Emma terkejut setengah mati mendengar pernyataan Jamie. Dia melotot tajam pada pria tampan berambut cokelat tembaga itu. Emma hendak melayangkan protes, tapi terpaksa harus mengurungkan niat tersebut. Pasalnya, dia melihat Grace tersenyum menanggapi ucapan Jamie.“Aku tahu Anda dan keluarga sedang berduka, Nyonya Pearson. Namun, kurasa tidak ada waktu yang lebih tepat dibanding sekarang. Mungkin ini bisa menjadi sedikit hiburan bagi Anda,” ucap Jamie tenang. Sikap yang sangat bertolak belakang, dengan ekspresi Emma.“Aku tidak pernah mengetahui bahwa Emma memiliki kenalan putra seorang pengusaha ternama. Jujur saja, ini sangat mengejutkan,” ujar Grace. “Seharusnya, kami bisa memberikan penyambutan lebih baik. Namun, kau tahu sendiri kondisi seperti apa kondisi kami sekarang.”
“Apa maksudmu?” Emma kembali dipaksa mencerna ucapan Jamie.“Aku hanya bertanya, ‘bagaimana kau bisa yakin bahwa Henry benar-benar meninggalkan London?’. Apa kau sudah memastikannya?”Emma yang sudah merasa tenang, tiba-tiba kembali disergap rasa gelisah. Sepasang matanya bergerak secara tidak beraturan. Wanita cantik itu terdiam beberapa saat.Entah kebodohan apa yang telah Emma lakukan. Dia sudah memberikan sejumlah uang kepada Henry, agar meninggalkan London. Namun, dirinya tak memastikan dan percaya begitu saja. Pertanyaan yang dilayangkan Jamie tadi, seakan menjadi teguran baginya.“Astaga,” gumam Emma pelan, diiringi embusan napas pendek bernada keluhan. “Apa kau tahu sesuatu?” tany
Selagi Emma sibuk menghadapi Jamie, Laura justru tengah menyendiri di kamar. Wanita cantik berambut pirang itu berdiri di dekat jendela kaca, dengan tatapan menerawang jauh ke luar. Angannya melayang pada masa lampau, ketika dia kerap menghabiskan waktu bersama James. Dibanding Emma, Laura memiliki kenangan lebih banyak dengan sang ayah. Setiap momen yang dilakukan bersama, teramat berkesan bagi wanita dua puluh tiga tahun tersebut. Sesuatu yang tak bisa dilakukan lagi, setelah Laura menikah.“Suatu saat, kau akan menemukan seseorang yang menyayangimu lebih dariku,” ucap James, ketika menghabiskan sore yang indah di awal musim panas. “Apakah ada pria seperti itu?” Laura menatap sang ayah. “Kurasa, kaulah pria terbaik di dunia ini, Ayah.” Laura memeluk erat James dari samping. Dia menyandarkan kepala di pundak sang ayah, yang tertawa mendengar ucapannya. “Kau tahu itu, Laura. Aku memang pria terbaik dan sangat beruntung memiliki putri kembar seperti dirimu dan Emma. Kalian merupakan
Christian dan Laura menoleh secara bersamaan. Mereka terkejut karena Chelsea masuk kemar tanpa permisi.“Kenapa tidak mengetuk pintu terlebih dulu?” tegur Christian, dengan nada serta tatapan tak suka. “Kulihat pintu kamarmu tidak tertutup rapat. Jadi, kupikir tidak ada masalah,” kilah Chelsea. Paras cantiknya masih terlihat pucat.“Tetap saja itu salah. Kau tahu sekarang aku sudah menikah,” tegur Christian lagi, seraya mengalihkan pandangan sekilas pada Laura yang lebih memilih diam. “Seharusnya kau tetap berada di kamar. Dokter mengatakan agar kau banyak istirahat.”Chelsea yang awalnya berdiri dekat pintu, berjalan menghampiri Christian dan Laura. Dilihat dari kondisi fisiknya, wanita itu masih tampak
