Tik tok, detik jam terdengar menggema dalam kepala Damian. Pemuda itu membuka tangannya dan melihat jam berapa ini? Sudah jam 9 malam, dia ketiduran menunggu.
Damian mengeram, merasa marah dan seperti terbakar. Lalu, di teleponnya Steve.
"Ya bos?" Steve menyahuti dari sebrang sana. Saat ini dia sedang mengetik di depan laptop, memeriksa berita acara untuk persidangan mendatang. Kebetulan jadwal sidang Minggu depan dan dia ingin memiliki persiapan maksimal.
"Lu lagi apa?"
"Gue lagi baca untuk kasus Pak Anggara. Sidangnya Minggu depan, kalau tidak ada persiapan bisa gawat."
"Oh," Damian ingat, kasus hak waris dari sebuah keluarga kaya. Sudah masuk persidangan, tinggal tunggu waktu saja.
"Gimana bos? Udah kelar ngeluarin tai macannya?" Tanya Steve meledek.
Damian tertawa hambar. Antara dia dan Steve, mereka selalu menyebut acara klimaks dalam penyatuan antara lelaki dan perempuan sebagai istilah ngeluarin tai macan. Istilah itu sudah digunakan sejak jaman kuliah. Kode yang hanya mereka berdua yang tahu. Seperti halnya kalau Steve memberi kode dengan sebutan tetesan surga kalau mereka mulai meniduri perempuan malam, atau perempuan yang mereka suka.
"Klo lu masih kerja, gue cuma mau mastiin, tempat tari tiang kemarin, kode masuknya masih sama?"
"Eh, eh...gue mendengar kayak bakal ada petulangan nih?"
"Sedikit," jawab Damian.
"Katanya mau semalaman dengan Anggela? Udah bosen, udah lu usir dia?" Steve makin meracau, menduga-duga, membuat Damian disisi seberang memerah mukanya.
"Pecun itu nggak datang!" Geram Damian, cara memanggil Damian mulai kasar akibat amarah yang menggelegak di ujung kepala.
"Lho? Waduh, benar-benar jual mahal ya dia."
"Makanya mau gue samperin tuh cewek. Kata Ratna yang kemarin bilang dia ada pentas kan hari ini?"
"Iya, kayaknya ya."
"Kodenya masih Tifani kan?"
"Bentar, bentar..kalau elu mau kesana, gue ikut." Steve langsung menyela.
"Lu ada kerjaan kan? Biar gue aja."
"enggak, ini cuma mengulang aja baca kasusnya. Gue temenin elu, mau gue jemput?"
Damian menghela napas, ada aturan jelas dalam ritme pekerjaannya dan dia berlakukan sama pada semua yang bekerja di advokasi Rajasa, dahulukan pekerjaan.
"Enggak usah Steve, beresin dulu pekerjaan lu." Ucap Damian kemudian, lalu dia menutup teleponnya.
Damian mengambil kunci mobil dan jas kerjanya. Dia segera turun ke loby hotel menuju ke parkiran.
Damian menyalakan starter mobilnya langsung tancap gas menuju tempat yang dikunjunginya kemarin. Damian memiliki daya ingat yang bagus, berkat ingatannya yang bagus, Damian bisa mencapai posisinya sekarang sebagai pengacara sukses karena otaknya yang cerdas dan daya ingatnya yang baik.
Setelah berhasil masuk ke dalam gedung. Damian masuk ke dalam lorong menuju ruangan dimana para wanita akan melenggok tanpa busana.
Pintu terbuka, suasana musik syahdu terdengar, beberapa orang duduk di bangku, tengah menikmati minuman yang tersaji. Damian berjalan, matanya mengedar sekeliling dan mendapati orang orang setengah teler sedang duduk bersiap.
Suara denting piano mengalun merdu, kali ini dia membawakan lagu chopin yang diaransemen modern. Terdengar aneh, tapi enak ditelinga.
Damian melihat kursi di paling depan, kosong menunggu untuk di isi. Dengan langkah pasti lelaki 30 tahun itu berjalan ke arah kursi, duduk diam dengan perasaan mirip dengan luapan tornado yang ditekan di tengah lubang hitam.
