"Pulang pesta kok jadi galau." Ledek Zafir.
Pria itu saat ini tengah berada disebuah Cafe yang cukup ternama meski terbilang baru, bukan Cafe milik Gema namun milik orang lain dan pastinya tidak mereka kenal."Gue tadi ketemu Mazaya.""Gue tau.""Elo tau darimana?""Mazaya dateng ke Acara itu udah pasti bakal ketemu sama lo.""Ooo.. Lo juga udah tau dia dilamar orang lain?""Tau.""Kenapa gak kasih tau gue?""Gak semuanya bisa gue kasih tau ke orang lain termasuk elo Daf. Gue cuma mau elo tau sendiri tentang ini, gue udah gak mau lagi kasih tau ke orang yang bakal bikin orang itu merasa sakit. Kayak kejadian waktu elo sama Almarhumah Tunangan, hal itu cukup bikin Mazaya menderita sampai dia harus nerima lamaran dari pria lain.""Sebenernya gue gak masalah kalau Mazaya nerima lamaran pria lain, tapi --" Daffa ragu untuk melanjutkan perkataannya, ia hanya dapat memalingkan muka."Tapi apSuara dentuman musik memekikkan telinga, semua orang di area dance floor menggerakkan tubuhnya mengikuti irama."Katanya udah tobat, kok masih mau buat kesini?" Seorang wanita menghampiri pria muda yang tengah duduk diatas sofa."Lagi suntuk." Jawabnya singkat."Kangen gak sama gue?" Pria itu hanya melirik wanita disebelahnya dengan senyum smirk."Gue udah punya tunangan.""Beneran tobat nih setelah pulang umrah?""Hmmm..""Cewek mana? Anak - anak pada kenal gak?""Enggak. Gue kenal sama dia juga waktu umrah, kebetulan yang punya Travel bokap dia.""Cewek baik - baik nih, gak bisa diapa - apain dong.""Hmmm.. Makanya gue suntuk.""Gue ngerti arah obrolan lo, beneran kangen kan lo sama gue?""Kangen itu lo doang.""VIP masih ada yang kosong, mau?""Tapi gue gak bisa lama."Keduanya melangkah ke ruangan diujung lorong dengan berpelukan mesra dan si pri
Drap.. Drap.. Drap...Langkah kaki berjalan cepat menggema dilorong Rumah Sakit yang sangat sepi. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, belum ada aktivitas lalu lalang di Rumah Sakit tersebut kecuali tenaga medis yang bertugas."Om, Tante. Gimana keadaan Mas Gema?" "Maafin Gema Mazaya, Maafin Gema." Wanita paruh baya memeluk erat Mazaya."Gimana keadaan Mas Gema Tante?" "Maafin Gema Mazaya." Hanya kata - kata itu yang lolos dari bibir Haniah - Ibu Gema. Sedangkan Burhan yang sedari tadi berdiri dibelakang Mazaya tengah menangkap sesuatu tidak beres pada situasi ini."Pak Rofiq, bisa kita bicara sebentar?" Kata Burhan."Baik Pak Burhan, saya akan menjelaskan semuanya sama Bapak." Rofiq mempersilahkan Burhan untuk berbicara dan menjauhi Mazaya serta Haniah.Disebuah ruangan, Burhan mendengarkan penjelasan dari Rofiq. Sungguh ia tidak mengerti lagi dengan situasi ini, bagaimana bisa Gema bersama wanit
Daffa dengan sigap menangkap tubuh Mazaya saat wanita itu ambruk, Farida panik saat mengetahui putri bungsunya tidak sadarkan diri. Burhan meminta Daffa untuk membawa Mazaya ke kediamannya, Daffa menurutinya dan ia bergegas menginjak pedal gas untuk menuju Kediaman Burhan.Sesampainya disana Mazaya tengah terpasang infus ditangan kanannya, Daffa memberinya vitamin karena mengingat kondisi wanita itu."Gimana keadaan Mazaya?""Alhamdulillah cuma karena capek aja Bu.""Alhamdulillah, makasih banyak Nak Daffa sudah membantu kami buat urus Mazaya. Selama ini kami sudah sering merepoti Nak Daffa." Kata Farida."Anggap saja saya Dokter pribadi Mazaya Bu, jadi jangan sungkan.""Dokter cinta." Celetuk Mafaza dan mendapat peringatan sorotan tajam dari Burhan."Gimana sama pemakaman Gema Yah?" Tanya Farida saat sang Suami dan Putra sulung serta Zafir baru sampai di Kediamannya."Kayak pemakaman pada umumnya. Ayah sudah sa
Keadaan Ruang VIP lima terdengar gaduh, seorang pasien wanita menangis histeris ketika mendengar kabar duka mengenai pria yang mengalami hal naas bersamanya. Pasangan paruh baya yang merupakan kedua orang tua wanita itu hanya pasrah ketika melihat keadaan putri bungsunya. Ia benar - benar tidak menyangka jika sang putri akan mengalami hal ini. "Sus, keadaan mental putri saya sepertinya sedang tidak baik - baik saja. Apa harus ditangani oleh Psikiater?""Hanya Dokter yang bisa memutuskan Pak, saya tidak memiliki wewenang untuk mendiagnosa putri Bapak dan Ibu." "Baik, nanti akan saya tanyakan langsung dengan Dokter yang menangani. Terima kasih Sus.""Sama - sama, saya permisi.""Ma, Pa gimana keadaan Kirana?""Sudah mulai tenang karena efek obat dari Perawat. Infus sempat lepas karena Kiran terus menerus histeris.""Astaghfirullah.. Apa jadi Papa ketemu Keluarga Gema?" Vinta - Putri sulung kedua paruh baya itu
