Share

Menaklukkan Keangkuhanmu

Anggela lihat bemper mobilnya dan cukup puas ketika mengetahui bahwa mobil miliknya baik-baik saja. Sekarang gadis itu menatap ke arah mobil yang berhadapan dengan mobilnya dengan sisi mobil sedikit miring. gadis itu meletakkan dua tangannya ke pinggang. siluetnya sempurna sangat indah, bisa membuat lelaki manapun meneguk ludah memandangnya.

Damian yang melihat perempuan obsesinya itu, Dengan cepat turun dari mobil.

"Anggela!" Panggil Damian dengan cepat. jantung lelaki itu terpompa cepat, timbul hasrat luar biasa seperti hendak meledak dalam dadanya.

Anggela menengok ke arah suara yang memanggilnya, tangan perempuan itu terlipat di depan dada. Melihat sosok Damian, kepalanya meneleng ke arah kiri, alis Anggela terangkat sebelah, "iya?"

"Aku sudah mencarimu kemana-mana, dan aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini."

"Apa aku mengenalmu?" Anggela bertanya heran, melihat ada seseorang yang memanggil dan sok akrab dengan dirinya.

"Kau tidak ingat aku?" Damian melotot, tidak percaya. Padahal baru dua hari yang lalu dia berkencan dengan perempuan ini.

Gadis itu menepuk pipinya dengan ujung jari, mencoba mengingat, lalu kemudian menggeleng, "maaf," ucapnya dengan wajah prihatin. mendengar ucapan maaf dari mulut Anggela membuat Damian memucat, wajahnya menjadi keras. Damian mencari gadis itu setengah mati, dan gadis itu tidak mengingatnya bahkan diujung kepalanya.

Lalu, dengan cepat, Anggela memutar tubuhnya ingin masuk kembali ke dalam mobilnya, membuat Damian yang sedari awal dihantam hasrat pada Anggela membuatnya langsung menyentuh tangan gadis itu dan menariknya agar gadis itu menengok.

"Kau tidak mungkin lupa padaku, kau pernah tidur denganku, Minggu kemarin!" Tukas Damian dengan suara sedikit keras.

Anggela, yang kini tangannya terpenjara oleh tangan Damian kini memicingkan mata, lalu dia tersenyum, "Ah, kamu yang di Garut itu? Tempat yang indah, sayang sekali, hanya bisa sebentar disana. Aku suka danaunya," puji Anggela dengan tulus.

"Aku bayar kamu 20 ribu dolar, temani aku semalam," ucap Damian cepat.

Anggela menatap ke arah Damian, wajah tenangnya tidak berubah, dia mendekat ke arah Damian, kini jarak mereka hanya lima centi.

Damian bisa memperhatikan wajah Anggela dengan cermat. Mata gadis itu besar, dilapisi dengan lensa mata biru, eyeshadow yang dikenakannya berwarna oranye seolah ingin menegaskan garis matanya. Alis matanya tebal, bibirnya yang tebal sensual dilapisi lipgos hingga berkilat menggoda. Yang paling indah adalah titik tahi lalat di bawah mata sebelah kiri, membuat kesan cantik pada wajahnya menjadi kian sempurna.

Damian sering menemukan wanita cantik dalam hidupnya, namun Anggela muncul dengan tiba-tiba, mengisi benaknya dengan dendam dan rindu yang berkelindan.

"Kau mengatakan hal yang sama waktu itu, dengan tawaran 10 ribu dolar, dan sekarang kau menawarkan dua kali lipatnya." Suara Anggela juga sangat merdu, penuh persuasif.

"Ya, tapi temani aku semalam, bukan satu kali, tapi semalaman." Tegas Damian. Lelaki itu tidak ingin kalah oleh aura menantang perempuan dihadapannya.

Anggela mengernyit kan kening, lalu dia tertawa kecil, "kau yakin kuat. Paling dua ronde kelelahan," jawab Anggela meremehkan.

Damian mengeram, buku buku tangannya menengang karena digenggam kuat, "Aku jamin, kamu akan puas." Ucap Damian penuh percaya diri.

Anggela menatap Damian, mata keduanya bertemu. Anggela sudah sering melihat tatapan mata seperti itu, tatapan mata penuh keinginan dan gairah.

Gadis itu mendesah, sepertinya percuma menolak lelaki ini sekarang dengan cara waktu itu. Dimatanya hanya ada hasrat membara, menolaknya bisa menimbulkan bara api permusuhan yang tidak baik.

