Jika itu wanita lain, Lucian akan menariknya, mencium seluruh tubuhnya yang indah. Namun, ini keponakannya. Paman macam apa yang akan menodai tubuh keponakannya sendiri? Dia harus tetap tenang. Lucian menatap keponakannya dengan ekspresi datar untuk menyembunyikan hasrat yang bergejolak. "Dia melepaskan kemeja yang dikenakan Leanna dengan tenang."
Leanna tiba-tiba saja memeluk Lucian yang membuat pria itu terkejut. "Ini memalukan." ucap Leanna.Lucian melepaskan pelukan Leanna dengan paksa. "Sekarang kau merasa malu setelah memintaku melepaskan pakaianmu? Leanna, kau sudah tahu bahwa kau adalah wanita sekarang, kan? Jangan lagi memintaku melakukannya.""Tapi, Paman. Aku sungguh kesulitan. Meskipun ini memalukan, tetapi aku hanya bisa bergantung pada Paman. Aku tidak bisa membasuh tubuhku sendirian. Lagipula, Paman juga pernah membasuh tubuhku ketika aku demam. Jadi, aku akan berpikir hal yang sama.""Itu tidak sama, Leanna!" Lucian menekan nada suaranya. Lucian memandang lurus ke arah Leanna. "Kau tahu, aku mungkin bisa membuatmu lebih kesakitan jika kita meneruskan ini.""Apa maksud Paman?" Leanna mengerutkan keningnya dengan bingung. "Apa Paman akan memukuliku?""Ya, aku bisa saja melakukan itu. Apa kau mau?" Lucian mengulurkan tangannya. Leanna menggunakan tangan untuk menutupi wajahnya.Lucian mengusap rambutnya. "Kau sudah mengerti, sekarang? Aku akan keluar."Leanna membuka matanya. Dia hanya menatap punggung yang semakin menjauh.***"Tuan, apa Anda yakin akan pergi? Saya berjanji akan mendisiplinkan para pelayan,' ucap Kepala Pelayan saat melihat Lucian dan Leanna menarik koper. "Jika Tuan tinggal sendiri, siapa yang akan menyiapkan makanan dan lainnya."Lucian menatap pelayan dengan tegas. "Aku sudah membuat keputusan. Sebagai kepala pelayan, apa pantas bagimu mempertanyakan keputusanku?" Lucian menatap Leanna yang berada di belakangnya. "Kau juga melihat Leanna diperlakukan buruk, tetapi apa kau bertindak cepat saat itu? Leanna sudah cukup menderita. "Kapala Pelayan menunjukkan penyesalan. "Maafkan saya, Tuan.""Minggir, jangan menghalangi jalan kami." Lucian menatap tajam ke arah kepala pelayan. Pria itu dengan cepat menyingkir.Lucian menarik tubuh Leanna untuk mendekat padanya. Dia melewati pelayan itu begitu saja. Leanna menoleh ke arah pelayan itu yang masih menatap mereka berdua seolah sedang mengawasi.Saat mereka pergi, kepala pelayan mengambil ponselnya. "Tuan, ada yang harus saya laporkan pada Anda. Ini tentang Tuan Muda dan gadis yang dia bawa."***Leanna memandang ke arah Lucian. Mulutnya terbuka, tetapi ragu untuk mengatakannya."Ada apa?" Lucian menoleh ke arahnya sekilas. "Apa kau ingin berhenti di suatu tempat? Kau belum sarapan, kan?"Leanna menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak terlalu peduli dengan sarapan. Paman, tidakkah kau berpikir jika Kepala Pelayan itu mencurigakan? Aku tahu aku telah bertindak paranoid, tetapi aku merasa dia punya niat yang buruk.""Kau tidak perlu memikirkannya. Kita akan mencari restoran. Kau tidak boleh melewatkan makan" ucap Lucian dengan khawatir."Tapi, Paman bisa terlambat. ""Aku tidak--" Suara ponsel berdering dengan keras."Paman, aku akan membantumu mengambilkan ponsel Apa di saku celanamu?" Leanna mencondongkan tubuhnya. Tangannya terulur ke celana Lucian. Menyentuh kakinya yang kuat.Tangan Lucian dengan cepat menahannya. "Jangan lakukan itu!"Leanna menarik tangannya secara terpaksa. "Maaf, aku hanya ingin membantu Paman. