POV UbaySetelah menelpon sang kekasih hati, aku meletakkan kembali ponsel di atas meja. Entah kenapa hari ini pikiranku tak tenang. Namun, aku tetap berusaha berpikir positif, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kehamilan pertama Alina membuatku deg-degan luar biasa. Tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang Ayah.Aku tersenyum sendiri. Hingga ponselku berbunyi.'Ustadz Akmal?' beliau adalah orang yang kuberi amanah untuk mengurus urusan pembangunan maupun pelaksanaan program pendidikan di yayasan yang sudah beberapa bulan ini aku dan Alina rencanakan. "Assalamu'alaikum, Ustadz,""Wa'alaykumussalam, Pak Baihaqi. Saya mau ke rumah, mau minta tanda tangan Bapak dan Bu Alina. Ada beberapa dokumen yang perlu ditanda tangani untuk keperluan yayasan,""Wah, saya sedang di kantor, Ustadz. Cuma ada istri di rumah,"Ustadz itu terdiam sejenak. "Gapapa deh, Pak. Saya minta tanda tangan Bu Alina dulu, karena dokumen ini harus diserahkan hari ini, nanti saya akan kembali untuk meminta
Aarggghh!Aku makin menginjak dalam-dalam pedal gas, hingga mobil ini bagai melayang di atas aspal.Sekitar lima belas menit, aku sampai. Tampak ustadz Malik dan pak Satpam tengah melumpuhkan Andre yang meronta-ronta."Pak, tolong istri Bapak di dalam. Keadaannya kritis," serunya. Aku bergegas masuk tanpa ikut membantu mereka.Meski Ustadz muda itu tampak kewalahan. Tak lama sebuah mobil datang dan beberapa anggota polisi turun membantu dan menangkap Andre.Di dalam rumah, keadaan begitu kacau. Pecahan guci berserakan. Tongkat baseball yang biasa aku simpan di belakang pintu tergeletak tak jauh dari sesosok tubuh yang diam tak bergerak."Alinaaa!"Aku berlari menghambur. Air mata berlompatan keluar. Allah ... Allah ... Jangan ambil istriku.Aku mengecek tanda-tanda kehidupan Alina. Masih ada denyut nadi walau sangat lemah.Beberapa anggota polisi yang melihat membantu mengangkat tubuh Alina yang sudah bersimbah darah. Ya Allah, istriku, anakku ...Pikiranku kalut, aku meraung melihat
Keadaan Alina sudah membaik, luka di tangan dan bekas operasinya juga mulai kering. Walau bagian perut masih sering terasa ngilu. Aku teris menemani istriku itu, tak ingin lagi meninggalkannya. Satpam dirumah kutambah menjadi dua. Biar aku merasa tenang saat sesekali keluar meninggalkan anak dan istriku.Hari ini Alina sudah diperbolehkan pulang. Tentu saja kini membawa seorang bayi mungil yang tampan. Hafidz Noval Safwan, itu nama bayi kami. Seorang laki-laki dermawan yang kuat ingatannya seperti batu karang. Begitulah kira-kira artinya. Aku ingin kelak anakku ingat bahwa kelahirannya penuh perjuangan, ada nyawa yang dipertaruhkan. Andre sedang dalam proses hukum. Aku ingin laki-laki itu dihukum seberat-beratnya. Biar saja, walau dia masih ada hubungan persaudaraan denganku, aku tak peduli. Jika salah, ya harus di hukum."Mas, apa ga berlebihan?"Aku menatap Alina yang tengah menyusui Hafidz."Malah, jika ada di negri ini hukum qisash, dimana pelaku dihukum sesuai dengan apa yang di
Tante Irma melirik ke arah suaminya lalu berpindah ke Gunawan. "Dia sudah diambil ayah kandungnya, Pak," Sahut Gunawan pilu. Aku dan Alina saling tatap dalam kebingungan. "Dia bukan anak saya. Dia anak seorang pengusaha kaya. Setelah Siti meninggal, saya baru tau jika saya mandul. Dan Sabila itu ada sebelum kami menikah," "Astaghfirullah ..." Lirihku juga Alina bersamaan. "Selama ini saya ditipu, saya menyesal. Mungkin penyakit ini adalah akibat kesalahan saya dulu pada Alina," lanjutnya. Ternyata Gunawan mewarisi penyakit yang diidap Siti, istrinya dulu. Penyakit yang belum ada obatnya sampai sekarang. Pantaslah tubuh laki-laki itu kurus kering dan terlihat lebih tua dari usianya. Setelah ngobrol-ngobrol sejenak, dan makan-makan, Tante Irma juga keluarganya pamit. Aku mengantarkan sampai gerbang, sebagai wujud penghormatan. "Pak, jaga Alina baik-baik. Demi Allah dia wanita yang sangat baik, mungkin umur saya tak akan lama, hanya itu saja pinta saya. Tolong jangan sia-siakan