"Baiklah," ucap Anggela, "tapi tidak malam ini. Aku sudah lelah menari hari ini. Besok, kau bisa menemuiku disini." Anggela mengeluarkan sebuah kartu nama sebuah hotel, lalu menyodorkannya pada Damian.

Damian menerima dan membaca nama hotel tersebut.

"Kamar 202, bawa uangmu 20 ribu dolar, aku mau cash" ucap Anggela sambil membuat tanda kecup pada dua jarinya, lalu dua jari itu ditempelkan di bibir Damian. Gadis itu melemparkan kedipan mata menggoda.

"Bagaimana aku bisa memastikan kau akan datang? Kau tidak memberi nomor telepon," tanya Damian.

Anggela menatap Damian, memberi senyum manis, lalu diambilnya kartu nama itu, Anggela mengambil pulpen dari dalam tasnya, lalu kemudian menulis angka dibalik kartu nama yang diberikannya dan mengembalikan kartu nama itu pada Damian.

Damian melihat belakang kartu yang dituliskan oleh Anggela, dia bisa menghapal sekali lihat.

"Hubungi aku hanya di jam 7 malam, selain dari jam itu, nomor hanya akan tersambung ke mail box" ucap Anggela sambil mengerling ke arah Damian.

Setelah itu Anggela masuk ke dalam sedan merahnya, dan melambaikan tangan pada Damian dan Steve, dia menarik perseneling, menekan gas dan melajukan mobilnya dengan cepat.

Steve keluar dari mobil, bersiul sebentar sambil mendekati karibnya.

"Wow!" Decaknya kagum. "Benar benar liar hah?"

Damian memukulkan kartu nama itu ke tangannya, lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam sakunya. Senyumnya mengembang sumringah. Dia merangkul Steve dengan senyuman lebar.

"Yuk pulang," ucap Damian puas.

"Hei...hei...tunggu dulu, kita belum dapat apa-apa hari ini. Gue belum dapat tetesan surga bro!" Keluh Steve yang langsung disambar pelukan dipundak oleh Damian dengan kencang.

"Iya...iya, gue temani lho kencan ketempat yang lu suka." Ucap Damian terkekeh.

"Lu gimana?"

"Gue minum aja."

Mata Steve membulat, suatu hal yang langka mendengar ucapan Damian. Gila, nih cowok yang tadi emosi tak terkendali, hanya dengan perempuan 1000 dolar itu, langsung sumringah seolah sudah dikasih jatah.

"Wow, lu Damian kan?"

"Stil."

"Lagak lu kayak laki-laki alim? Kesambet apa lu?"

Damian tertawa, "udah, jangan banyak bacot. Mau gue temenin atau gue ajak pulang?"

"Ah," Steve mengusap mukanya dengan kedua tangan. Dia menggeleng-geleng kepala melihat kelakuan Damian.

"Gue yang nyetir deh," tiba-tiba Damian mengambil alih setir.

"Lho...lho tumben. Yang mulia Damian mau nyetirin gue," Steve langsung berpura-pura kaget. Dia memegang dadanya seperti baru saja mendengar suara petasan tepat di depannya.

"Anjir! Udah deh, enggak usah belagu!" Damian berteriak agak kesal melihat tingkah Steve. Lagak Damian pura-pura marah.

"Ini harus dinikmati," kekeh Steve sambil melirik Damian yang sedang memasang sabuk pengaman. Dia sendiri memasang sabuk pengaman. 

Mereka sangat patuh pada cara berlalu lintas, setidaknya menurut Damian, sebagai orang yang berurusan dengan hukum, kepatuhan kepada hukum Mestinya diterapkan secara pribadi dalam kehidupan, minimal cara berkendara.

"Kemana?"

"Hm," Steve mengetuk dagunya seolah sedang berpikir, lalu ucapnya, "gue lagi pengen mandi air anget," ucapnya yang dijawab dengan gelak dari Damian.

"Lu mau main sama Tamy?"

Steve meletakkan dua tangannya kebelakang, menopang bagian belakang kepalanya. "Pas! Tamy membosankan, gue butuh variasi baru."

Seolah mengerti, Damian kemudian memutar mobil ke arah jalan yang berlawanan arah ke jalan pulang. Kalau masalah beberapa tempat dimana bisa mendapatkan tetesan surga, Damian hapal beberapa tempat favorit kawannya itu.

