“Apa maksudmu? Siapa mereka yang kau maksud?” tanya Christian memastikan. Dia tak ingin berspekulasi.
Namun, Chelsea hanya diam dengan tatapan kosong menerawang pada Christian, yang menunggu jawaban. “Mairi adalah putriku. Dia bukan anakmu. Itulah mengapa aku tidak yakin kau bersedia merawatnya karena dia bukan anakmu," ucap Chelsea sesaat kemudian.
“Maaf, Nona Wright. Waktu Anda habis. Mari ikut kami,” sela salah seorang dari dua petugas polisi.
Chelsea langsung berdiri. Tanpa mengatakan apa pun, dia berlalu dari hadapan Christian yang diam terpaku menatap kepergiannya. Ada perasaan tak karuan yang mulai mengusik relung hati pengusaha tampan itu. Sikap aneh serta pengakuan mengejutkan, dari wanita yang sudah dinyatakan sebagai te
Apa yang Christian dengar tadi bukanlah berita baik. Itu menandakan bahwa Chelsea harus mendapat penanganan serius. Tak ada yang bisa dia lakukan, selain menyetujui keputusan pihak kepolisian. Termasuk menangguhkan seluruh proses hukum yang tengah berjalan. Dari kantor polisi, Christian melanjutkan perjalanan ke kantor. Dia berada di sana hingga lewat tengah hari. Setelah itu, pria tampan yang selalu berpenampilan rapi tersebut memutuskan pulang. Namun, dia mendatangi toko perlengkapan bayi terlebih dulu.Christian tidak terlalu memahami peralatan apa saja yang dibutuhkan bayi. Dia mengambil apa pun yang menurutnya bagus untuk dikenakan anak perempuan, meskipun barang-barang yang dibutuhkan Mairi sudah terbilang lengkap. Akan tetapi, semuanya atas pilihan Chelsea.Setelah menghabiskan beberapa poundsterling untuk membeli perlengkapan Mairi, Christian memutuskan langsung pulang. Namun, sebelum masuk ke mobil, di seberang jalan dirinya melihat Laura dan Lewis yang baru keluar dari toko
Beberapa saat berlalu. Laura sudah dipindahkan ke kamar rawat VVIP sesuai permintaan Lewis. Meskipun masih terlihat lelah, tetapi wanita cantik yang kini telah menjadi ibu tersebut tampak sangat bahagia. Laura tak merasa sungkan menyusui sang bayi di hadapan Lewis, yang terus memperhatikannya. “Kenapa?” tanya Laura tak mengerti. Dia heran karena Lewis terus menatap, sambil tersenyum kalem. Lewis menggeleng pelan, lalu berpindah tempat duduk ke tepi ranjang. “Aku sangat bahagia. Kau melahirkan dengan lancar. Bayimu juga sehat. Semua sesuai yang kita harapkan.” Laura mengangguk. “Terima kasih, Lewis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, andai tidak pernah mengenal dirimu. Kau —” Ucapan Laura terjeda karena Lewis tiba-tiba mendekat, kemudian menciumnya lembut. “Semua yang datang dan pergi dalam hidupmu, sudah bagian dari rencana Tuhan. Kita tinggal menjalaninya sesuai alur atau bahkan melawan apa yang sudah digariskan jika bisa. Akan tetapi, aku tidak yakin.” “Lewis ….” Sekali lagi
“Jadi?” Lewis menaikkan sebelah alis, dengan tatapan terus tertuju pada Laura. Entah benar-benar tidak paham atau sekadar menelisik alasan yang diberikan wanita cantik di hadapannya. Dengan tenang, Lewis kembali menyuapi ibunda Harper tersebut.Laura tak menolak. Dia menerima suapan yang diberikan Lewis. Sambil mengunyah, si pemilik mata biru itu kembali bicara. “Begini, Lewis.” Laura mencoba menjelaskan. “Pertama, aku harus menunggu hingga Harper diperbolehkan naik pesawat. Kedua, aku ingin menuntaskan rasa rindu terhadap ayah. Mengirimkan bunga setiap akhir pekan atau saat ada waktu luang. Kau tahu aku tidak melakukannya ketika kandungan makin membesar. Mungkin ini terdengar sedikit egois, tapi ….” Laura terdiam sejenak, setelah menelan makanan yang tadi dikunyah.Tatapan wanita cantik berambut pirang itu
