri dan berjalan menuju dimana kami sedang duduk saat ini. Lalu beliau berseru, "Tenang aja, Nak Ayu. Raka tidak akan macam-macam sama Agnes. Jika dia macam-macam, dia akan berhadapan langsung dengan Uwak." Pak Haji Bakri menenangkan hati
Agnes sangat bahagia saat aku mengatakan akan mengajak berlibur ke Bali."Kita ke Bali, Mas?" tanya Agnes, ekspresi wajahnya antara kaget sekaligus tidak percaya."Iya. Honey moon kita berdua sekalian mengajak jalan-jalan Niken juga," jawabku santai"Serius? Mas gak sedang bercanda, kan?" tanya Agnes dengan mimik wajah serius. "Mas sedang tidak bercanda. Tunggu sebentar." ujarku, lalu menuju ke tas kerja yang aku letakkan di atas meja kerja khusus yang terletak di dalam kamar.Kubuka tas itu lalu merogohnya isinya. Kemudian mengeluarkan tiga lembar tiket penerbangan dan menyerahkan kepada wanita yang telah aku halalkan dua hari yang lalu."Ini, tiket untuk kita bertiga. Kita akan berangkat besok pagi. Sekarang beritahu Niken dan juga persiapkan semua keperluan kita selama di Bali." ujarku seraya menatap wajah sendunya.Kami saling berhadapan. Ada rasa canggung yang kulihat dari raut wajahnya."Makasih ya, Mas. Aku sangat bahagia menjadi istrimu. Semoga seterusnya kita selalu dilimpah
Pov Sinta."Bu, kita tidak mungkin begini-begini terus." ujarku pada ibu yang sedang duduk lesehan di tikar usang yang di gelar di ruang tamu.Beliau sedang sarapan pagi, hanya nasi putih dengan taburan sedikit lenyedap rasa ayam yang aku beli di warung bang Tejo.Selama bang Rama dipenjara hidup kami sangat menderita. Jangankan mendapat tempat tinggal yang layak, untuk makan sehari-hari saja kami kekurangan."Jadi mau bagaimana lagi? Sudah nasib kita begini." jawab ibu seraya memasukkan nasi ke dalam mulutnya."Aku bosan hidup miskin terus. Kita harus bangkit.""Bangkit bagaimana? Mau buka usaha, kita tidak punya modal lagi. Ya udah terima saja nasib kita menjadi buruh cuci. Yang penting bisa buat makan kita sehari-hari. Syukur juga kamu tidak punya anak. Kalau enggak, beban Ibu semakin berat.""Bagaimana kalau Sinta merantau aja, Bu?""Merantau kemana? Jangan aneh-aneh, deh." tanya ibu seraya mencuci tangannya. Beliau sudah selesai sarapan dan sebentar lagi akan berangkat ke rumah b