"Arsena!"Keduanya kompak menoleh saat mendengar sapaan berat namun juga halus pria bertubuh tinggi yang nampak rapi nan klimis. Terdengar setengah asing namun Dinara yakin sempat mendengar ayah Sandi juga memanggil putranya begitu. "Ngapain disini?" Pria itu super tampan dan punya gurat wibawa di wajahnya. Dia kelihatan familiar namun Dinara lupa pernah melihatnya dimana. Sandi tersenyum sembari membalas pelukan hangat dari lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu. "Kebetulan lagi ketemu temen," ia melirik Dinara. "Nar, kenalin ini kakak sepupuku yang baru pulang dari London."Dinara menjabat tangan besar yang terulur dari pria tinggi itu. "Arka," ucapnya singkat saat memperkenalkan dirinya. Dinara tersenyum kikuk saat pria matang itu melirik kearahnya dan tersenyum kecil, bergantian melirik adik sepupunya yang nampak tak terganggu sama sekali. Dari setelan yang digunakan dan aroma parfum yang menyeruak, Dinara makin sadar bahwa kasta keluarga besar Sandi itu lumayan
Serba mendadak!Belum ada duduk lima belas menit, gadis dengan rambut lurus itu harus buru-buru merapikan dokumennya. Ada client yang minta reschedule jadwal temu sehingga janji yang awalnya dicanangkan saat makan siang harus dimajukan menjadi pukul sepuluh pagi. "Draftnya tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Bu Alana saat Dinara sudah menyusulnya masuk ke dalam mobil. Mereka berangkat bersama supir kantor yang memang biasa mengantar perjalanan bisnis. Dinara mengangguk pasti, "sudah saya cek semua, bu. Draft tulisan, layout, dan beberapa tawaran konsep baru yang sebelumnya kita bahas sudah ada dalam map," terang Dinara yakin. Alana mengangguk paham. Ia lalu mengintruksikan supir untuk mulai melajukan mobil menuju Hotel Royal di pusat kota karena pertemuannya akan dilangsungkan di resto disana. Client hari ini bisa dibilang merupakan salah satu VIP nya perusahaan mereka. Pasalnya, The Royal merupakan perusahaan raksasa yang sedang melejit dan sudah membawahi beberapa hotel dan r
Dinara menghempaskan tubuh super lelahnya diatas ranjang queen size miliknya. Masih berbalut kemeja putih dengan siku yang tergulung dan celana kain hitam yang melekat manis di kaki jenjangnya. Tidak ada niatan sama sekali baginya untuk masuk ke dalam kamar mandi—setidaknya dalam rentang satu jam kedepan ini. Ponselnya yang masih berada di nakas itu mendadak berdering. Niat awalnya sih ingin mengabaikan dering menyebalkan itu, namun dia takut kalau- kalau panggilan itu ternyata penting. Dengan setengah hati, Dinara meraih benda pipih itu dengan bantuan lengan panjangnya. "Gimana tadi tes nya, Din?" Dinara mengaktifkan fitur speaker dan menggeletakkan ponselnya tanpa niat. Tubuh tingginya masih rebahan menguasai kasur dan sudah dikuasai kemalasan sekarang ini. "Gue gak tau deh itu tadi bisa dibilang lancar atau enggak, kak," sahut Dinara tak bersemangat. Kepalanya masih berdenyut lumayan hebat setelah mendorong dirinya untuk berkonsentrasi penuh selama kurang lebih dua jam. Meskip
Bermain game merupakan aktivitas yang seharusnya terasa menyenangkan. Sandi bahkan sempat menobatkan kegiatan memencet-mencet tombol, memilih strategi dan fokus pada layar itu sebagai salah satu pilihan healing buatnya. Meskipun tak jarang dia justru makin mumet saat kalah setelah berjuang dengan kekuatan maksimum otaknya. Jemarinya bergerak asal, pun setelah banyak diteriaki bocah-bocah celana biru dan abu-abu, dia masih tak fokus. Matanya sesekali melirik kearah tangga melingkar hunian sepi itu. "Dih, bang Sandi kenapa mendadak noob?" Keenan menutup mulutnya rapat setelah mendapatkan tatapan setajam silet dari lelaki yang diledeknya tadi. Sandi melempar stick PS miliknya asal lalu meluruskan kakinya diatas karpet wol tebal di ruang tamu itu. "Ta, kakak lo lagi sibuk apa, sih?" Akhirnya berhasil mengungkapkan rasa penasarannya. Hari minggu siang, Sandi sudah deal dengan tiga bocil laknat yang katanya akan mengajaknya main game sampai sore. Niatnya jelas, selain memang m