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu tidak nyaman."Lucian menghela nafas. "Tidak apa-apa, Leanna. Kau tidak bisa melakukan hal seperti ini lagi. Ingatlah, ada batasan saat bersentuhan dengan seorang pria.""Tetapi, Paman adalah Pamanku. Apa kita juga masih memiliki batasan?"Lucian menepikan mobilnya. Dia menatap Leanna dengan serius. "Karena kita adalah paman dan keponakan, itulah kenapa kau tidak boleh sembarangan menyentuh. Kau harus mengingat itu."Leanna mengangguk, meskipun terlihat agak kecewa. "Aku mengerti, Paman. Jika aku bukan keponakanmu, apa aku boleh melewati batas?"Lucian tidak mengira Leanna akan menanyakan ini. Jika Leanna bukan keponakannya, sudah pasti Lucian akan...."Jika kau bukan keponakanku, aku mungkin tidak akan mempedulikan ataupun membiarkanmu tinggal bersamaku. Apa kau menginginkan hal itu?"Leanna menggeleng. "Tidak, Paman. Aku tidak ingin berpisah denganmu, apalagi jika kau mengabaikan. Aku tidak akan sanggup.""Aku juga tidak sanggup membayangkan jika kau bukan keponakanku. Jika tidak, hidupku mungkin akan berbeda dari sekarang."Ponsel Lucian kembali bergetar. Dia mengambilnya. "Hallo, ada apa?""Apa kau tidak bisa menggantikanku?" Lucian menoleh ke arah Leanna dengan ekspresi bersalah. "Aku tahu. Aku akan segera kembali ke kantor." Lucian mengakhiri panggilan.Leanna memandang Lucian dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan kekecewaan. "Paman, apakah terjadi sesuatu?"Lucian menggeleng, memberikan senyuman lembut. "Hanya ada sedikit masalah di perusahaan. Leanna, aku tidak bisa menemanimu makan. Tetapi aku akan memesankan makanan untukmu agar diantar ke rumah.""Paman tidak perlu khawatir. Sebagai gantinya, bisakah Paman menemaniku makan siang?"Lucian mengangguk. "Tentu saja. Aku akan menjemputmu setelah pekerjaan selesai."***Lucian langsung meninggalkannya ketika mereka sampai di apartemen baru. Leanna memegang ponsel yang diberikan oleh Lucian sebagai hiburan. Namun, gadis muda itu lebih tertarik dengan hal lain daripada menghabiskan waktu bermain dengan ponselnya.Leanna masuk ke dalam sebuah ruangannya. Di sana, ada koper milik Lucian yang masih belum di bongkar. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar lalu membuka almari, ada beberapa potong pakaian milik Lucian yang digantung. Leanna mengambil salah satu dan memeluknya. "Paman Lucian." Dia merasa aroma yang familiar seperti biasanya. Bagaimana pewangi pakaian miliki Lucian bisa membuatnya senyaman ini?Leanna tahu tindakannya yang seperti ini terlihat seperti gadis mesum. Namun, dia selalu merindukan sentuhan dari Pamannya dan keberadaannya yang membuatnya tenang.Leanna menuju ke tempat tidur. Sesuatu yang mencolok mencuri perhatian Leanna. "Apa ini? Sebuah anting? Kenapa bisa disini?"Leanna mengerutkan keningnya dan sampai pada sebuah kesimpulan. Rasa sakit dan marah menyelimuti hatinya. Apalagi perkataan Lucian di dalam mobil masih terngiang di telinganya. Senyum pahit terukir di bibirnya. "Batas antara Paman dan Keponakan. Persetan dengan itu!"Leanna merembahkan tubuhnya di tempat tidur itu. Dia memeluk kemeja yang dia pegang dan menciumnya. "Paman," panggil Leanna dengan nada sedih.