Lihat betapa lancang wanita ini! Kenapa aku yang mesti mengenalnya sementara dia tak perlu mengenalku? Semakin banyak saja manusia aneh belakangan ini. Tapi tunggu! Cara bicara dan nada suaranya betul-betul mengingatkanku pada perempuan menyebalkan lain yang baru-baru ini kutemui. "Apa kamu... Cecilia?" Tebakku asal"Hah! Akhirnya kamu tahu. Selain rubah, kamu lemot juga ternyata. Entah apa yang bikin Hartono memilihmu."Ah, jadi ini masalahnya. Pemahaman ini membuat hatiku yang remuk tadi seketika jadi lega. Ternyata di dunia ini masih ada tempat untukku. Ada waktunya perempuan tanpa harta dan background mentereng menang melawan dunia. "Sebaiknya kamu marah sama Hartono bukan sama perempuan lemot kayak aku, iya kan?""Hmph, siapa yang tahu trik macam apa yang dipakai rubah ekor sembilan macam kamu hingga Hartono jadi tak waras. Unbelievable! Disgusting!" Serunya dari seberang sana. "Apa kamu mau
"Mei Ling gadis yang baik hanya saja dia ada di tempat dan situasi yang salah."Hartono memulai ceritanya dengan pembukaan yang cukup baik. Dari caranya bicara, sepertinya Mei Ling ini pribadi yang menarik, kalau bukan punya tempat istimewa di hati suamiku. Dan ini sukses bikin pikiranku yang dangkal agak tak nyaman. "Waktu menikah, aku masih sangat muda. Cuma dua puluh tiga tahun sedangkan dia dua puluh tahun. Pernikahan kami semata-mata demi langgengnya kerjasama antara Lim dan Zhang. Dalang dari semuanya tentu saja Lin Hua."Cara Hartono menyebut nama kecil nyonya Lim -- Lin Hua -- begitu gamblang cukup menunjukkan berapa rendahnya posisi nyonya Lim di hati suamiku saat ini. Lin Hua dan Mei Ling memang sama-sama dari keluarga Zhang. Mei Ling sendiri adalah putri bungsu dari kakak laki-laki nyonya Lim. Mengingat betapa benci nyonya Lim pada Hartono namun sanggup menikahkannya dengan keponakan kandung beliau menunjukkan beta
Setelah kata-kata laknat itu terucap, aku menyesal, nyaris seketika. Aku sudah menantang maut kali ini. Kemarin waktu dalam kamar siksaan, aku memang tak takut mati. Tapi sekarang begitu kehidupan kembali normal beda lagi ceritanya. Sifat dasarku sebagai manusia -- serakah -- membuatku tak cuma ingin hidup. Kehidupan yang lebih baik, tepatnya. "Apa kau yakin?"Kudengar suara Hartono berujar. Pelan. Mematikan. "Ak-- aku cuma...""Kemarikan ponselmu." Dia menyahut tak terbantahkan. Meski kesal setengah mati, aku memilih patuh. Kulemparkan benda mungil itu di depannya sebagai upaya protes kecil-kecilan. "Persis bocah." Geramnya kesal namun tetap mengambil ponsel yang terletak mengenaskan itu.Sejurus kemudian dia sibuk mengutak-atik sesuatu di ponsel itu. Penasaran dengan tindakannya, aku menjulurkan leher lebih tinggi. Ternyata Hartono sedang sibuk memeriksa laporan transaksi akun bank-ku.