Setelah Laura keluar dari kamar, Christian mulai merebahkan diri di sebelah Chelsea. “Tidurlah,” ucapnya pelan, seraya memejamkan mata.“Kau tidak ingin memberikan kecupan selamat malam?” tanya Chelsea, yang tidur dengan posisi menyamping sambil menghadap pada Christian.Christian yang sudah terpejam, kembali membuka mata. Dia menoleh, lalu menatap Chelsea beberapa saat. Pria itu bergerak mendekat, kemudian mengecup kening sang mantan kekasih. “Selamat malam,” ucapnya singkat. Tanpa banyak bicara, dia kembali pada posisi tadi. Tidur terlentang dengan selimut sebatas perut.“Tidak biasanya kau tidur memakai T-Shirt seperti ini,” ujar Chelsea, yang ternyata masih terjaga.Christian yang sudah
Chelsea yang tidak bisa tidur, makin kesulitan memejamkan mata. Pikirannya melanglang buana tak tentu arah. Dia ingin turun dari tempat tidur, lalu menghampiri Christian dan Laura yang entah tengah melakukan apa di sofa. Apakah mereka hanya tidur bersama atau …. Wanita itu menggeleng sambil memejamkan mata. Chelsea tak ingin berpikir terlalu jauh.Jam digital di meja sebelah tempat tidur, sudah menunjukkan angka 12.30. Akan tetapi, Chelsea masih terjaga. Padahal, tak terdengar lagi bisik-bisik manja seperti tadi. Christian dan Laura telah terlelap sejak beberapa jam yang lalu.Rasa penasaran teramat besar sehingga membuat Chelsea akhirnya memutuskan bangkit. Dia duduk sambil melayangkan tatapan ke sofa. Walaupun keadaan di kamar itu tidak terlalu terang, tetapi dia dapat melihat Christian dan Laura yang tidur berdua di sofa dalam posisi menya
Christian sudah menyelesaikan santap pagi, bersamaan dengan berakhirnya perbincangan Laura dan Katherine. “Lanjutkan sarapanmu. Aku akan menghubungi Alfred untuk menanyakan kabar Delila,” ucap pria itu, sambil beranjak dari kursi.Laura mengangguk. Dia menatap kepergian sang suami, yang meninggalkannya seorang diri di meja makan. Si pemilik mata biru tersebut melanjutkan makan hingga habis. Setelah itu, barulah beranjak dari sana.Laura berjalan seorang diri menyusuri koridor. Dia sudah mengirim email kepada Scarlett, memberitahukan bahwa dirinya tak akan ke kantor hari ini. Wanita cantik itu belum bisa berkonsentrasi penuh, meskipun di luar terlihat baik-baik saja.Langkah kecil Laura berhenti di depan kamar yang ditempati Chelsea. Tanpa mengetuk terlebih dulu, dia langsung memutar gag
Laura tersenyum simpul mendengar Dr. Moore menyebut Chelsea ‘Nyonya Lynch’. Akan tetapi, dia tak mengatakan apa pun. Laura hanya menyimak interaksi singkat antara sang dokter dengan Christian. Beberapa saat kemudian, Dr. Moore berpamitan setelah memberikan sedikit penjelasan. Dia meninggalkan kamar itu ditemani Katherine yang menunggu di depan pintu. Sepeninggal Dr. Moore, Christian memperhatikan Chelsea yang tertidur dengan wajah pucat selama beberapa saat. “Aku harus ke apotek dulu,” ucapnya, setelah terdiam cukup lama. “Kau akan pergi sendiri?” tanya Laura heran karena biasanya Christian menyuruh pelayan yang menebus obat ke apotek.“Iya.” Christian yang sudah tiba di pintu, langsung menoleh. “Ada barang lain yang harus kubeli sekalian. Jika kau akan kembali ke kamar, panggil dulu Katherine agar dia menemani Chelsea di sini,” pesan pria itu sebelum pergi. Ya, Christian berlalu begitu saja. Dia tampak sangat tergesa-gesa. Jangankan memberi ciuman kepada Laura. Pria itu bahkan ta