Share

Hanya Diberi Nafkah IDR 15K
Hanya Diberi Nafkah IDR 15K
Penulis: DekPut

Prolog

Teriknya matahari membakar kulitku, rasanya sungguh lelah jika harus berjalan berkilo meter dari pasar ke rumah hanya demi menghemat ongkos. Akan tetapi, hal itu tetap kulakukan.

Aku mempercepat langkah agar segera sampai ke rumah, bukan untuk istirahat, tetapi melaksanakan tugas seorang ibu rumah tangga yang sangat melelahkan. 

Sebelum membongkar belanjaan yang tak seberapa yang baru saja kubeli di pasar, membersihkan rumah adalah tujuan utamaku. Mas Heru, suamiku sangat marah jika melihat rumah dalam keadaan kotor. Pernah suatu ketika ia marah dan kabur dari rumah selama berhari-hari hanya karena noda yang ada di lantai. Lebai, suamiku itu memang benar-benar lebai.

"Rumah berantakan sekali, sih! Ini rumah atau kandang ayam, hah? Kamu ini, ngapain aja di rumah? Bisanya minta uang saja! Giliran membersihkan rumah tak mau! Dasar pengangguran! Tak becus! Seharian kerjaanmu apa? Cuma bersihkan rumah saja gak bisa!" Mas Heru memakiku dengan kata-kata menyakitkan seperti itu setiap kali mendapati rumah kami kotor, meski hanya ada setitik debu yang menempel di lantai.

Biasanya, jika sudah begitu aku hanya bisa menangis tersedu, meminta maaf, kemudian berjanji tak akan mengulanginya lagi.

"Maaf Mas, aku salah. Aku sudah membersihkan rumah dengan baik, sudah kupastikan tak ada debu dan noda yang menempel, tetapi, tetangga sebelah tadi membakar sampah, abu dan asapnya sampai ke rumah dan mengotori rumah kita," ucapku membela diri kala itu.

"Alasan saja! Pakai nyalahin tetangga kamu! Bilang saja kamu malas! Dasar pemalas! Pengangguran! Kamu pikir, aku di luar sana leha-leha? Gak kerja? Tahumu cuma minta uang dan uang saja!" Teriaknya sambil mendorongku hingga terjatuh.

Jika sudah begitu, lagi-lagi aku hanya bisa menangis, meluapkan kesalahan dan kekesalanku dengan cara menumpahkan air mata. Padahal, uang yang diberi Mas Heru hanya lima belas ribu sehari!. Bisa kalian bayangkan bukan? Bagaimana caraku memutar otak agar uang itu cukup memenuhi semua kebutuhan dapur? Bukan, bukan aku tak bersyukur dengan jatah lima belas ribu sehari itu, tetapi ini zaman milenial, di mana semua harga sayur-mayur, cabai dan lauk-pauk mahal.

*** Nafkah Lima Belas Ribu ***

"Mas, uang lima belas ribu mana cukup untuk membeli makanan yang bergizi?" protesku saat beberapa kali suamiku yang kikir itu memberi nafkah dengan jumlah yang sangat minim, lima belas ribu.

"Jadi wanita itu harus bersyukur! Ya, kamu cukup-cukupilah! Masa kamu gak pandai ngatur keuangan. Itu udah cukup kali, untuk beli lauk-pauk juga sayurnya! Lagian, semua kebutuhanmu kan sudah aku penuhi. Beras aku yang beli, minyak dan gula juga, garam juga, gas juga aku yang beli, lalu apalagi yang kurang? Lima belas ribu itu sangat cukup jika hanya beli lauk-pauk dan sayuran! Jangan boros jadi istri! Hemat sedikit dong! Jangan tahunya uang terus. Capek aku, setiap hari yang kamu bahas uang melulu! Kamu kira, aku ini ladang uangmu, hah?" omelnya panjang lebar.

Itulah percakapan kami saat suatu kali aku meminta uang nafkah lima belas ribu itu ditambah. Jawaban Mas Heru lagi-lagi hanya membuatku gigit jari. Bukan tambahan uang belanja yang didapat, omelan dan hinaan yang menyakitkan yang membuat sakit hati yang kudapati.

*** Nafkah Lima Belas Ribu ***

Namaku Eleanna, biasa dipanggil Anna. Aku, seorang ibu rumah tangga yang menikah dengan pria kikir bernama Heru Kurniawan. Dulu, kupikir menikah adalah salah satu caraku mencapai kebahagiaan, tetapi aku salah besar. Bukan bahagia yang kudapat, melainkan derita dan sakit hati yang ada.