Telinganya berdengung, tubuhnya pun masih lemas tak bertenaga sampai- sampai digendong bridal masuk kedalam kamar. Untuk membuka mata saja rasanya berat akibat pening yang mendera hampir seluruh bagian kepalanya itu. Dia hanya pasrah saat Sandi menggendongnya ringan ketika keluar dari mobil sampai kini diturunkan pelan- pelan di ranjang."Makanya kalau kerja atau belajar tuh jangan sampai lupa makan minum! Kalau capek jangan lupa istirahat! Maksa terus sih! Emang kamu gak sayang badan sendiri?" Samar- samar Dinara mendengar gerutuan Sandi yang sepertinya masih terus dirapalkan sejak mereka keluar dari klinik lima belas menit yang lalu. Meskipun tak secara jelas mendengar untaian kalimat panjang yang juga diucapkan Sandi saat di mobil selama perjalanan pulang, Dinara cukup yakin bahwa maknanya masih sama."Udah sih, bang! Lagi sakit malah dimarahin terus," bela Keenan yang sepertinya juga ikut panas telinganya. Meskipun yang dimarah itu Dinara, tapi Keenan yang berperan sebagai supir
Senin pagi punya cuaca cerah dan udara yang masih cukup asri. Tunggu saja dua jam berikutnya ketika berganti dengan panas polusi kendaraan dan hiruk pikuk manusia khas kota hectic satu ini. Apalagi ini senin, beberapa manusia mungkin punya dendam kesumat akan hari setelah akhir pekan ini. Hari pertama kembali bekerja dalam setiap minggu—setidaknya bagi para pekerja kantoran dan pelajar. Rapat penting di hari senin menjadi alasan utama Dinara untuk tetap pergi ke kantor meskipun belum sembuh total. Sakit kepalanya sudah lumayan reda, panas juga turun, namun ada semacam hawa hangat yang masih berputar dalam tubuhnya. Entah bagaimana cara menjelaskannya, tapi rasanya seperti masih ada efek obat disana. Dinara memakai halter neck dilapisi blazer coklat susu dengan celana hitam kain panjang. Kakinya dibalut heels warna coklat setinggi lima senti. Dara rupawan itu membiarkan rambutnya tergerai, dia baru saja keramas setelah kemarin berkeringat akibat suhu tubuhnya yang menggila. Make up
"Permisi, ini ada gofud buat Mbak Dinara."Rasa-rasanya Dinara belum sempat mengulik aplikasi hijau tersebut meskipun memang dia terpikir untuk pesan makan siang. Meski setengah bingung, dara itu pada akhirnya bangkit juga dan mendekat pada OB yang tersenyum ramah di depan pintu. Dinara mengintip ke dalam bungkus yang ternyata berisi bento langganannya. Tanpa pikir panjang pun dia akhirnya tahu siapa pengirimnya. Tidak lain dan tidak bukan pasti the one and only Sandi Arsena. Tetangga protektif yang sudah kedua kalinya mengirimkan bento ke kantor. Gadis itu tersenyum tipis, "makasih ya, mas," ucapnya pada OB yang akhirnya pamit. "Yah, padahal gue baru aja mau traktir lo bubur ayam di warung depan," dengus Stecia saat Dinara kembali duduk di tempatnya. Dinara mengendikkan bahu sementara Kalila tiba-tiba saja sudah duduk disebelahnya dengan pandangan memicing curiga. "Kalo gofudnya sampe dianter ke dalam ruangan gini, pasti bukan lo yang pesen kan, Din?" terkanya. Kadan
"Dinara!"Si pemilik nama menoleh kala suara yang terdengar akrab menyapu telinganya. Sore ini tak banyak manusia yang lalu lalang di lobby, sehingga ia tidak kesulitan menemukan orang yang menyapanya. Dinara tersenyum tipis membalas lambaian tangan bersemangat yang Valdi ayunkan dari dalam lift hingga kini setengah berlari menuju kearahnya. Staf Finance itu menggendong tas ransel hitam miliknya yang nampak cukup penuh dan berat. "Tumben senin jam segini udah di lobby, gak ada lembur?" Pertanyaan pertama yang laki- laki itu utarakan cukup menyentil Dinara. Memang benar sih, divisinya termasuk salah satu yang paling getol urusan lembur. Bagaimana tidak? Ada beragam konten yang harus diselesaikan dalam kurun waktu singkat. Ditambah lagi mereka punya visi yang sama dengan pemimpinnya, pantang pulang sebelum clear, hehehe.Untung saja mereka bekerja di perusahaan besar yang masih adil dalam perhitungan overtime. Dinara rasa lemburannya selama ini masih dibayar dengan layak. Dinara meng