Mobil melaju membelah jalanan ibu kota..jam sudah berdetak pada pukul 12 malam. Bila orang orang pagi sudah terlelap tidur, maka kupu-kupu malam bergerak. Ibu kota tidak benar benar tertidur.

**

Damian tampak gelisah, sudah sejak siang dia  tidak fokus bekerja, berkali-kali dia menengok ke arah jam tangannya, seolah berharap jam itu melaju cepat. Tapi jam masih tetap berjalan seperti biasa, waktu berputar seperti umumnya.

Kliennya, yang sedang berkonsultasi hanya di dengar sambil lalu. Untung saja saat itu ada Steve yang mendampingi. Saat ini memang sesi pendampingan dan membutuhkan dua orang pengacara. 

Steve menyimak dengan baik, sesekali dia melihat ke arah Damian yang terlihat tidak fokus. Menyadari bahwa perasaan bosnya sedang terganggu, Steve berusaha mengambil alih obrolan. Dia yang mengarahkan dan juga memberi banyak masukan dengan klien mereka.

Setelah pembicaraan yang membosankan, akhirnya sang klien pergi. Setelah itu Steve merenggangkan tangannya yang terasa lelah. Pekerjaan mendengarkan bisa sangat melelahkan. Steve menaikkan pundaknya lalu memutar mutarnya ke depan dan belakang, untuk meringankan penat.

"Butuh kopi nih bos," ujar Steve. Tapi ucapannya seolah angin lalu, karena Damian masih terlihat seperti orang bengong.

Steve menengok ke arah Damian yang sekarang sedang membuka kemeja tangannya untuk sekali lagi melihat jam.

"Lu tengokin jam itu, enggak akan matahari langsung turun ke barat." Steve menyahuti.

Damian mengangkat kepalanya, tersenyum. "Udah selesai tadi dengan pak Abdul?"

"Tadi elu nggak nyimak?" 

"Kan ada elu, jadi gue fokus ke yang lain." Jawab Damian sambil melempar senyum.

Steve tertawa, menggeleng kepalanya perlahan, benar benar lagi enggak fokus bosnya itu, tapi Steve tidak mau mengomentari. Jadi alih alih bertanya, malah Steve melempar pertanyaan yang lain, "Mau makan enggak, diluar?"

"Boleh deh," jawab Damian sambil menekan tombol penghubung ditelepon dengan sekretarisnya.

"Tit, saya mau keluar dulu, nanti kalau ada yang menghubungi, tolong dijadwal ulang buat besok." 

"Baik pak," Titania menjawab.

 

Damian melihat ke arah jam tangannya, masih jam 3. "Habis makan, gue mau ke satu tempat, gue turunin elu di mana?"

"Gue bawa mobil sendiri aja." Sahut Steve tidak menggoda lagi akan kemana Damian.

Mereka berdua kemudian keluar dari ruangan Damian. 

Biasanya kalau mereka menggunakan dua mobil, keduanya akan berkomunikasi dengan telepon, menggunakan wireless yang dipasang ditelinga. 

Kadang, kalau keduanya memiliki rencana berbeda untuk pulang, mereka akan menggunakan dua mobil. Tapi, bila rencana mereka sama, maka seringkali Steve yang menyetir dan mobil Damian ditinggal di kantor. Setelah mereka selesai dengan urusannya, baru Steve akan mengantar Damian kembali ke kantor mengambil mobil.

**

Tepat jam 5 Damian mengarahkan mobilnya ke hotel yang ditujukan pada kartu nama yang diberikan Anggela.

Di cafe Lamosa, Damian sudah berpisah jalan dengan Steve. Damian ingin pergi ke hotel lebih dulu, memesan kamar dan kemudian membersihkan diri. Dia ingin menyambut anggela dengan kondisi prima.

Damian masih teringat ucapan Anggela di parkiran waktu itu tentang kekuatannya di ranjang. Pantang bagi lelaki seperti Damian yang memiliki gaya Casanova harus kalah dengan ucapan seorang wanita macam Anggela. Dia akan memberi gadis itu pelajaran yang tidak akan dilupakannya.

Sesampainya di hotel, Damian langsung memesan kamar 202 seperti yang diamanatkan Anggela. Dia tidak mengerti mengapa gadis itu memintanya untuk menunggu di kamar 202.

Ketika dia memesan kamar itu, sang resepsionis tiba tiba langsung berkata, "Maaf tuan, kamar 202 sudah di booking."