“Laura?” Emma dan Grace menyebut nama Laura secara bersamaan. Kedua wanita itu cukup terkejut, melihat Laura datang ke sana dengan pria lain dan membawa bayi. “Ibu,” sapa Laura, seraya mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Grace. Meskipun selama ini wanita itu selalu menunjukkan sikap berbeda, tetapi Laura tak pernah menaruh rasa benci. Bagaimanapun juga, Grace adalah ibu kandungnya. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Grace, diiringi tatapan sendu. Laura mengangguk samar. Sekilas, dia menoleh pada Emma yang tampak sangat keheranan. Namun, Laura tak mengatakan apa pun, pada wanita yang memiliki kemiripan identik dengannya. Dia tetap fokus pada Grace, yang terlihat kurus. “Apa Ibu baik-baik saja?” tanya Laura kemudian.“Ya,” jawab Grace lugas. “Aku hanya merindukan ayahmu,” ucap wanita itu, seraya mengalihkan perhatian pada Lewis yang menggendong Harper. Laura paham dengan makna dari tatapan sang ibu. Tanpa diminta, dia memperkenalkan pria di sebelahnya. “Ini Lewis Bellingham. Dia calo
“Bu.” Emma melayangkan tatapan protes pada Grace, yang mulai menyantap makanan di piring. “Jangan membahasnya di sini,” ujar saudara kembar Laura tersebut.“Apanya yang salah? Memang begitu, kan?” balas Grace tak acuh. “Jamie datang setelah pemakaman James. Dia mengatakan sendiri padaku, ingin meminang Emma. Aku tahu siapa Samuel Riise Carson, meskipun tidak mengenal putranya secara langsung,” jelas wanita paruh baya tersebut.“Ya, aku juga sudah beberapa kali bertemu dengan Jeremy Carson. Kami pernah menjalin kerja sama bisnis. Menurutku dia pria yang tampan dan kharismatik, meskipun ….” Laura tak melanjutkan kata-katanya, setelah mendengar Lewis berdehem pelan. Ibu satu anak itu tersenyum, seraya menoleh pada pengusaha tampan yang tak lama lagi akan menjadi suaminya.
Setelah menempuh perjalanan udara sekitar tujuh sampai delapan jam, Laura dan Lewis akhirnya tiba di tempat tujuan mereka. Boston. kota terbesar di Massachusetts. Sedan hitam yang menjemput Laura dan Lewis ke bandara, berhenti di pinggir jalan depan rumah yang terletak di salah satu kawasan elite kota itu. Lewis bergegas turun, lalu membukakan pintu untuk calon istrinya. “Terima kasih, Alex,” ucap sang pengusaha, pada sopir yang juga turut keluar dari kendaraan. “Sama-sama, Tuan. Selamat datang kembali di sini,” balas Alex, yang segera membuka bagasi. Dia begitu cekatan mengeluarkan barang-barang milik sang majikan.“Langsung saja bawa masuk,” titah Lewis penuh wibawa. “Baik, Tuan,” sahut Alex. Seakan tak terbebani sama sekali, pria dengan perawakan tegap itu mengangkat dua koper besar menaiki undakan anak tangga menuju pintu masuk. Sementara itu, Laura sibuk mengedarkan pandangan ke sekitar. Keadaan di sana jauh berbeda dengan Inggris. Meski begitu, Laura menyukai suasana tempat
Sesuai yang sudah direncanakan, Lewis menemui kenalannya untuk membahas segala hal yang berkaitan dengan pesta pernikahan. Dia berdiskusi terlebih dulu, sebelum membawa Laura pergi melihat lokasi yang akan dijadikan tempat pesta. Perundingan itu diikuti Laura melalui sambungan video call. Lewis melarangnya ikut pergi, berhubung mengkhawatirkan kondisi kesehatan Harper. Pria itu takut jika sang bayi terlalu kelelahan, akibat perjalanan jauh kemarin. Meskipun hanya melalui sambungan video call, tetapi Laura dapat mengikuti perbincangan dengan baik. Dia menyimak dan sesekali menanggapi serta mengemukakan pendapat. Sekitar satu jam kemudian, pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan yang langsung didapat. Lewis langsung kembali ke rumah. Dia juga ingin beristirahat beberapa saat. Bercengkrama dengan Laura dan Harper, akan membuat suasana hatinya jadi lebih ceria. Namun, niat tersebut sirna, ketika ponselnya berdering. Satu pesan masuk dari nama kontak bernama Dakota Anderson.[Apa kau
“Astaga, Lewis. Kau tidak perlu melakukan itu. Sudahlah,” cegah Laura, yang berdiri di dekat stroller. Dia merasa tak enak dengan apa yang akan calon suaminya lakukan.“Tidak, Sayang. Kau harus masuk dan menemaniku. Kau sudah tahu apa yang menjadi hobiku di sela semua rutinitas pekerjaan. Aku tidak ingin melewatkan hal ini. Namun, aku juga tidak akan membiarkanmu pulang seorang diri,” tegas Lewis. Pria itu bersikukuh pada pendiriannya.“Memangnya kau datang jam berapa kemari? Sampai-sampai kehabisan tiket masuk lagi,” tegur pengusaha tampan itu pada Dakota.Dakota tidak terima terus disalahkan Lewis. Namun, dia tak bisa membantah lebih keras dari yang sudah dilakukannya tadi. “Mereka mengatakan sudah menyediakan tiket tambahan yang akan dijual langsung saat acara. Akan t