Lalu, satu dentingan mengundang penari tiang berjalan di depan, melenggak-lenggok dengan gaya menggoda. Perempuan cantik, berjalan di sisi panggung, menggoyangkan pinggulnya, lalu dia berjalan menuju tiang miliknya. Meliuk liuk sambil berpegangan di tiang, dan menggerakkannya kakinya ke atas dan bertahan di tiang.
Ketika perempuan pertama meliuk sambil melepaskan satu persatu pakaiannya yang sudah minim dari arah panggung kiri keluar lagi perempuan kedua, berambut merah menyala.
Damian menahan napas, guncangan atas rasa marah dan gemas seolah berbelit bersamaan.
Gadis itu mengenakan pakaian minim, bila dia melucutinya, tidak sampai satu menit semua itu akan terlepas dan perempuan itu akan mempertontonkan tubuhnya yang semampai, putih dan mencolok.
Tubuh yang sebenarnya amat dirindukan dan diinginkan Damian.
Anggela disini? Berarti dia sedang mempermainkan Damian.
Buku buku jari sang pengacara itu mengepal, ketat dan keras, menunjukkan emosinya yang membuncah sampai serasa mau meledak.
Lalu, mata Anggela dan Damian bertemu. Anggela mengulum senyum lalu membuka bibirnya. Mata gadis itu mengedip pada Damian.
Setelah itu Anggela menanggalkan pakaiannya yang minim, dan dalam kondisi tanpa busana dia meliuk di sisi tiang, menggosok tubuhnya lalu memutarnya sambil menaikkan pinggul.
Damian berdiri, lalu menghilang dalam kegelapan.
**
Anggela melepaskan anting yang dipakainya dan meletakkan di atas meja hias. Perempuan penari lain juga tampak sibuk berganti pakaian.
Ratna datang dari balik pintu dan masuk. Menepuk tangannya.
"Good job girl, ah, Tiffany ada tamu yang memintamu secara privat." Ucap Ratna sambil mendekat ke arah penari pertama tadi. Seorang gadis muda, dengan mata yang jernih dan bibir yang tipis. Rambutnya pendek. Tiffany baru bekerja di tempat itu tiga bulan dan ini pertama kalinya dia mendapat undangan menari di ruang private.
Tiffany tampak gugup, tapi seorang perempuan yang terlihat lebih senior menyentuh pundaknya, "lakukan saja seperti biasa," ucap perempuan itu, dia Laila, penari yang sudah bekerja ditempat itu selama dua tahun. Bisa dibilang Laila senior yang mengajarkan anak anak baru bagaimana menari di atas tiang.
Ratna mendekat ke arah Anggela, "ada lelaki, bersikeras ingin privat denganmu." Ucap Ratna.
Anggela menyipitkan mata, lalu menatap ke arah Ratna sedikit ketus, "aku tidak menerima privat, bukannya mbak sudah tahu?"
Ratna tersenyum sedikit licik, "tapi dia memerintahkan kamu untuk menerima privat. Aku sudah bertanya pada penghubungmu."
Wajah Anggela pucat. Keangkuhan yang semula ditunjukkan oleh sikapnya berubah jinak seperti kucing.
"Itu diluar kesepakatan." Ucap Anggela pelan dan lemah.
Ratna mengangkat bahu, lalu ucapnya dengan perlahan seolah tidak peduli dengan gumaman dan keluhan Anggela, "ruang B-3. Ruang terbaik, lalukan yang terbaik, bahkan jika orang itu mengajakmu bercinta disitu, turuti saja." Tekan Ratna yang membuat Anggela menutup bibirnya, sorot matanya tajam dan penuh kebencian.
Laila menatap Anggela dengan wajah kasihan, ketika Anggela menoleh pada Laila, Laila langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Sesuatu di tempat ini menyeret perempuan dalam kegiatan ilegal terselubung. Laila pun Semula hanya bekerja sebagai penari tiang saja, menjajakan keindahan tubuhnya untuk dipertontonkan. Dia tidak malu, karena Laila membutuhkannya. Ayahnya sakit gagal ginjal dan membutuhkan cuci darah tiga kali seminggu, dan dia butuh dana untuk itu.
