Ratu berjalan anggun dengan dres mahal yang dikenakan menuju ke arah unit apartemen tempat Raka tinggal. Jemari lentik dengan cat kuku warna merah menekan tombol bel pada pintu. Tak lama pintu terbuka, muncul Bu Sumi yang langsung dipeluk erat Ratu. "Bu Sumi, kenapa rahasiakan ini dari Ratu, Bu Sumi kan tau Ratu punya banyak mata-mata." Mereka berjalan ke dalam apartemen mewah nan luas itu. Terlihat Nadia baru saja mandi, rambut panjangnya tampak basah. Baju gambar barbie hadiah dari Ratu dikenakan bocah itu, hal tersebut membuat Ratu tak tahan untuk memeluk Nadia. Ia meletakkan tas mewah di atas sofa begitu saja lalu memeluk Nadia erat. "Keponakanku sayang," lirihnya. Lalu ia ciumi wajah Nadia dengan air mata yang perlahan menetes di wajah cantiknya. "Bu Ratu, kenapa Ibu menangis?" Nadia bingung. Ratu meraih jemari Nadia, ia kecupi berkali-kali setelahnya tersenyum lebar. "Seneng aja bisa punya keponakan secantik kamu, Nadia." Ratu mengecup kening Nadia lama. Kemudian muncul R
Setelah pertemuan itu, Risa dan Nadia dibawa kembali ke rumah Arkana. Raka dan Bu Sumi ikut serta. Untuk apa harus menyembunyikan lagi siapa mereka, kini justru saatnya sedikit mulai membuka rahasia yang tersimpan. Arkana sudah duduk di ruang tamu bersama Devinta juga Deva, pun kedua orang tua lelaki itu juga kedua mertuanya. Risa berjalan sambil menggandeng tangan Nadia yang tersenyum menyapa Deva, tapi bocah lelaki itu justru memalingkan wajah. Nadia diam. Deva seperti marah kepadanya. Kedua orang tua Devinta menatap dingin, walau ia tau kejadian Arkana sebelum mereka menikahkan dengan Devinta tapi rasanya tetap saja kesal. “Bu Sumi,” sapa nyonya Bagas. Bu Sumi bersalaman sambil membungkukkan tubuh. “Sudah, Bu,” kata nyonya Bagas. Bu Sumi merasa tidak enak hati karena menyimpan rahasia tentang kejadian Arkana dan Risa kala itu. “Mari, kita duduk bersama,” ajak tuan Bagas yang begitu humble. Tidak sombong sebagai seorang majikan. Raka menyapa satu persatu dengan tatapan dan anggu
Semua sudah siap, Nadia kini sudah bisa bersekolah di tempat semestinya. Ia dan Risa berjalan menuruni anak tangga dengan perlahan. Tatapan Devinta serta Deva begitu dingin saat melihat ke arah dua perempuan yang kini statusnya bagian hidup Arkana. Lelaki itu tersenyum menyambut, tapi Risa dan Nadia segera pamit berangkat, tidak ikut sarapan bersama karena mereka tau diri posisinya di rumah itu. Arkana hanya bisa menghela napas sambil menatap Devinta yang tak acuh sambil menyendok nasi dan lauk ke mulutnya. Di depan gerbang rumah besar itu, mobil sedan mewah berhenti, Raka turun lalu berlari memutar bagasi mobil untuk menghampiri Nadia juga Risa. “Kenapa kamu?” Risa masih kesal dengan Raka, padahal sudah satu minggu lalu sejak pernikahannya dilangsungkan, ia tak bertemu Raka. “Memang kenapa? Ayo Nadia, Om Raka antar sekolah.” Raka membuka pintu belakang, Nadia tampak ragu tetapi tetap masuk ke dalam mobil dengan perlahan sambil menatap bundanya.“Jangan kasih kesedihan ke Nadia lag
Harap bijak membaca part ini. Erangan erotis wanita diatas tubuh lelaki itu menggema di dalam kamar hotel yang tempati keduanya. Devinta mabuk, ia kehilangan kewarasan hingga kini sedang mendapati pelepasan keduanya dengan Raka. Laki-laki itu memburunya, hingga bertemu di klub tempat Devinta menyendiri. Ia bohong kepada Arkana, bilang jika akan pulang ke rumah orang tuanya sejenak, dan lelaki bodoh itu percaya. Rayuan maut Raka ditambah alkohol membuat Devinta kembali hilang akal. Raka tak menyiakan kesempatan, langsung ia membawa Devinta ke tempat itu. Raka akui, Devinta cantik dengan tubuh sempurna. Pantas kakaknya, begitu menggilai wanita yang masih terus bergerak di atas tubuhnya. Raka puas biasa membuat Devinta hilang akal dan adab. Ia istri seorang laki-laki sukses, dan kini sedang bercinta dengan seorang laki-laki yang merupakan adik dari laki-laki yang begitu Devinta cintai dulu. Devinta mendesah nikmat, Raka kembali menyemburkan cairan miliknya di dalam rahim Devinta. “Ras