***Lucian menutup rapat lalu kembali ke ruangannya. "Apa aku masih ada jadwal lagi setelah ini?""Ya, setelah makan siang masih ada jadwal inspeksi ke departemen store." Sekertaris itu berjalan mendekat ke arah Lucian. Dia sengaja berdiri di samping dan menyentuh lengannya. "CEO Gu, apa anda ingin sebuah hiburan selama jeda?"Sekertaris itu duduk di pangkuannya tanpa Lucian izinkan. Lucian menunjukkan ekspresi dingin. "Siapa yang memintamu untuk duduk di pangkuanku?"Lucian mendorong tubuh wanita itu dan membuatnya terjatuh ke lantai.Lucian berdiri, aura arogannya semakin kuat. "Jika kau ingin melayaniku, duduklah di bawah dan kau harus memenuhi 1 syarat dariku tanpa boleh protes! Kau mengerti?" Tatapan mata Lucian begitu tajam tanpa ada belas kasihan sedikipun."Jangan beritahu Pamanku, aku ingin memberikan kejutan padanya," ucap Leanna pada resepsionis yang telah memberitahunya lokasi ruangan Lucian. "Tapi, Nona, bisakah Anda menunggu sebentar? Tuan sedang sibuk," ucap Resepsionis itu dengan gugup. "Tidak apa-apa. Aku tidak akan menganggu." "Tapi--"Leanna menyadari keanehan. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi dan Paman coba sembunyikan dariku?" "Tidak, Nona. Hanya saja--" "Kalau begitu tidak masalah jika aku langsung datang, kan?" Leanna langsung melangkah menuju ke dalam Lift. Dia memandang pintu lift dengan resah. Feelingnya mengatakan ada sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan olehnya. Ketika Leanna tiba di depan ruangan, seorang wanita keluar, bibir di lipstiknya berantakan dimana-mana begitu juga dengan rambutnya. Tangannya mengepal dengan erat. Dia tidak ingin memikirkan hal yang akan menyakiti hatinya. Wanita itu tersenyum pada Leanna, tetapi tatapan matanya menunjukkan perasan jengkel. "Apa kau keponakan CEO Gu? Kau seh
Lucian menahan lengan Leanna. "Apa yang kau bicarakan? Kau bukan penghalang bagiku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Leanna, aku tahu kau ingin bersamaku, tetapi kau juga harus memiliki sesuatu untuk menunjang masa depanmu." "Bukankah ada Paman yang dapat menunjang masa depanku? Atau suatu saat paman akan meninggalkanku sendirian?"Lucian menghela nafas. "Kita tidak tahu bagaimana takdir akan berjalan, kan? Saat ini mungkin aku masih bisa melindungimu, tetapi aku memiliki usia yang lebih tua darimu. Suatu saat aku akan pergi dan--"Leanna langsung memeluk Lucian. "Tolong jangan. Aku tidak akan sanggup tanpa Paman. Aku tidak ingin Paman pergi meninggalkanku. Aku akan menyusul Paman kemanapun itu."Lucian memeluk Leanna. "Kenapa kau begitu keras kepala. Baiklah, aku bisa memberimu pekerjaan yang kau inginkan. Datanglah ketika kau menginginkannya. Kau akan membantuku mengatur dokumen. Jangan sedih lagi, aki juga tidak akan memaksamu jika kau tidak ingin kuliah lagi."Leanna melepask
"Aku tidak ingat memilih pakaian seperti ini."Lucian memperhatikan penampilan Leanna. Dress tanpa lengan warna gelap dengan menampilkan leher yang rendah yang terlalu terbuka dan menonjolkan area yang membuat Lucian menelan ludah. "Pakaian ini, kau hanya boleh gunakan saat tidur."Leanna mengangguk dengan polos. "Ya, paman." "Ganti pakaianmu. Aku akan menunggu di luar. " Baru beberapa langkah Lucian keluar, Leanna kembali keluar masih dengan pakaian tadi. "Kenapa kau belum menggantinya?" "Paman, aku tidak bisa melepaskan resleting. Sepertinya tersangkut. Bisakah Paman membantuku?" ucap Leanna dengan semu merah. Lucian dengan ragu masuk ke ruang ganti. "Berbaliklah!" Leanna berbalik dan menatap cermin di depannya. Lucian agar tetap tenang, sementara tangan-tangannya bergerak dengan cepat menarik resleting itu. Dia segera mengalihkan setelah membantunya dan berjalan keluar dari ruang ganti, mencoba untuk menyembunyikan keinginan yang tidak seharusnya. "Leanna, aku pergi sebentar.
