Mata Nina terbelalak kaget melihat siapa tamunya. "Oh, tidak.""Selamat pagi, Nina sayang," sapa ramah wanita yang datang bertamu. Dia adalah Martha, mama kandung Nina. Matanya memperhatikan dengan tatapan tidak suka pada penampilan Nina yang hanya terbalut bathrobes putih. "Kenapa kamu tidak berpakaian yang layak di apartemen seorang pria, Nina? Jadi kamu.. sudah berhubungan intim dengan.. Martin?""Buat apa mama datang lagi kemari?" desak Nina mengabaikan pertanyaan mamanya. Dengan sedikit gemetar, tangannya mengencangkan ikatan bathrobes nya yang mulai mengendor. Nina merasa sedikit jengah dipelototi mamanya, akibat penampilannya yang minim. Nina hanya mengenakan pakaian dalam, dibawah balutan bathrobes itu."Ganti bajumu. Kita pergi sekarang!" perintah Martha sambil meraih pergelangan tangan Nina."Tidak," tolak Nina kasar seraya mengibaskan tangannya agar cengkraman mamanya terlepas darinya. "Aku tidak mau ikut mama kemanapun. Sebaiknya mama pergi saja. Mama pasti punya banyak ur
Sementara itu di Edelweis Mansion..."Apa kita harus tinggal diam dan pasrah melihat Tuan Max dan istri ketujuhnya memamerkan kemesraan?" cibir Chrysan sinis, dengan tangan meremas-remas kesal adonan kuenya. "Rasanya aku ingin muntah hanya mendengar namanya saja. CK.""Hm-hm.. aku setuju. Aku juga sudah muak melihatnya, merasa paling disayang lalu jadi besar kepala. Ck, bahkan Tuan Max rela meninggalkan kami berdua, hanya untuk berbulan madu dengannya di desa. Mau lihat apa di kampung sana?! Lalu, apa kalian punya ide jenius untuk membuat citra si istri ketujuh menjadi rusak atau setidaknya membuat Tuan Max menjadi ilfill dengan dia?" tanya si kembar, Lily dan Peony yang berkomentar saling sahut menyahut. Keduanya adalah istri ketiga dan keempat Tuan Max."Bagaimana kalau kita beri racun saja?" ucap Chrysan, istri kedua memberi ide. "Aku ada kenalan yang mau menjual biji kasturi padaku. Biji jarak itu sudah diekstrak menjadi racun risin. Aku bisa mencampur racun itu ke dalam makanan m
Kantor pusat Alexander. Pukul 08.35Tok-tok-tok.."Masuk."Martin membuka pintu ruangan Max, sahabat sekaligus atasannya. Begitu masuk ke dalam, mata Martin membelalak disuguhi pemandangan manis ala suami istri."Sejak kapan kamu jadi bayi lagi, Max?" tanya Martin heran."Nyam.. masuklah, Martin. Nyam.. Aku sedang makan. Nyam-nyam." Mulut Max yang penuh makanan, berkomat-kamit menyuruh Martin masuk ruangannya. "Kamu tadi bilang apa? Aku.. bayi katamu? Sayang, minta perkedelnya lagi. Hmm yummy. Enak," ucap Max manja sambil menunjuk lauk yang diinginkan, pada Marigold yang sedang duduk di sebelahnya. Lalu Max membuka mulut untuk disuapi istri ketujuhnya.Martin memutar bola matanya, kesal. "Semua orang yang punya mata bisa melihat kalau kamu sedang makan dengan pelayanan spesial seperti bayi disuapin.""Apa kamu iri, Martin?" Max menyunggingkan senyum mengejek pada Martin."Tidak," jawab Martin ketus.Max tergelak geli mendengar jawaban sewot itu. Lalu Max mengedikkan dagunya ke arah so
Keluar dari ruangan Max, tiba-tiba badan Martin tertarik ke samping, ke lorong yang tidak terlalu ramai lalu lalang karyawan."Helen," tukas Martin kesal dengan mengibaskan tangannya. "Ini di kantor. Jaga sikapmu.""Aku mau bicara." Helen yang berdiri sangat dekat dengan Martin, berkacak pinggang hingga membuat tubuh lembutnya bersentuhan dengan dada bidang itu.Martin mengedikkan bahunya. "Kalau begitu cepat katakan. Aku banyak pekerjaan.""Kamu berubah, Martin." Helen menuduhnya langsung. Mata Helen yang berair, menatap marah pada Martin.Sementara Martin tidak bisa berhenti melirik aksesories lembut Helen yang membusung indah, yang berjarak dua senti darinya. Bayangan indah yang terlintas di benaknya mengenai bentuk, ukuran, serta kelembutan aksesoris milik Helen itu, membuat Martin harus mengepalkan kedua tangannya agar tidak meremas kuat-kuat gundukan lembut itu.Martin menghela napas panjang, lalu melipat kedua tangannya di dada untuk menghindari godaan menggiurkan di depannya.