Kulihat ada pergolakan di mata Joyce. Dan aku tak kaget. Pasalnya sosok ayah yang selama ini dia banggakan ternyata cuma seorang pembunuh, kebenaran pahit yang sudah pasti menggoreskan luka di hati anak manapun. "Aunty tahu ini berat, tapi setiap orang layak diberi kesempatan, Nak." Ucapku sambil berjongkok hingga wajah kami sejajar. "Baiklah Aunty. Tapi aku tak bisa janji bisa... memaafkan daddy."Kutatap wajah putri tiriku lekat-lekat. Keseriusan di matanya sanggup membuat manusia dewasa macam aku pun jadi salah tingkah. Betapa kuat auranya. Kuharap kelak ketika dia dewasa bisa ketemu pria yang tidak terintimidasi dengan auranya. "Baiklah, asalkan kamu mau bicara dengan daddy."Setelah mendapat persetujuan Joyce, kami berjalan beriringan ke mobil yang sejak tadi sudah stand by dengan mesin menyala. Nampaknya Hartono paham aku sedang bicara serius dengan Joyce, makanya dia sabar menunggu. "So lo
Setelah permintaan singkat yang menyerupai perintah itu, kedua bocah mulai mengikutiku masuk ke dalam rumah dengan langkah terseok, mungkin lantaran lelah dan sedih. "Jie, Aunty mau bawa kita kemana, coba?""Mana kutahu.""Harusnya Jiejie tahu, kan yang paling besar.""Nonsense. Apa hubungannya coba?"" ... "Seraya berjalan kudengar kedua bocah itu mulai berdebat lagi, perdebatan yang dipicu hal sepele seperti biasa. Aku cuma diam sambil mendengarkan. Kalau perdebatan mereka masih dalam batas wajar, biasanya kubiarkan saja. Anak-anak perlu belajar untuk mengatasi konflik mereka sendiri. Lagipula kelak bila sudah dewasa, pertengkaran kecil ini akan jadi salah satu kenangan manis yang mengundang tawa. "Baik anak-anak, sekarang waktunya untuk.... Kejutannn!" Seruku dramatis sambil menunjuk dinding di sisi kananku. Kedua bocah berhenti dari perdebatan mereka dan menatap dinding yang tadinya k
Mampus! Aku makin galau sekarang. Kadang-kadang aku heran dengan kemampuan cenayang Hartono. Dia selalu bisa menebak apa yang kupikirkan dan apa yang hendak kulakukan. Kemampuannya ini jadi bikin firasat jelek timbul dalam pikirannku. Jangan-jangan Hartono sudah meretas semua alat komunikasiku. Dan itu sangat menakutkan! "Aarrggghh!" Seruku frustasi. Disebabkan rasa kesal dan lelah, kumatikan ponsel lalu kulempar sembarangan di atas ranjang. Sesudahnnya kubaringkan tubuh begitu say tanpa repot-repot mengganti pakaian atau ritual perawatan wajah yang kerap kulakukan. Kucoba memejamkan mata namun kantuk tak kunjung datang. Otakku masih terpikir dengan pesan Sally tadi. Rasa-rasanya aku sudah jadi anak durhaka. "Persetan." Gumamku lagi. Besok aku bisa kesana setelah mengantar anak-anak. Semoga saja ibuku tak sedang bersandiwara. Kalau tidak, siap-siaplah uang bulanannya kupotong. Untuk sekarang, i
Kutatap wajah Sally lamat-lamat sebelum berucap tenang. "Tak bisa. Mamakku mesti cepat diobati. Makin cepat siap masalah ini makin bagus, biar tahu berapa banyak lagi uang yang mesti kucari untuk berobat mamak."Shania yang tadinya sempat marah, sekarang jadi salah tingkah. "Ma... maaf Kak, aku tak tahu itu maksudmu." Ucapnya gugup. Kubiarkan saja. Dari dulu adikku ini memang agak gegabah."Kalau gitu aku pergi dulu biar kalian bebas bicara." Shania berucap lagi sambil mengemasi bawaanya yang berupa plastik kresek berisi nasi bungkus dan air mineral. Sepertinya untuk bapak kami. "Baik." Sahutku singkat lalu menoleh pada Sally. "Jadi gimana?" Kataku mendesak. "Nggak bisa kita di tempat lain bicara? Udah mau gila aku karena tak bisa merokok.""Sally, kalau tak kau bilang sekarang, bayar sendiri nanti kerugiannya, ya." Ucapku kesalDemi mendengar namanya disebut tanpa embel-embel Kak -- yang mana belum pernah kulakukan s
"Okay, akhirnya kita di sini." Kataku pada diri sendiri. Dengan sigap aku turun dari mobil dan mengenakan masker medis yang selalu tersedia di tas ku. "Ada keperluan apa, Bu?" Seorang sipir dengan seragam biru yang khas, menyapaku ramah. Tak banyak bicara kujabat tangan sipir muda itu sambil memperkenalkan diri. "Kenalkan Pak, nama saya Shanty. Urusan kemari cuma mau bertemu teman lama, Roy namanya."Mulanya laki-laki bertubuh tegap itu agak kaget, namun begitu sadar tanganku berisi sesuatu, dia pun tersenyum maklum. Bahkan senyumnya kini makin lebar hingga menyerupai seringai. "Tunggu sebentar ya Bu. Ini lagi waktunya makan siang." Ucapnya lalu buru-buru mengarahkanku ke ruang tunggu. "Pasti Pak Roy senang dapat kunjungan, selama ini tak ada yang mengunjungi dia." Petugas muda itu kembali menambahkan sebelum buru-buru pergi. Mendengar situasi mantan suamiku yang memprihatinkan, timbul rasa miris sekaligus getir.Du