Namun, belakangan, mba Ratna menjualnya pada seorang tamu, dan Laila harus menari kemudian melayani tamu sampai pada hal paling privat. Laila mendapatkan bayaran lima kali lipat daripada dia menari dan akhirnya Laila terjebak dalam tindakan tersebut.
Laila tidak tahu mengapa gadis seperti Anggela muncul ditempat itu. Gadis yang memiliki kecantikan luar biasa, namun mata yang selalu menyorot hampa. Dia baru mengenal Anggela empat kali dan Anggela tidak pernah bicara banyak.
Damian menunggu diruang vip. Dia sudah menyewa ruangan itu tentu saja beserta penari favoritnya, Anggela. Dengan lagak seperti om-om kaya lainnya, lelaki itu menunggu dengan sabar. Bahkan Damian menahan diri untuk menyentuh minuman di atas meja. Dia sudah memesan minuman anggur putih dan juga tequila.
Cukup aneh juga, ketika dia meminta, Ratna menyetujui nya begitu saja, berbeda dari pertama kali dia datang. Betapa berkerasnya perempuan itu menolak, tapi hari itu ketika damian menyetujui pembayaran 5 ribu dolar untuk memesan Anggela, Ratna, dengan mata berkilau serakah langsung memerintahkan seorang waitress untuk mengantarkan dirinya ke sebuah ruangan privat.
Ruang privat itu lebih kecil tapi lebih nyaman. Terdiri dari sofa yang dibuat melingkar dan bantalan sofa yang begitu nyaman untuk bersender. Lampunya lebih terang dari pada penerangan di luar. Di meja sudah ada ember berukuran kecil yang diisi es dengan botol minuman di dalamnya. Gelas gelas kaca berukuran kecil diletakkan terbaik di sisi ember es.
Di hadapan Damian ada pintu, dan kini pintu itu terbuka. Dari pintu itu, Anggela masuk. Damian segera memperbaiki posisi duduknya. Dia meletakkan tangan nya di sisi paha, dan kemudian matanya yang tajam serta angkuh disorotkan lekat lekat dihadapannya.
Anggela masuk, mengenakan baju minim yang memperlihatkan belahan dada. Sesaat ekspresi wajahnya terkejut melihat Damian, namun dengan cepat Anggela berhasil menguasai diri, dia lalu mengulas senyum diwajahnya, memperlihatkan lekuk mempesona pada bibirnya yang selalu berhasil mencairkan hati lelaki.
Tapi, Damian tidak tersenyum. Dia tetap kukuh menatap dingin wajah Anggela. Hatinya yang dikuasai apa sedang berkobar kobar dalam dadanya.
Anggela mengangguk, lalu menunduk memberi hormat. Dengan sistematis dan lagak manis Anggela mulai menebar pesona, "apa saya harus mulai sekarang?" tanyanya sambil mengerling ke arah Damian.
Damian kemudian memperbaiki sikapnya lagi, duduk menyender sambil menatap remeh ke arah Anggela.
"Tunjukkan yang terbaik," ucap Damian dengan dingin.
