Share

Hasrat Cinta Abang Tiri
Hasrat Cinta Abang Tiri
Author: kamiya san

Bab 01. Penyelamat Palsu

Lelaki mencurigakan itu tidak merespon tanya Jeta. Tetap sibuk dengan hidangan lezat di mangkuk stainless yang dipegang. Dia tidak menggunakan sendok.

Namun, menggunakan sumpit untuk menjepit ulat sagu dengan sangat lihai. Bahkan hanya tersisa beberapa ekor di mangkuk yang dalam hitungan detik telah berpindah aman ke dalam mulut.

"Siapa kamu ...?" Jeta bertanya kembali dengan lemah.

Lelaki itu menoleh, menatap sambil mengelap mulut dengan telapak tangan. Pandangan mereka bertemu, dan baru kali ini Jeta benar-benar menatapnya. Seluruh penutup kepala dan wajah telah ditanggal.

Di antara rasa lemah raga, mengakui jika wajah itu sangat tampan dengan dagu yang berjanggut tipis. Berwajah cerah, bersih dan terawat. Rambutnya lurus, tebal dan rapi. Seperti tidak serasi jika profesi yang dia geluti adalah seorang anggota tim penyelamat.

"Aku hanya mengingatkan padamu. Bersikaplah yang baik dan manis selama dalam perjalanan turun. Tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, niatku adalah membawamu turun dengan selamat," ucap lelaki itu.

Jeta menangkap suara yang stereo, terdengar empuk dan berat. Tatapan matanya tajam berkilat, tidak mengharap ada sanggah dan debat. Hidung itu juga mancung dan panjang, serasi dengan alisnya yang lebat.

"Apakah benar kamu anggota tim SAR dari Indonesia?" tanya Jeta hati-hati. Wajah tampan itu tetap saja tanpa reaksi, datar.

"Cepat makan bagianmu. Aku tidak sudi menghabiskan sendiri jika akhirnya kamu akan mati di sini. Kamu tidak merasa jika kabut sudah turun?" ucap lelaki itu menegaskan.

Jeta serta merta mengangguk begitu saja membenarkan. Sangat paham jika gunung telah berselimut kabut, hawa gunung akan lebih dingin membekukan. Juga tidak terlihat jalan dan apa saja pemandangan, akan susah untuk bergeser ke mana pun.

Bahkan meski hujan sudah berhenti, rasanya tidak mungkin bergeser pergi. Apa lagi gunung yang sedang mereka pijak adalah Kinabalu ….

"Tetapi aku justru merasa akan mati melihat itu …," ucap Jeta dengan suara yang tersendat dan gemetar. Ucapannya bukan menolak, hanya terdengar ragu. Merasa daya tahan kian lemah, energi kian pergi.

"Setidaknya, matimu tidak terlalu singkat dan aku terpaksa meninggalkanmu. Cobalah kunyah dengan cepat dan tahan nafasmu hingga tertelan." Pria itu bicara tanpa beban. Jeta merasa ini menyakitkan tetapi juga membenarkan ucapannya.

Lelaki itu mengeluarkan botol mineral kecil dari ransel.

"Lakukan cepat sebelum kamu pingsan kelaparan." Sambil menyodor botol mineral pada Jeta.

Jeta mengambil dengan ragu, meneguk sedikit. Kemudian melakukan apa yang dikatakan lelaki itu. Entah, Jeta menuruti seperti sedang diperdaya hipnotis. Meski merasa jijik dan sama sekali tidak selera, mulut membuka begitu saja. Napas Jeta benar-benar terhenti demi memasukkan pangan yang baginya seperti belatung besar.

Jeta menyudahi, masih banyak ulat dalam mangkuk. Mungkin hanya tiga saja yang sanggup ditelan. Badannya kian menggigil dan lemah.

"Aku sungguh mual. Ingin muntah!" Jeta berseru lirih dan panik. Tidak sanggup lagi menahan, pura-pura doyan itu sangat berat!

"Tahan!" Lelaki itu berseru sambil membuka kembali tas carrier. Mengeluarkan sebutir pil dari salah satu kantung. Diberikan buru-buru pada Jeta.

"Telan ini segera!" serunya.

Jeta segera menerima dan menyambar botol. Ditelan bersama sedikit air dengan rasa penuh harap. Dirinya bukanlah pendaki manja dan buta survive sebelum ini. Namun, jika dihadapkan dengan segala pangan serupa belatung, big no! Siksa!

"Habiskan milikmu jika perutmu sudah tanpa masalah," tegur lelaki ltu saat mendapati si gadis termenung.

Gadis itu merasa bingung. Begitu cepat pil bekerja. Rasa mual, pening dan jijik hilang seketika. Yang ada rasa lapar gemetar dengan pandangan pada isi mangkuk. Ingin saja memasukkan semua belatung ke dalam mulut andai tidak merasa segan dan malu. Teguran tiba-tiba dari lelaki itu membuatnya bersemangat.