Risa menuruti kemauan Arkana, ia memasak. Malam itu Risa memasak iga bakar dan puding buah-buahan. Dua masakan sederhana tanpa banyak macam yang biasanya jika ada Devinta, satu meja makan penuh dengan makanan yang ujung-ujungnya tidak habis dimakan. Deva turun dari lantai dua, menghampiri Risa yang sedang menata meja makan. “Kalian mau pergi dari sini, kan.” tanya Deva dengan nada ketus. Risa menoleh, tersenyum seraya mengangguk. Arkana baru tiba, ia berjalan masuk ke dalam rumah, Deva menoleh menatap papanya dengan tatapan kesal. “Mereka besok pergi dari sini, ‘kan, Pa?” tanyanya dengan penuh penekanan. “Kenapa kamu tanyanya begitu, Deva?” Arkana tak percaya putranya bisa bicara seperti itu. “Deva nggak suka! Mama pergi karena mereka!” teriak bocah laki-laki itu lalu kembali ke kamarnya. Arkana menghela napas panjang, ia mengendurkan dasi yang masih melingkar di kerah bajunya. Risa tersenyum masam. “Deva jadi salah sangka dan benci aku sama Nadia. Apa kamu tau, perlakuan Deva
Risa berjalan ke depan rumah, diikuti Nadia yang menyambut ayahnya dengan senyuman. “Ngapain ke sini?” tanya Risa dengan wajah sedikit angkuh, seperti tidak suka dengan kehadiran lelaki itu. Arkana melirik ke mobil terparkir. “Ada Raka,” tanyanya ketus. Tampak dari tatapannya juga langsung menunjukkan ketidak sukaannya. “Iya.” “Nadia udah makan belum? Kamu juga?” Arkana menyodorkan dua kantong plasik besar berisi makanan cepat saji juga ke arah Risa. “Udah, tadi Raka beliin.” Ternyata jawaban Risa membuat Arkana terpancing kesal. Ia berjalan cepat ke arah rumah, masuk melewati Nadia yang mendongak sambil menatap bingung ke ayahnya. “Keluar anda dari sini.” usir Arkana sambil menunjuk ke arah pintu. Raka beranjak dari duduknya, tersenyum dingin sambil memakai jas mahal miliknya. Tanpa bersuara apa pun, Raka berjalan keluar dari rumah itu, tak lupa ia mengecup kening Nadia dan menepuk bahu Risa sebelum menuju ke mobilnya. Risa mengajak Nadia masuk, lalu meminta putrinya menonton T
“Ngapain ke sini lagi, sih,” gumam Risa yang mengintip dari balik gordyn. Arkana kembali berjalan masuk, Risa bersandar pada ambang pintu sambil menatap garang. “Kenapa, nggak boleh nginep di sini.” Arkana terus berjalan hingga duduk bersama Nadia di atas karpet halus. “Home sweet home,” ucap Arkana. Tingkahnya seperti anak kecil yang lama tak pulang ke rumah. Risa tak tau harus apa, ia akhirnya memutuskan ke dalam kamar, meninggalkan Nadia bersama Arkana. Risa membaca buku materi kuliah, sudah hampir satu jam berlalu hingga terdengar suara Nadia yang mengatakan jika ia sudah mengantuk. “Ayo bobo,” ajak Risa. Nadia naik ke atas ranjang, Risa bersiap menyelimuti karena AC cukup dingin saat dipasang disuhu 20 derajat celsius. “Nadia bobo sama Ayah, ya. Mau dibacain cerita nggak? Deva dulu suka Ayah bacain dongeng.” Nadia menggelengkan kepala. “Nadia udah besar,” jawabnya. Arkana tergelak sambil duduk di tepi ranjang. “Yaudah, baca doa gimana?” tawarnya. “Mau, Ayah bisa?” “Ya bisa
Arkana tidak bisa tidur, badannya miring kanan dan kiri, lalu duduk, terlentang lagi, tetap tak bisa memejamkan mata. Ia kesal, lalu mengusak rambutnya. Dilihatnya jam dinding, masih di angka setengah dua belas malam. Kepalanya menoleh ke kiri, tepat pada pintu kamar yang ditiduri Risa bersama Nadi. Arkana mengulum senyum, lalu beranjak sambil membawa bantal yang diberikan Risa. Tangannya memegang gagang pintu, di dalam hati berdoa supaya tidak dikunci, dan benar saja karena pintu terbuka. Arkana berjalan begitu pelan masuk ke dalam kamar dengan AC yang menyejukkan tubuhnya dalam seketika. Ranjang ukuran besar itu memang bukan dirinya yang beli, siapa lagi kalau bukan Raka, walaupun kesal Arkana tetap duduk di tepi ranjang. Ia melihat Risa dan Nadia terlelap, tak tega untuk membangunkan Risa guna meminta izin tidur di kamar itu, Arkana langsung saja merebahkan diri di samping Risa, masa bodo jika nanti Risa marah, baru ia minta maaf dan izin untuk tidur di kamar. Risa bergeliat, lal