Anggela menatap lelaki dihadapannya, sedikit merasa heran ketika melihat sikap dingin dan tak acuh dari lelaki di hadapannya. Kemarin lelaki ini mengemis satu malam dengannya, sekarang sikapnya sungguh sombong sekali.Anggela lalu hendak menuju interkom yang dipasang di dinding ruangan tersebut, hendak meminta agar memasang lagu. Tapi Damian menghentikannya."Tidak perlu lagu, aku ingin kau menari tanpa musik."Anggela menatap ke arah Damian, sedikit bingung, tapi Anggela langsung memperbaiki emosinya. Anggela terbiasa menguasai diri, dia tidak Sudi memperlihatkan sisi hatinya pada siapapun.Gadis cantik itu mengangguk. Dia lalu membelakangi Damian. Mula-mula punggungnya bergoyang dengan nada patah-patah. Dari bagian bawah, lalu goyangannya naik ke atas. Anggela masih memunggungi Damian. Kini damian menaikkan satu kakinya ke atas pahanya sendiri, menikmati pertunjukan dari perempuan yang dibenci dan diinginkan sekaligus. Perasaannya yang sungguh-sungguh rumit.Anggela memutar lehernya
"Show me," Anggela kini meletakkan dua tangannya dipinggang, dengan kaki yang dilebarkan dengan mengenakan hak tinggi, membuat tampilannya begitu menggoda.Damian berdiri, memperbaiki dasinya, lalu mendekat ke arah Anggela, "aku tahu, bagimu uang bukan segalanya, jadi apa yang membuat mu tertarik, aku memikirkannya dengan seksama." Damian mengetuk ujung jarinya ke arah dahi.Anggela mengangkat dagunya, mulai terlihat tertarik."Jadi, nona Anggela, aku ingin kau jadi istriku. Aku akan menyayangimu setiap hari. Memenuhi semua kebutuhanmu. Kau hanya perlu menghangatkan aku setiap malam. Kurasa ini perjanjian yang bagus,"Anggela membelalakkan matanya, dan ini pertama kali Damian melihat emosi terpampang dihadapan gadis nan misterius ini.Damian mendekat, menyentuh pipi gadis dihadapannya. Mata Anggela seolah menggambarkan beragam perasaan yang tidak terbaca. Lalu, gadis itu melipat tangannya di dada."Kukira anda mau ngomong apa....""Kau tidak perlu lagi melayani lelaki lelaki lain, cu
Damian menatap ke arah kertas kertas di hadapannya, itu adalah berkas kasus yang tengah dipelajarinya. Saat dia tengah konsentrasi menatap ke arah kertas tersebut, pintu ruangannya diketuk dari luar.Damian mengangkat kepalanya, "masuk," ujarnya.Pintu terbuka, dari balik pintu sebuah kepala menyembul sambil melebarkan senyum."Bro, mau makan siang bareng nggak?" Tanya Steve.Damian melirik arloji di balik kemejanya. Jam kritis waktu untuk istirahat."Gue enggak. Ada berkas kasus yang harus gue pelajari. Pesan saja."Steve sedikit manyun, lalu kemudian dia berkata lagi, "Ya udah, gue duluan kalo gitu." Steve menunjukkan jempolnya ke arah Damian, lalu kemudian pintu di tutup kembali.Damian lalu memencet tombol telepon yang menghubungkannya dengan sekretarisnya, Titania."Ya pak?" Suara Titania terdengar lembut."Tit, tolong pesenin makan ya, yang biasa." Ucap Damian."Baik pak," jawab Titania.Damian menunggu pesanan makanannya sambil membuka-buka lembar kertas, memberi content pada s
Rama mengawasi ekspresi Damian yang terlihat berubah. Sebagai seorang yang bekerja di bidang penyelidikan, memerhatikan raut wajahnya seseorang merupakan bagian dari pekerjaannya."Kenapa Dam? Elu kenal?" Rama langsung menyahuti ketika melihat Damian terpaku sejenak. Damian mengangkat wajahnya, ragu apa sebaiknya dia menginformasikan hal yang dia tahu. Tapi kalau itu dilakukannya, bisa-bisa tempat tersebut digerebek. Kalau sudah begitu akan banyak yang dirugikan. Dirinya, Anggela dan tentu lelaki yang memiliki hasrat yang sama dengan dirinya.Lagipula, tanpa informasi dari Damian juga pasti Rama cepat atau lambat akan mendapat petunjuk tentang tempat rahasia itu. Kalau sudah begitu, sepertinya rencana menjemput Anggela harus dipercepat. Bila perkiraannya tidak salah, semua orang di tempat itu pasti akan diinterogasi. "Enggak, gue enggak kenal. Kasihan saja masih muda, tapi sudab meninggal, pasti banyak impiannya yang belum terkabul. Dia mati karena apa?" Damian menjawab cepat setela