Sejak mantan istri Mas Ubay mengaku sedang hamil anak suamiku, aku mulai sedikit memberi jarak dengan Mas Ubay, seolah sedang marah. Walau sebenarnya aku sama sekali tak percaya dengan apa yang dikatakan perempuan itu. Sedari awal dia memang sudah gatal ingin kembali dan merebut hati suamiku, tapi Mas Ubay tak pernah merespon."Sayang, demi Allah, Mas tidak sengaja melakukan itu,""Artinya kamu melakukannya tapi tak sengaja? Begitu kah, Mas?""Bu-bukan, bukan begitu. Mas tidak tau apa benar Mas telah melakukan itu atau tidak. Mas tidak tau,"Mukanya suamiku itu terlihat frustasi. Aku tersenyum tipis, walau baru menikah, aku sudah bisa membaca karakter Mas Ubay, karena sebelum menjadi istrinya, aku dapat melihat dia lelaki Sholeh. Dia tak mungkin sehina itu. Walau Aina pernah menjadi istrinya, tapi dia sadar dan sangat paham jika tak ada lagi hubungan yang tersisa diantara mereka, selain sekedar mantan."Percayalah, Al. Aku gak mungkin melakukan itu,"Aku meninggalkan Mas Ubay, sambil
"Astaghfirullah ..."Aku menaruh hafidz di box bayi, lalu mendekati Mas Ubay."Mas, menghadapi perempuan seperti itu kenapa sampai menangis?""Mas, tak peduli dengan nama baik, tapi yang Mas takutkan, kamu dan Hafidz meninggalkan Mas. Mas takut itu terjadi. Cukup waktu itu kamu membuat Mas cemas setengah mati. Jangan lagi terulang untuk kedua kalinya,"Aku memeluk Mas Ubay, lelaki tinggi itu pasrah merebahkan kepalanya di dadaku. Sejenak aku melupakan amarah dan cemburu. Mas Ubay butuh aku, dia penolongku, dah mungkin sudah saatnya aku menolong dirinya."Sayang, apa kamu stres?" Dia menatap mataku lekat.Aku menggeleng cepat."Aku stres kalau lihat kamu, stres. InsyaAllah kita akan hadapi ini bersama," ujarku.Tok tok tok!Suara ketukan terdengar di pintu."Alina Sayang, kamu tidur kah, Sayang?" Panggil Mama."Mas, cepat kamu pura-pura tidur, matamu merah karena habis nangis. Nanti Mama curiga," aku mendorong Mas Ubay ke tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya."Ya, Ma. Masuk aja, Alina
Bu, Bu Aina kini sedang berada di rumah Bu Rosita,][Oke! Terus pantau apa saja kegiatan dia.]Pesan dari Jeki, orang yang kubayar untuk memata-matai Aina. Aku yakin ada lelaki lain yang dekat dengannya. Dan melakukan hubungan itu sehingga perempuan itu hamil. Aku harus mencari tau.Teman-temanku pun ikut memantau, meski tak bisa fokus, lantaran mereka juga sibuk dengan pekerjaan sebagai seorang ibu rumah tangga.Hari terus berlalu, belum ada perkembangan yang signifikan. Sedangkan Aina terus saja berusaha mendekatkan diri dengan keluarga ini. Hampir tiap hari dia datang, dengan alasan menemani Mama. Mama yang awalnya cuek padanya pun mulai luluh dengan perhatian Aina. Meski Mas Ubay sering tak terima jika Mama dekat-dekat dengan mantannya itu."Ma, Aina itu mantan Ubay. Apa Mama tak memikirkan sama sekali perasaan Alina!""Perasaan gimana, Bay. Aina kesini hanya sebagai seorang teman. Dia ingin menemani Mama. Kemarin kita senam bareng. Tadinya Mama mau mengajak Alina, tapi kan Alina
"Hah! Kamu menganggap enteng aku, Alina. Kamu akan tersingkirkan, aku yakin itu!""Coba saja!" Tantangku."Nanti kamu akan mengemis meminta aku melepaskan Mas Ubay. Saat itu aku akan mencampakkan dirimu dan anak kamu itu ke jalanan. Aku lah yang seharusnya menjadi ratu di rumah ini. Karena sebentar lagi, Mama akan tau jika aku sedang hamil anak Mas Ubay,""Jangan yakin, dulu. Kalau gagal nanti nangees!"Aina mendengkus kesal. Lalu berjalan dengan menghentak-hentakan kaki menuju mobilnya.Pasti setelah ini dia akan kerumah Bibi Rosita. Seperti kebiasaannya beberapa hari ini. Perempuan itu memanfaatkan perselisihan kakak beradik itu untuk kepentingannya. Aku menarik napas dalam-dalam. Jangan lemah Alina! Jangan lemah!****Malam itu, makan malam terasa beku. Sejak perdebatan Mama dan Mas Ubay, laki-laki itu lebih banyak diam jika di dekat Mama. Begitu juga dengan Mama. Tak ada niat sama sekali untuk memperbaiki hubungan mereka."Tumben nih, pada diam. Lagi sariawan?" tanya Papa yang su