Kiara mengecek kembali jumlah coaster yang akan menjadi souvenir di pernikahan kali ini. Tumpukan coaster itu sudah dibungkus rapi dengan label cokelat dan dipermanis tali rami yang diikat berbentuk pita. Setelah itu, dia menatanya di meja penerimaan tamu.
Semalam, dia dan Nabila sampai ke Jogja dan menginap di hotel yang juga jadi tempat resepsi Lita, temannya Nabila.
Kiara mengedarkan pandangannya ke arah taman di belakang hotel ini. Di ujung sana sudah berdiri pelaminan sederhana yang latar belakangnya terdiri dari kayu-kayu yang dilapisi kain putih serta bunga-bunga yang menghiasi sekitarnya.
Lampu-lampu neon sengaja digantungkan secara melintang di batang-batang pohon. Beberapa meja serta kursi kayu sudah disusun dengan rapi.
“Kiara,” seorang wanita yang berbalut jubah hotel dan wajah yang terlihat sudah di make-up, menghampirinya. “Makasih ya sudah membantuku.”
“Nggak masalah, Lit,” Kiara tersenyum tipis. D
Semburan warna jingga menghiasi langit sore berpadu serasi dengan kelip kuning lampu-lampu neon yang menggantung indah di pepohonan itu.Riuh rendah suara para tamu undang serta alunan musik yang ceria semakin menambah semarak resepsi sederhana ini. Namun Kiara hanya menyendiri di sebelah chocolate fountain. Dia mencelupkan potongan strawberry itu ke lelehan cokelat yang mengalir dan melahapnya. Dia butuh manisnya cokelat untuk meningkatkan mood-nya yang berantakan.Kini Kiara menyandarkan bahunya di salah satu bangku kayu yang kosong, sengaja menjauhi keramaian. Dia menyesap koktailnya. Rasa asam serta pahit langsung memenuhi kerongkongannya. Matanya lalu menangkap sosok Gian yang menjulang di antara teman-temannya itu.Pantulan cahaya langit sore membuat siluet tubuhnya tampak begitu sempurna. Satu tangannya tenggelam di saku celana sedangkan tangan lainnya memegang gelas minuman. Lesung pipinya nampak jelas saat dia tertawa lepas dengan mereka.&ld
Bel kamar berdenting.Dengan enggan, Kiara bangkit dari ranjangnya. Keningnya mengernyit. Dia tidak memesan room service apa pun. Lagi pula sekarang sudah lewat tengah malam.“Mungkin itu Nabila,” pikirnya saat melirik ke ranjang sebelahnya yang masih kosong. “Dia pasti mabuk dan kehilangan kunci kamarnya.”Pintu kamar mengayun terbuka. Namun Kiara malah terkesiap mendapati Gian yang berdiri di hadapannya. Kedua matanya terlihat sayu, tampangnya lesu dan rambutnya yang mencuat berantakan.“Tunggu,” Gian langsung mengganjal pintu dengan kakinya begitu Kiara hendak menutup kembali pintu kamar itu. “Aku tahu alasan kamu melakukan semua ini.”“Sudahlah, Gi.” Keluh Kiara. “Aku lebih mencintai pria yang dijodohkan padaku itu. Hubungan kita sudah berakhir.”Gian berdecak sambil terus menahan pintu. “Sekarang semuanya menjadi jelas.”“K
Dengan napas tersenggal, tubuh Ray langsung ambruk di atas tubuh Prita. Sontak, Prita langsung menghempaskan tubuh suaminya itu. Bibirnya melengkung ke bawah. Hubungan mereka sudah tidak semenyenangkan seperti dulu.Prita bangkit meninggalkan Ray yang langsung terlelap di atas tempat tidur. Dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah berhubungan dengan Ray.Setelah selesai mandi, kini dia menatap tubuhnya di depan cermin yang berembun. Matanya menatap setiap lekukan badannya yang masih molek. Namun, dia menyadari bahwa wajahnya sedikit menua. Sudah ada garis-garis tipis di sekitar mata dan bagian mulut serta kulitnya yang sedikit kusam. Dia harus ekstra menjaga wajah dan tubuhnya karena dia tidak ingin tersaingi dengan Bianca, kakak iparnya yang sempurna itu.Prita menghela napas panjang sambil mengoleskan krim malam di wajahnya. Hidup dengan Ray—beserta keluarganya yang menyebalkan itu—ternyata menguras batinnya.Tiba-tiba saja