"Enggak. Dia enggak terlihat curiga. Dia datang kesini mau main karena katanya lokasi itu dekat dengan tempat gue." Sahut Damian menenangkan.Steve terlihat sedikit lega, tidak terbayangkan dalam kepalanya jika harus menjadi saksi karena dipanggil polisi, reputasinya bisa hancur kalau ada yang tahu dia sering pergi malam untuk menangkap kupu-kupu."Menurutmu tentang pianis itu, apa kira-kira polisi tahu tentang pekerjaannya?"Damian merenung sebentar. Dengan reputasi sebagai seorang pianis tingkat dunia, ketahuan bermain di dunia malam akan mencoreng nama baiknya. "Kurasa itu adalah job secret. Kecuali dia meninggalkan bukti, bisa jadi tempat itu akan terendus cepat atau lambat."Damian menerawang, pikirannya terlempar pada Anggela, dia harus segera membawa gadis itu pergi dari tempat itu. Bila Anggela merupakan bagian dari para penari, maka tidak mustahil mereka akan mengintrogasi Anggela. Damian tidak mau itu.Damian membuka lengan baju panjang nya, menarik kebelakang untuk melihat
Ah, Damian menyesal karena tidak pernah memotret Anggela. Kini dia tidak bisa membuktikan gadis itu sesungguhnya ada karena tidak memiliki bukti foto Anggela."Bagaimana kalau begini saja pak Syarif, ijinkan saya untuk menemui para penari." Ucap Damian memberi jalan keluar yang sekiranya menguntungkan dirinya.Syarif tampak mengernyit, lalu kemudian berkata dengan nada diplomatis, "Tuan, Eng--" Syarif menatap ke arah Damian"Damian, saya salah satu member VIP disini," Damian segera menyahuti Syarif sebelum Syarif menanyakan namanya."Oh, baiklah. Begini tuan Damian. Ada aturan dalam sistem kami. Bila pak Damian berminat melihat para penari, pak Damian bisa langsung melihat di atas panggung." Terang Syarif dengan sistematis."Apa tidak boleh saya melihat para penari itu?" Damian bertanya lagi."Maaf pak Damian, kami selalu bersikap adil pada para tamu. Bapak bisa melihat mereka di atas panggung, sepertinya hal ini tidak usah dibahas kembali." Tekan Syarif.Damian merasa sia-sia meminta
Apa maksudnya? Damian memutar mutar kertas lecek itu, hanya tulisan tolong dalam bahasa Inggris. Pikirannya yang sebelumnya berputar putar tidak karuan kini seolah kembali fokus. Dia menyadari, bila memang ini surat dari Anggela, berarti dia ada dalam bahaya!Damian kemudian memasukkan surat itu ke dalam sakunya. Kemudian dia bergegas meninggalkan tempat tersebut.Damian segera berjalan menuju parkiran dan kemudian mengambil mobilnya lalu mengarahkan ke jalanan. Pikirannya berputar putar tidak tentu arah. Surat dari Anggela, kematian pianis di klub, lalu gosip Anggela berpacaran dengan pianis. Damian tidak mengerti apa yang terjadi.Dia teringat seseorang, dalam salah satu kasus, orang itu pernah menjadi saksi di persidangan. Kemudian Damian mengarahkan mobil menuju kantornya.Satpam yang berjaga di depan kantor langsung memberi hormat pada Damian yang kembali ke kantor. Dia sudah biasa melihat sang bos kembali ke kantor kalau malam. Seringkali Damian meninggalkan mobil dan pergi ke
"Ram, gue enggak keberatan lu interogasi. Tapi tolong waktunya dijadwal ulang. Gue cuma sebagai saksi bukan, bukan tersangka?""Iya, kamu sebagai saksi saja. Kami hanya ingin meminta keteranganmu tentang korban.""Apa gue harus ke kantor polisi?""Hm, apa kamu bisa kesini?""Gue usahakan setelah pulang kantor gimana?" Tawar Damian."Itu juga boleh. Oke, gue tunggu jam 5 ya." Lalu telepon ditutup.Damian meletakkan hape kembali di atas meja, dia mengusap wajahnya. Kenapa jadi begini?Tiba tiba terdengar bunyi sambungan telepon dari Titania."Ya Tit?""Pak, ada yang ingin bertemu?"Damian mengernyitkan kening, "Pak Samsul?" Damian teringat bahwa hari ini dia ada janji bertemu seorang klien."Bukan pak. Belum ada janji sebenarnya. Dia, Eng...pak Johan Bahar.""Eh, Johan Bahar?" Damian sedikit terkejut. Dia mengenal nama Johan Bahar sebagai pewaris perusahaan rokok Sempurna. Pengusaha kelas kakap di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu Johan Bahar yang terbilang muda menerima perusahaan ke