Darmawan kembali melanjutkan ceritanya. "Dia bilang, jika kemari, dia serasa ada di kampung halamannya, dekat dengan emak." Mulai terdengar parau suara Darmawan. Kembali dia mengusap kedua matanya."Saat itu, aku mendapatkan peluang pekerjaan dari Perusahaan luar yang terkenal. Suatu kebanggaan bagi para mahasiswa di kampus kami apabila dapat bekerja di perusahaan bonafit tersebut, dan aku tidak mau menyia-nyiakan peluang." Darmawan mulai berdiri, tatapannya terlihat kosong."Kontrak kerja dua tahun di tengah laut samudera, tidak bisa menghubungi dan dihubungi siapapun dari dunia luar. Walaupun Khalila berat sekali menerima keputusanku, karena harus berpisah selama itu. Khalila hanya menurut saja, walaupun menangis saat kutinggalkan. Pikiranku hanya ingin membuat kehidupan masa depan kami akan menjadi lebih baik." Kembali terdiam Darmawan. Mengambil rokok, membakarnya dan mengisapnya perlahan."Saat aku pulang kembali selesai kontrak kerja, ternyata Khalila sudah lebih dulu berpulang
Guru Yang Cantik"Hanum Humayroh." Sembari tersenyum, guru les Amira memperkenalkan namanya. Menangkupkan tangan di dada saat Darmawan ingin mengajaknya bersalaman. Sebuah penolakan bersentuhan dengan cara halus dengan yang bukan mahram.Gadis berhijab, yang terlihat lembut dengan wajah cantik dan berkulit bersih ini lantas mendekati Amira dan duduk di sampingnya, berhadap-hadapan dengan posisi duduk Darmawan.Ponakan dari Bik Sumi ini lantas merangkul dan mengusap lembut pipi Amira, sepertinya Bi Sumi sudah menceritakan tentang kehidupan dan asal usul Amira."Kamu kuat dan hebat sayang, kakak senang dan bangga bisa mengenal kamu." Meremang mata Hanum, dikecupnya lembut kening Amira. Amira pun memeluk wanita cantik dan terpelajar itu, berkata dalam diam di hatinya."Tuhan telah mempertemukan aku dengan orang yang baik hati lagi.""Mbak Hanum, terima kasih telah bersedia untuk mengajarkan Amira, sampai jauh-jauh datang ke rumah ini," ucap Darmawan, memulai pembicaraan."Saya yang harus
Amira tidak menyia-nyiakan kehadiran pertama Hanum di rumah ini. Di kamarnya, yang sekarang menjadi kamar mereka berdua. Amira sudah meminta untuk dimulai pengajaran. Sepertinya, ia memang benar-benar ingin bersekolah. Tidak terlalu sulit sebenarnya untuk mengajarkan Amira. Selain memang gadis itu sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, sebagaimana yang pernah diajarkan Tante Banci kepadanya juga kepada penghuni yang lain. Tante Yusnia, atau Tante Banci sebenarnya orang yang baik kepada anak-anak dalam bersikap. Tidak pernah marah ataupun memaki-maki. Utang budinya kepada Mami Merry yang membuatnya tidak berani berbuat apa-apa. Hanya saja, si tante tidak pernah bercerita tentang hutang budi seperti apa yang dimaksud olehnya. "Biarlah itu menjadi rahasia Tante," ujarnya, waktu itu.Suara Adzan Juhur yang terdengar dari gawai Hanum, seketika menghentikan proses pengajaran hari ini, Hanum segera bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai itu langsung dikeluarkan mukena dari dalam
"Letakkan di atas meja itu, Ndah," ucap Bik Sumi. Tangan si bibik menunjuk ke arah meja yang dimaksud."Iya, Bik," jawab Indah, segera diletakkannya, dan kembali keluar kamar, tersenyum dan mengangguk sebentar, saat Hanum dan Amira mengucapkan terima kasih."Makan siang dulu yuk, Hanum, Non Amira," ajak Bik Sumi."Terima kasih ya, Bik. Maaf, jika Hanum jadi merepotkan, bibik.""Merepotkan apa sih,Num. Lagi pula juga, Indah yang bawa kan," ucap Bik Sumi, lalu mendekati Hanum dan Amira, yang mulai menikmati makanan yang Indah bawakan."Bik. Boleh Amira menanyakan sesuatu sama bibik?" tanya Amira, selesai makan."Boleh, Non. Non Amira mau nanya tentang apa?" "Apa benar Bik, jika wajahku mirip dengan almarhumah istri Om Darmawan?" tanya Amira pelan. Terdiam Bik Sumi mendengar pertanyaan Amira."Non Amira pernah melihat photo almarhumah?" Bik Sumi balik bertanya. Sementara Hanum hanya diam mendengarkan.Amira tidak menjawab, hanya menggeleng saja , menandakan jika dia belum pernah meliha