Lucian segera membuka berita online, dan matanya memperbesar ketika dia melihat headline besar yang dengan judul yang membuatnya sulit percaya."Kekuatan berita di internet benar-benar luar biasa. Bagaimana mereka bisa merilis dalam Waktu beberapa jam," ucap Lucian dengan suara tegang."Sepertinya apa yang di foto itu memang benar adanya ya. Kau juga pindah dan tinggal bersamanya. Ingatlah, walau tidak banyak orang yang mengetahuinya, tetapi dia tetep keponakanmu, jangan buat dia seperti wanita yang biasa kau kencani." Tuan Gu kembali berbicara di telepon. "Papa, tidak semua yang tertulis itu benar. Aku memang berada di mobil bersama dengan Leanna, tetapi kami tidak melakukan hubungan seperti yang diberitakan. Aku menyayangi Leanna sebagai keponakan, bagaimana bisa aku menghancurkan masa depan keponakanku?" Lucian mengelak. "Jika begitu maka pergilah kencan buta dan mulailah melakukan hubungan yang serius. Lucian, kau sudah tidak muda lagi."Lucian merasa tertekan. "Papa, aku bisa m
Leanna merasa cemburu dan kesal. Wanita itu tersenyum arogan. "Hallo, aku Sarah adalah teman masa kecil Lucian. Aku tidak sengaja bertemu dengannya di swalayan, dan dia menawariku makan malam, tapi Lucian, sepertinya pacar kecilmu tidak menyukai keberadaanku." Wanita itu menunjukkan ekspresi kecewa. Lucian menanggapinya. "Jangan salah paham, Keponakan hanya tidak menyukai kedatangan orang lain selain keluarga. " "Keponakan?Aku pikir dia adalah pacarmu. Sebenarnya aku sedikit tidak percaya saat berpikir kau berpacaran dengan seorang gadis ingusan yang tidak berpengalaman." "Cukup! Aku mengundangmu datang bukan untuk memberi komentar buruk." Lucian menegur Sarah. Dia beralih pada Leanna yang menatapnya dengan mata merah. "Leanna, maafkan aku karena mengundang seorang teman tanpa bertanya padamu, tapi kau tidak keberatan jika menyediakan tambahan 1 porsi lagi, kan?" Leanna menekuk tangannya. "Aku tidak mau memasak untuk orang lain selain Paman. Wanita itu biarkan dia tidak maka
"Sarah, jangan membahas hal yang tidak masuk akal. Tidak mungkin bagi kita sampai ke tahap seperti itu." Sarah masih tidak menyerah. "Bagaimana mungkin tidak bisa? Keluarga kita sudah saling mengenal dan jika kita bersama, bisnis juga akan semakin berkembang. Lucian, tidakkah ini menguntungkan bagi kita?" Lucian menghela nafas. "Sarah, kau tahu seperti apa diriku, kan? Apa kau pikir aku adalah orang yang rela mengorbankan diri demi keuntungan keluarga?" "Tapi, bagi anak yang terlahir di keluarga terpandang seperti kita sudahi pasti menikah dengan mempertimbangkan keuntungan. Lucian, daripada kita menikah dengan orang asing, kenapa kita tidak bersama saja? Aku pasti akan menjadi istri yang baik." Sarah menatap Lucian dengan penuh harap. "Lupakan! Sarah, jangan buat hubungan kita selama bertahun-tahun menjadi hancur. Aku menghargaimu sebagai teman sekaligus patner kerja. Tidak lebih dari itu!" ucap Lucian dengan tegas. "Apa kau begitu mencintai keponakanmu itu sehingga kau ti
Lucian berdiri di ambang pintu dengan tatapan terkejut saat melihat Leanna berbaring di atas tempat tidurnya. Dia menyingkirkan rasa kagetnya dan berjalan mendekat. "Leanna, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan heran. Leanna masih belum terbangun walau Lucian mengguncangkan tubuhnya sedikit. Namun, hanya ada sedikit pergerakan dari jari Leanna. Matanya masih terpejam. Lucian menghela nafas. Dia mulai menggendong tubuh ramping itu. Mata Leanna mulai terbuka. "Paman, kenapa kau menggendongku?" Leanna berteriak dengan panik. Lucian menurunkan tubuh Leanna dengan hati-hati. "Aku hanya ingin memindahkanmu ke kamarmu." "Bukankah aku sudah berada di kamarku? Pama yang telah menerobos masuk!" Leanna menujukkan protesnya. Lucian mengedarkan pandangan. Dia memegangi kepalanya yang sedikit pusing. "Ya, sepertinya kau benar. Aku salah masuk kamar. Aku akan kembali, maaf menganggu tidurmu." Leanna menahan tangan Lucian. "Tunggu, Paman. Biarkan aku membuatkanmu teh madu
Wanita itu tampak terkejut dan tergagap-gagap dalam menjawab pertanyaan Leanna. "S-saya tidak tahu apa yang kau maksud, Nona. Saya hanya melakukan pekerjaan saya di sini." Leanna tetap memandangnya dengan tajam. "Jangan berpura-pura. Jika kau tidak melakukan hal lain maka kay tidak akan segugup ini. Kau bekerja di sini untuk merayu Pamanku, kan? mengaku saja! Tidak ada gunanya berbohong. Aku akan meminta Paman memecatmu." "Anda tidak akan bisa melakukannya karena saya tidak melakukan apa yang telah Anda tuduhkan. Saya tidak seberani itu melakukannya pada Tuan." Wanita itu memberikan pembelaan diri. Kali ini ekspresi wajahnya begitu serius. "Meskipun saya memang sering ke kamar Tuan Muda, tetapi itu hanya untuk mengganti sprei dan selimut. Saya bersumpah!" Leanna terdiam sejenak. "Lalu bagaimana dengan antingmu itu? Apa kau sungguh tidak pernah tidur di kasur pamanku?" Wanita itu menggigit bibirnya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Saya tidak tahu ap