*** Nafkah Lima Belas Ribu ***

Selesai sudah membersihkan rumah, kuputuskan untuk langsung mengeksekusi belanjaan yang baru saja dibeli dari pasar tadi. Ada bawang, cabai, kangkung, tahu, dan juga ikan asin. Itupun kubeli dengan jumlah seadanya. Bawang tiga ribu, cabai 3 ribu, kangkung 2 ribu, tahu empat ribu, ikan asin tiga ribu.

Hari ini, balado ikan asin dan tumis kangkung adalah menu makan siang. Untuk tahu yang kubeli tadi, bisa disimpan untuk besok, agar aku tak perlu ke pasar lagi, itu juga kalau lauk hari ini cukup sampai malam hari, kalau tidak terpaksa tahu tersebut kugoreng dan disantap untuk makan malam.

Selesai sudah masakan ala kadar ala chef Anna, balado ikan asin dan tumis kangkung sudah tersaji di meja makan. Bergegas, aku segera membersihkan perlatan bekas masak tadi, agar nanti Mas Heru tak mengomel dan mencaci makiku seperti yang sudah-sudah.

Lelah sekali rasanya hari ini, aku memutuskan untuk merebahkan tubuh usai memasak dan membersihkan rumah.

"Capek banget rasanya," ucapku pada diri sendiri.

Belum ada lima menit merebahkan badan, deru motor Mas Heru sudah terdengar dari luar sana.

"Assalamualaikum!" seru lelaki yang selama dua tahun ini menjadi suamiku.

Buru-buru aku membuka pintu agar tak terjadi perang dunia ketiga. Sebab, jika lama sedikit membuka pintu, ia akan mengomel sepanjang hari yang membuat telingaku sakit.

"Waalaikumsalam," sapaku sambil memberikan senyum termanis di hadapannya.

"Ngapain senyum-senyum?" tanyanya dengan nada curiga.

Tuh kan, salah lagi. Harusnya tadi aku menyambutnya dengan muka masam saja, menampakkan wajah lelahku karena seharian berjalan berkilo-kilo meter dari pasar ke rumah, ditambah lelah karena membersihkan rumah dan memasak makanan untuknya.

"Gak apa-apa Mas. Sini, tasnya kubawa ke kamar," ucapku kemudian.

"Gak perlu! Aku bisa bawa sendiri!" tukasnya sembari menghempas tangannya dengan kasar.

Mas Heru masuk ke rumah, mengamati seluruh ruangan rumah, apakah sudah bersih atau belum, lalu mengangguk-anggukan kepalanya.

"Tumben rumah masih bersih?" ucapnya padaku.

Bersih salah, kotor juga salah, entah apa mau lelaki yang menikahiku dua tahun terakhir ini. Ingin sekali kata itu kuucapkan padanya. Namun, lagi-lagi aku ingat pesan Mamak di kampung, kata Mamakku jangan sekali-kali membantah suami.

"Iya, Mas. Berulang kali kubersihkan, agar rumah terlihat rapi dan bersih," jawabku kemudian.

"Iya lah, harus itu. Memang membersihkan rumah adalah tugasmu! Bukan malas-malasan apalagi rebahan!" katanya sinis.

Aku mengelus dada, apa katanya tadi, malas-malasan? Dia kira aku gak punya kerjaan apa! Selalu dituduh malas-malasan dan tak punya kerjaan. Sungguh hatiku terasa sakit! Rasanya, ingin sekali kucakar wajahnya yang cukup tampan dan membuatku jatuh cinta itu. Namun, lagi-lagi pesan Mamak terngiang dalam ingatanku. "Jangan membantah suami! Lakukan apa yang diperintahkannya. Nurut sama suami kalau sudah menikah," begitulah pesan Mamak yang selalu kuingat.

"Mas, aku kan gak cuma rebahan aja di rumah," kataku sedikit kesal.

"Iya. Emang kamu harusnya gak rebahan! Ya harus membersihkan rumah seperti ini, ini lihat sini, kalau begini kan rapi, bersih, enak dipandang mata, iya kan?" Mas Heru menarik lenganku dengan kasar, lalu menunjukkan seisi rumah yang baru saja kubersihkan.

"Iya Mas," kataku sembari menunduk.

"Iya, ya sudah. Kamu masak apa hari ini?" tanyanya lagi.

Baru hendak menjawab, Mas Heru sudah lebih dahulu pergi ke dapur, membuka tudung saji.

"Ikan asin? Kamu kira aku kucing, apa?" Bentaknya padaku.

Mas Heru meninggalkanku seorang diri di dapur, dengan masakan yang sudah berserakan di atas meja.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status