"Heeiiik …."

Jeta kelepasan sendawa panjang saat menutup botol minum setelah belatung-belatung pedas dalam mangkuk berpindah ke dalam perut tanpa sisa. Ditutup mulutnya seketika dengan telapak tangan. Merasa sungguh gengsi.

Namun, lelaki itu abai dan seperti tidak mendengar suara seru apa pun. Asyik menunduk pada satu buku kecil dan pensil di pegangan. Itu membuat Jeta merasa lega, berkurang sedikit perasaan malunya.

"Jika mengantuk, tidurlah. Hujan dan angin masih lama berhenti." Lelaki itu berbicara tiba-tiba. Jeta yang mulai pening sebab kenyang dan kepala terasa sangat berat pun terkejut. Lelaki itu berbicara tanpa memandangnya.

"Terima kasih," tanpa ragu Jeta merebah dengan menekuk kaki menyiku. Coba tidak berburuk sangka. Menganggap lelaki itu tim penyelamat meski merasa curiga dengan perasaan tidak enak.

Namun, dalam keadaan genting begini, bukan waktu untuk curiga dan mengusut. Yakin jika lelaki itu tidak akan berbuat merugikan disaat alam sedang tidak ramah dan mengancam.

Alas tenda dump terasa nyaman dan empuk. Rupanya serupa kasur angin pompa serba guna. Jeta mengakui jika dump ini sangat canggih dan pastinya sungguh mahal. Angin begitu kencang dan menghantam keras banyak kali, tetapi dump ini terus tegak sombong tanpa doyong.

Diliriknya pria yang masih terus mencoreti buku dengan pensil. Entah sepenting apa tulisan yang sedang digoresnya. Alam yang sedang mencekam serasa bukanlah ancaman baginya.

"Sebenarnya kamu ini siapa? Kamu membawaku dengan acak. Aku juga tanpa memiliki dokumen identitas. Semua hilang! Darimana tahu nama panjangku?"

Jeta kembali menuntut ingin tahu setelah tubuhnya terasa hangat dan tenang kembali. Mengakui jika pil kecil tadi mampu berkolaborasi apik dengan para belatung itu dalam lambung.

Kini merasa sungguh nyaman tanpa mual dan pusing meski gelungan rambut di kepala masih basah. Kerudung instan ringan di kepalanya telah tersambar oleh angin gunung yang ugal-ugalan berhembus saat turun.

"Setelah tidur, akan kubilang padamu Sandra Jelita." Lelaki itu tiba-tiba menyahut dingin dengan tatapan tajam menghunjam. Sengaja menyebut lagi nama lengkap Jeta.

"Jadi, kamu adalah tim penyelamat palsu?" Sambar Jeta mencecar. Kecurigaannya kian menebal.

"Apa aku kurang terampil membawamu? Jadi kamu bilang aku anggota penyelamat palsu?" Lelaki itu menatap kian tajam. Namun, paras garangnya terlihat kian tampan.

"Katakan saja sekarang, siapa kamu? Dari tim penyelamat negara mana?" Jeta benar-benar ingin tahu. Rasa raga yang sudah nyaman, justru membuat sedikit kembali kesal. Lelaki itu demikian fasih dengan logat bahasa Indonesia, sama dengan dirinya. Orang mana dia?

Jeta mendapat musibah di Kinabalu saat mendaki. Demikian cepat diselamatkan oleh lelaki ini. Seharusnya regu penyelamat yang siaga adalah tim dari Kinabalu di Bumi Malaysia. Tetapi lelaki yang membawanya dan mengaku tim penyelamat ini seperti orang Indonesia.

"Tidurlah. Kamu perlu tenaga besar untuk lanjut turun gunung. Atau kamu ingin pil tidur?" tanya lelaki itu dingin.

Itu adalah ancaman, Jeta tidak lagi menawar. Kebribadian lelaki itu sama sekali bukan negosiasi yang tidak suka bantahan dan rayuan. Memilih menahan penasaran daripada tidak akan ada penjelasan sama sekali untuknya.

Jeta perlahan pun memejam mata seperti yang diarahkan. Lagipula kedua mata sudah sangat berat akibat rasa lelah dengan isi perut yang penuh.

Merasa penuh syukur terlepas dari ancaman kematian. Yang belasan menit lalu tubuhnya serasa lemah, kaku dan beku, alias hampir hipotermia, kini terasa hangat dan nyaman.

Jeta ingin segera tidur dan terbangun untuk mendengar pengakuan jujur dari lelaki penyelamatnya. Sebagaimana yang sudah dia janjikan.

🙏🍎🙏

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Dina0505
mudah2an jeta ga knp2
goodnovel comment avatar
nur ofie
Makan, saja, Jeta!
goodnovel comment avatar
MyMelody
Jeta yang malang. semoga dia ga diapa2in sama pria dingin sedingin kutub utara itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status