Brak!Sebuah kardus cokelat mendarat di atas meja Nabila. Kiara langsung mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Dia melihat sahabatnya itu memasukkan barang-barang di mejanya ke dalam kardus itu.“Mau apa dia?” batin Kiara. Ingin rasanya dia menyapa namun lidahnya terasa kelu. Kejadian di Jogja itu membuat hubungan mereka menjadi dingin. Sudah dua hari Nabila absen tanpa kabar dan dia juga tidak kembali ke kosannya.Kedua telinga Nabila disumpal oleh earphone. Kepalanya mengangguk pelan mengikuti irama musik. Dia tidak menoleh sedikit pun ke meja di seberangnya dan menganggap bahwa Kiara tidak ada.Setelah selesai membereskan mejanya, Nabila segera mengapit laptop di ketiaknya. Sementara kedua tangannya menggotong kardus cokelat itu.“Bil, kamu mau kemana?” pandangan Kiara mengikuti Nabila yang melangkah keluar ruangan. Namun, Nabila bergeming yang membuat Kiara hanya bisa menarik napasnya.Kiar
“Cepat buang pisau itu!” titahnya. Kedua mata wanita itu masih memindai bilah pisau yang tajam. Dia menyeringai melihat bercak darah Kiara yang membekas. Lantas, dia segera melemparkan pisau itu ke air sungai yang mengalir. “Sekarang bukti utamanya sudah lenyap.” Wanita itu menepuk-nepukkan tangannya. Pandangannya kini melayang ke samping pria yang berdiri di sebelahnya. “Terus gimana dengan motor itu?” “Tenang aja, ini motor curian yang gue pinjem dari penadah. Mereka bakal ganti platnya.” Pria itu kini bersedekap lalu berdecak. “Kita tadi hampir ketahuan. Lagian, lo lama banget sih? Nusuk gitu doang. Seharusnya kita langsung kabur setelah lo menikam cewek sialan itu.” “Gue nggak tahan untuk nggak menendangnya.” Wanita itu membuka tudung jaketnya, membiarkan angin malam menyapu dahinya. “Tapi, karena hal itu kita hampir kepergok orang lain.” Wanita itu menepiskan tangannya santai. “Nggak ada yang melihat kita. Kalau pun ada, mereka ng
“Taraaa!!!” Nabila menyerahkan sebuah bungkusan pada Kiara yang berbaring di ranjang.Sudah hampir tiga minggu sejak Kiara diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk sementara waktu ini dia menetap di apartemen Gian demi keamanan. Kiara sudah dimintai keterangan oleh polisi soal kemungkinan besar pelaku penusukannya. Namun, sepertinya sulit untuk melacak keberadaan Alisa.Kiara membuka bungkusan itu. Lantas keningnya mengernyit begitu melihat isinya. “Alat penyetrum?”“Yap, ini buat jaga-jaga kalo ada yang menyerang lo.” Ungkap Nabila yang duduk di atas ranjang. Sejak kepindahan Kiara ke apartemen Gian, Nabila juga mendapatkan kartu akses khusus untuk menyambangi sahabatnya itu. Sementara itu, Gian masih harus bolak-balik Jakarta-Singapura untuk keperluan bisnis.Kiara menaruh alat penyetrum itu di atas nakas dan bangkit. “Kayaknya minggu depan aku bisa masuk kantor lagi.”“Yang bener? Dok
Dari balik selimut, Gian mendekap erat tubuh Kiara. Mereka menikmati malam yang intim setelah sekian lama. Diciumnya ujung kepala Kiara dengan lembut.“Ki, gimana kalau kamu cuti sejenak?” usul Gian kemudian.Kiara yang merebahkan kepalanya di dada Gian yang bidang berujar, “Cuti? Aku sudah lama absen dari kantor setelah operasi.”“Aku tahu, tapi kurasa kamu butuh liburan. Lagi pula, pembukaan butikmu juga berjalan sukses.”“Tapi aku nggak enak kalo ambil cuti lagi. Kasihan Nabila yang harus bekerja sendirian.” Tukas Kiara.“Baiklah, aku ngaku. Sebenarnya aku sih yang butuh liburan.” Gian terkekeh. “Kamu tahu sendiri kan bagaimana kesibukanku akhir-akhir ini?”Kiara mengangguk pelan dan beringsut menatap Gian. “Memangnya kamu mau liburan kemana?”“Entahlah. Yang pasti jangan yang jauh-jauh. Dua minggu lagi aku harus kembali ke Singapura. Kamu ada
“Cih, gala dinner?” tuding Prita ke arah suaminya dengan nada sinis. “Kamu bahkan nggak menceritakan hal itu padaku!”Dari balik kemudi, Ray menarik napasnya dalam-dalam. Mobil mereka terjebak di tengah kemacetan begitu memasuki kawasan Dago. Kupingnya panas mendengar Prita yang marah-marah ditambah api cemburu yang kembali menguasainya saat mendapati kebersamaan mantan istrinya itu dengan Gian, penyelamat reputasi perusahaannya yang hampir hancur.“Sudahlah, Ta. Hal itu bukan kejadian penting. Memangnya kalau aku pernah bertemu mereka berdua sebelumnya, kerugian di perusahaanku bakal tertutupi? Nggak kan? Hal itu hanya akan membuatmu naik pitam.”Prita bersedekap. Walaupun Ray tidak menoleh ke arah istrinya, dia tahu Prita sedang menembakkan tatapan setajam laser padanya.“Oh, jadi kamu pikir aku bakalan cemburu lihat kehidupan cewek brengsek itu sekarang, hah? Makanya kamu nggak mau cerita. Jangan-janga