Di mobil."Ambil ini," kata Max sembari memberikan sebuah black card pada Marigold. "Beli gaun terbaik yang kamu suka, perlengkapan wanita apa pun yang kamu butuhkan. Oya, jangan lupa membeli lingerie seksi.""Beres bos." Marigold sumringah sambil memberi hormat pada Max, suaminya. "Kamu.. tidak menemaniku belanja?" tanyanya sedikit kecewa karena kartu kredit milik suaminya diberikan padanya.Max memanjangkan tangannya, mengelus kepala Marigold. "Aku ada janji temu dengan klien di mall ini juga. Hanya satu jam kok. Setelah itu, seluruh waktuku milikmu seorang," ucapnya sambil menjawil hidung Marigold."Baiklah. Jangan lama-lama ya."Di mall."Ho-ho-ho.. sudah lama aku tidak ngemall," oceh Marigold sumringah. Matanya bergerak ke kanan kiri, memindai setiap sudut mall. "Andai Nina bersamaku, aku pasti tidak akan seperti anak ayam kehilangan induknya, berjalan kesana kemari tanpa tujuan seperti sekarang. Halah sudahlah, jangan pikirkan Nina lagi. Dia pasti sedang kencan dengan Tuan Marti
"Mau pergi kemana lagi?""Hah?" Kepala Marigold menoleh cepat pada Max yang duduk menyetir di sebelahnya."Sejak keluar dari butik mewah itu, wajahmu terus sumringah. Bahkan aku terkejut melihatmu keluar dari butik mewah itu dengan membawa kantung besar. Tadi katanya tidak mau belanja disana, eh tidak taunya malah borong," komentar Max dengan melirik kaca spion tengah, melihat jok belakang yang penuh dengan kantung belanjaan.Marigold mengedikkan bahunya. "Sebenarnya sih malas beli, tapi aku tidak tega melihat ada pegawai junior diremehkan seniornya. Ah, lebih tepatnya, aku yang diejek pegawai senior itu karena tidak mungkin membeli gaun mahal di butik itu. Lalu aku memberi pelajaran pada pegawai yang songongnya minta ampun itu.""Dengan memborong stok mereka?" Alis Max terangkat tinggi, ternyata ada kejadian seperti itu. Nanti, Max akan menyuruh Martin, asisten pribadinya, menegur pemilik butik itu. Tak seorangpun yang bisa mengusik istri seorang Max, tanpa mendapatkan pelajaran. Dan
"Sayangnya tante harus setuju, karena Nina sedang mengandung bayiku.""APA?!"Bukan hanya Martha yang terpekik syok, Nina pun tidak kalah terkejut. Namun, Nina segera menguasai diri, lalu menjewer pelan kuping si biang masalah."Hamil?! Memangnya siapa yang kamu bilang hamil, hah?!" tanya Nina mendesis."Tentu saja kamu." Martin menjawab santai, sembari mengelus perut Nina yang rata.Nina segera menepis tangan Martin yang kurang ajar. Nina gelisah bukan hanya karena sikap Martin yang berlebihan, tetapi juga karena pelotototan tajam dari Martha, mama kandungnya.Nina menggeram dengan merapatkan giginya. "Hentikan Martin! Kamu pikir aku ini alien, hah? Kita hanya satu kali bercinta, dan itu baru terjadi kemarin. Kamu pikir bimsalabim gitu, langsung jadi benihnya?! Padi saja butuh waktu untuk jadi bulir beras, apalagi jadi nasi. Kalau ngomong itu yang masuk akal dikit dong.""Tapi Nina sayang, kamu mau kan menikah denganku? Tidak peduli kamu hamil bayiku atau tidak, aku tidak bisa membia
Max menurunkan Marigold di teras Edelweis mansion."Jangan cemberut begitu dong," bujuk lembut Max sembari membantu melepaskan sabuk pengaman Marigold.Cup. Max memberikan kecupan panjang di kening Marigold."Kamu janji akan menemaniku sepanjang malam," tuduh Marigold sambil menusuk dada bidang suaminya dengan jari telunjuknya. "Tapi kenyataannya.. belum ada satu jam berjanji, sudah ingkar. Dasar plin-plan."Max meraih pergelangan tangan istrinya, lalu mengecup punggung tangannya. "Bukan begitu sayang. Jangan pernah menuduhku ingkar janji, aku hanya memundurkan janji. Kan kamu dengar sendiri, kalau tadi kakekku tiba-tiba menelpon. Mereka ingin makan malam bersamaku."Marigold melingkarkan kedua tangan di leher Max. "Kalau begitu, biarkan aku ikut makan malam denganmu. Aku kan istrimu, jadi aku juga termasuk keluargamu. Lagipula sejak menikah denganmu, aku jarang bertemu keluargamu. Tiap hari hanya bertemu dengan para siluman di mansionmu itu sampai aku muak.""Lain kali saja, sayang,"