Jangan Mimpi Amira berlari kecil mencari Bik Sumi di dapur, untuk mengingatkan jika si bibik sudah berjanji untuk ikut menemaninya membeli mukena bersama Hanum. Dilihatnya Bik Sumi sedang merapikan piring dan gelas yang baru selesai dibersihkan."Bik...." Dipeluknya Bik Sumi dari belakang, sedikit terkaget dengan kehadiran Amira secara diam-diam."Bik Sumi, menemani Amira pergi membeli mukena?" tanya Amira, sambil terus memeluk Bik Sumi."Tetapi bibik banyak pekerjaan Non," jawab Bik Sumi, sambil sibuk merapikan piring dan gelas."Ya Bibik... Bik Sumi kan sudah janji," rajuk Amira, masih memeluk Bik Sumi."Iya, iya ... tungguin bibik Kemana, ya ... selesai ini, bibik langsung ke halaman depan," ucap Bik Sumi."Bener nih, Bik. Amira tunggu loh di depan." Sembari melepaskannya ke Bik Sumi. Bik Sumi tersenyum dan mengangguk."Ya, sudah. Amira tunggu ya Bik." Amira berbalik meninggalkan dapur, dan berjalan untuk menunggu si bibik di depan teras rumah.Sebuah sedan mini berwarna Jeruk S
"Lepasin aku,Tante. Mira ngga mau ikut Tante...." Tangannya mencoba melepaskan pegangan Tante Banci. Cengkraman Tante Banci semakin kencang, agak sedikit ditarik tangan Amira, agar mau ikut dengannya."Lepasin Mira, Tante! Lepasin...." memohon-mohon Amira, pipinya sudah penuh dengan air mata. Rasa takut yang teramat sangat sudah menghinggapinya. Membayangkan siksaan yang akan dia dapatkan dari Mami Merry jika dia tertangkap nanti.Tante Banci terus menarik paksa tangan Amira. Sementara Amira bertahan dan berusaha melepaskan diri. Rasa takut yang teramat sangat, hingga membuatnya sulit untuk berteriak."Sudah Amira, kamu nurut saja!" sentak Tante Banci, sebelah tangannya mulai merangkul pinggang Amira."Haii....!" Mbak! Itu Amira mau diapakan!" teriak Hanum, sembari berlari dari kejauhan, diikuti dengan Bik Sumi. Tante Banci bergeming, tidak menghiraukan. Punggungnya masih membelakangi Hanum."Hai, Mbak! Lepasin itu Amiranya! "Bentak Hanum, sembari menepuk keras bahu Tante Banci yang
16 tahun yang lalu.Pak Marsan, suami dari Sumi adalah tokoh terpandang di Desa Kemuning. Seorang ustaz yang mengajar mengaji, sesekali diundang untuk memberikan ceramah disekitaran desa Kemuning. Kehidupan masyarakatnya sangat religius. Satu masjid dan satu Surau yang ada di desa tersebut selalu ramai jika sudah memasuki waktu shalat, begitupun pengajian-pengajian yang dilakukan orang tua dan anak-anak selalu diminati. Termasuk tempat mengaji Ustaz Marsan. Pengajian anak-anak setiap harinya, terkecuali libur di malam Jum'at selalu ramai, juga kajian ilmu yang di berikan sang ustaz di masjid kampung tersebut dua kali dalam seminggu pun banyak dihadiri bapak-bapak Kampung Kemuning.Yusnanto adalah anak satu-satunya dari Ustaz Marsan dan Bik Sumi, yang usianya sudah 18 tahun. Sifat dan kelakuan Yusnanto yang lebih seperti perempuan, sudah diketahui oleh seluruh masyarakat kampung ini. Tetapi karena rasa hormatnya terhadap Ustaz Marsan, membuat sebagian masyarakat desa tidak ada yang b
Sumi menjerit histeris, berteriak ia ingin memeluk anak semata wayangnya, tetapi ditahan oleh warga yang ada disekelilingnya.Terduduk di tanah, menangis meraung, meratapi nasib Yusnanto yang terhinakan seperti itu.Sementara suaminya, Ustaz Marsan hanya terdiam, tubuhnya terkunci tidak sanggup untuk bergerak. Badannya gemetar dan matanya berkaca-kaca."Tolong anak kita, Pak ... jangan diperlakukan seperti layaknya seekor binatang. Sakit aku melihatnya, Pak?" Bik Sumik memeluk erat kedua kaki suaminya, masih meraung ia, terkadang meratapi nasib anak terkasihnya.Air mata mulai turun di kedua pipi Pak Marsan. Seorang ustaz desa, tokoh agama yang disegani warga kampungnya sendiri, harus mendapatkan cobaan seberat ini. Air bening itu terus mengalir dipipi tuanya. 15 tahun dia berumah tangga dengan Sumi, dan baru dikaruniai seorang anak. Anak lelaki harapannya, yang dia harapkan mampu mengangkat derajat keluarganya, justru malah melemparkan kotoran di wajahnya.Mulut dan hatinya terus saj