Acara tujuh hari Gema dilaksanakan dengan khidmat, Keluarga besar mengadakan khataman di Kediaman Rofiq. Suasana pun cukup kondusif, terlebih keadaan Haniah - sang Ibu sudah tidak lagi meratapi kesedihan meski wajah sembab masih tergambar jelas.Burhan, Istri dan Putra Putri beserta menantu tengah berada didalam kediaman itu. Keadaan Mazaya sudah jauh lebih membaik, meski pikirannya diliputi oleh beberapa pertanyaan mengenai kejadian yang menimpa Gema. Pasalnya hingga saat ini pun ia belum mendengar kronologi kecelakaan yang membuat calon suaminya merenggang nyawa."Karena kedua pihak Keluarga kita sudah berkumpul, izinkan saya mengatakan sepatah dua kata untuk mewakili Gema." Rofiq membuka obrolan ketika kedua belah pihak Keluarga berkumpul disuatu Ruangan.Mazaya meremas jemari ditangannya, entah perasaan apa ini. Yang pasti jantungnya berdegup kencang, dan seolah akan ada sesuatu yang menyakitkan. Bukan satu atau dua kali ia mendapati suasana seperti in
"Assalamu'alaikum. Permisi." Mazaya ditemani Zafir tengah berada diambang pintu Ruang VIP lima Rumah Sakit Bhakti Wiyata."Wa'alaikum salam. Mencari siapa?" Seorang wanita muda membuka pintu untuk mereka."Perkenalkan saya Mazaya dan ini Kakak saya Zafir. Apa kami bisa bertemu dengan Kirana?""Ah ya bisa, kebetulan kondisi Kakak saya sudah stabil. Ah ya saya Vinta Kakak Kiran." Vinta menyodorkan tangannya kepada Mazaya dan wanita itu menerima tangan Vinta dengan lembut, namun tidak dengan Zafir karena ia tidak akan pernah menyentuh wanita yang bukan mahramnya."Silahkan masuk." Vinta mempersilahkan."Pa.. Ma ada teman Kiran.""Teman aku? Siapa Kak Vin?" Kirana masih belum diperkenankan untuk membuka matanya karena luka dikedua kelopak matanya belum mengering."Mazaya sama Zafir." Jawabnya."Mazaya? Zafir? Aku gak ada kenal sama mereka Kak." Mendengar hal itu sontak kedua oranh tua Vinta dan Kirana bera
"Oh ya, ada hal penting apa yang buat Bapak dan Ibu datang kesini?""Jadi begini, Ibu mertua saya di Hangzhou mulai sakit - sakitan. Beliau meminta Istri saya untuk pulang kesana, yah seperti yang kamu tau kalau saya sendiri disini sudah tidak ada Orang tua. Jadi saya memutuskan untuk pindah ke Hangzhou.""Lalu bagaimana dengan pekerjaan Bapak disini?""Itu yang buat saya datang kesini menemui kamu secara pribadi. Pekerjaan saya dialihkan di Kantor Beijing, dan posisi saya sementara kosong. Jadi pada saat rapat direksi nanti, saya ingin mengajukan kamu sebagai kandidat. Tapi --""Ada apa Pak?""Ada pelatihan Directorship program di Beijing selama satu tahun.""Ehem.. Kenapa Bapak memilih saya sebagai kandidat?""Karena kamu mampu menggantikan saya.""Kenapa Bapak yakin dengan hal itu?""Saya tau kinerja kamu selama ini, terlebih kamu manajer terbaik di Perusahaan itu.""Saya ulangi kembali Pak
Satu bulan kemudian"Hati - hati dijalan Nduk. Jangan lupa ibadahnya, kalau ada apa - apa disana langsung hubungi Ayah Bunda atau Kakak kamu." Farida memeluk Putri bungsunya.Saat ini Keluarga Burhan termasuk Zafir dan Istri tengah berada di Bandara untuk mengantar kepergian Mazaya ke China. Setelah melakukan perdebatan alot dengan batin dan pikirannya, ia telah mendapatkan jawaban tentang tawaran menjadi Direktur di Perusahaan tempat ia bernaung. Terlebih pihak Direksi setuju dengan kandidat yang diajukan oleh Irawan. Tentu saja mereka menyetujui hal itu, pasalnya Mazaya merupakan kandidat terkuat diantara yang lainnya. Dari awal ia bekerja di Perusahaan itu, prestasinya dalam memilih sumber daya manusia tidak diremehkan lagi. Setiap tahun berturut - turut ia selalu saja menjadi karyawan terbaik di perusahaan besar itu."Hati - hati dijalan Bu Bos, jangan lupakan kami." Satu persatu tim nya kecuali Rendy memeluk Mazaya."Jangan bandel,