What? Damian sempat terperangah, lalu kemudian bertanya lagi untuk memastikan, " maaf mba, siapa yang booking. Apa atas nama Anggela?"

Resepsionis segera melihat ke arah komputer yang jaraknya di pinggang. "Bukan, dipesan atas nama Damian," urai resepsionis.

Lho? Damian terlongo, tidak menyangka bahwa itu adalah namanya, ternyata Anggela tahu namanya, itu berarti gadis itu tidak pernah benar-benar lupa padanya. Dia langsung menunjuk dirinya sendiri, "Nama saya Damian mba, apa pesanan kamarnya sudah dibayar?"

"Baru uang muka pak. Oh, Jadi ini atas nama bapak ya. Baiklah, kalau begitu bapak mau bayar tunai atau kartu kredit." Tanya resepsionis dengan senyum bisnis.

"Kartu saja mba."

Resepsionis langsung mengetik sambil menerima kartu yang disodorkan Damian di atas meja.

Setelah mengurus administrasi sebentar, Damian langsung menerima kunci kartu dari resepsionis.

Damian menerima kunci tersebut, lalu kemudian berjalan menuju ke arah lift. Menggunakan kuncinya untuk bisa memilih nomor kamar.

Lift hotel tidak bisa sembarang dimasuki orang. Siapa pun bisa masuk lift, tapi tidak akan Bisa membuka pintu lift bila tidak menggunakan kartu kamar miliknya. Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan tamu hotel.

Setelah masuk kedalam kamar, Damian mengecek kamar mandinya. Dia melihat bathub dan memeriksa ukurannya. Kalau memungkinkan Damian mau mencoba mandi bareng di dalam bathtub.

Dalam kepala Damian sudah terlintas hal hal nakal yang akan dia lakukan pada Anggela. Hasratnya sudah membuncah sejak hari Minggu, tiga hari yang lalu.

Setelah itu dia melepas dasi yang dikenakannya, merapihkan semua pakaiannya di dalam lemari hotel. Lalu dia mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.

Setengah tujuh malam, Damian memesan layanan antar kamar, lalu kemudian merapihkan diri. Mengenakan kaos ketat yang memperlihatkan lekuk dadanya yang bidang.

Jam tujuh layaran antar kamar sudah datang, Damian mempersilahkan pelayan hotel menyimpan semua pesanan nya dimeja. Dia sendiri segera menghubungi nomor telepon Anggela.

Setelah pelayan selesai meletakkan semua makanan, pelayan itu menunggu uang tips. Damian merogoh kantung celananya dan menemukan uang dua puluh ribu dan langsung memberikannya pada pelayan.

Telepon yang dia hubungkan pada nomor yang dibeli Anggela tampak bernyanyi, menunggu untuk di angkat. Setelah satu lagu di dengar Damian secara berulang, Damian dialihkan oleh mail box.

Damian mengulang kembali telepon, dan hal serupa terjadi. Nada sambung terdengar, sebuah lagu terdengar mengalun lembut, dan berulang, lalu kembali lagi pada mail box.

Damian mencobanya sampai beberapa kali, dan hal sama terulang lagi.

Damian segera menghubungi resepsionis lewat jalur telepon hotel. Suara renyah resepsionis menyambut.

"Mba, apa ada orang yang menanyakan kamar  202?" Tanya Damian

"Tidak ada pak," jawab resepsionis.

"Kalau nanti ada orang yang menanyakan tentang kamar 202, bisa tolong kabari saya. Atau tamunya langsung diantar ke kamar saya. Bisa?"

"Baik pak, ada lagi?"

"Tidak, itu aja cukup."

Damian langsung menutup sambungan telepon ke resepsionis, lalu kemudian dia melirik jam ditangannya, sudah pukul tujuh tiga puluh malam.

Damian kembali menelepon anggela, dan lagi lagi dia hanya terhubung oleh nada tunggu yang kemudian berakhir dengan mail box.

Ada apa ini? Apa Anggela tengah mengerjainya?

Damian merasa emosi, rasa senangnya sudah berganti jadi amarah. Dia mengepalkan tangan dan kemudian mengacak acak rambutnya.

Apa dia sedang di tipu?!

Damian menunggu, berkali kali mengecek hape lalu menelepon resepsionis, namun nihil. Tidak ada kabar dari Anggela, gadis itu tidak pernah datang ke hotel itu, dan Damian seolah mendengar tawa mengejek Anggela.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status