Share

Calon Istri

Janu memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggilnya mama.

"Ma, sorry lama."

"It's ok, Sayang. Kita nungguin, kok."

Dua wanita paruh baya itu saling berpandangan dan mengangguk.

"Kenalin ini, Sasa. Putri semata wayang Tante." Si ibu berbaju kuning yang bernama Reina itu memperkenalkan.

Janu mengulurkan tangan dan berkenalan dengan gadis yang bernama Sasa itu.

"Sasa ini masih single, loh. Cocok ya sama Janu. Sama-sama free." Reina mulai berpromosi.

"Eh, iya."

Janu mengangguk karena sudah tahu apa maksud dari pertemuan ini. Perjodohan dan dia menjadi malas.

"Yuk, kita langsung pilih gaun aja. Biar gak lama. Habis ini kita makan," usul Sarah.

Tak lama, mereka tampak asyik memilih gaun. Tanpa disengaja, mata Janu menangkap siluet seorang wanita yang sangat dikenalnya. Dia segera berjalan meninggalkan ketiga orang tadi.

"Nadine?" sapanya.

Janu bergerak menuju sofa. Sementara Nadine berpura-pura tidak melihat.

"Hei!" Janu mengibaskan tangan di depan wajah gadis itu.

"Eh, kamu." Nadine berpura-pura terkejut dengan senyum terpaksa.

"Ngapain di sini?" tanya Janu.

"Nungguin temen. Lagi ambil baju di dalam," jawab Nadine. Dalam hatinya bertanya-tanya mengapa Niken begitu lama memgambil gaun.

"Oh. Mau saya temenin?"

"Gak usah. Saya nunggu di sini aja. Itu kamu lagi ditungguin sama mereka."

Nadine menunjuk tiga wanita yang masih memilih gaun sambil berbisik-bisik.

"Oh biarin saja. Milihnya lama. Saya di sini aja mau nemenin kamu."

Janu langsung duduk di sebelah Nadine yang terlihat semakin salah tingkah.

"Tapi, kan--" Kata-kata Nadine terhenti saat Sarah datang menghampiri mereka.

"Siapa ini, Nak?" tanya Sarah.

"Kenalin, Ma. Ini Nadine."

Dengan sigap Janu kembali berdiri. Begitu juga dengan Nadine. Gadis itu menyebutkan nama sambil bersalaman.

"Baru pulang kerja?" tanya Sarah sembari melirik seragam yang dipakai gadis itu.

"Iya, Tante. Ini lagi nungguin temen. Lagi ambil gaun di belakang." Nadine menjelaskan karena merasa risih dipandang dengan penuh selidik seperti itu.

"Oh begitu. Ngomong-ngomong kamu ini cantik banget."

Sarah menatap Nadine dengan lekat, melihat dari atas sampai ke bawah.

"Iya, dong. Pilihan Janu." Lelaki itu menjawab dengan percaya diri.

"Hah? Maksudnya?" tanya Nadine kebingungan. Dia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia pacar kamu?" tanya Sarah penasaran.

"Bukan," jawab Nadine cepat.

Jangan sampai Janu berbicara macam-macam. Tadi sekilas Nadine mencium seperti ada semacam bau-bau perjodohan antara Janu dan gadis muda itu.

"Oh! Tante kira kalian pacaran," ucap Sarah kecewa.

"Memang Nadine ini bukan pacar aku, Ma."

"Lalu?"

"Dia calon istri," jawab Janu santai.

Nadine tertegun dan tak dapat berkutik saat Janu merengkuh pundaknya. Dia bahkan sengaja menyentuh kepala gadis itu untuk menyakinkan sang mama agar percaya dengan aktingnya.

***

Janu menahan tawa, apalagi saat melihat bibir Nadine yang ditekuk. Gadis itu seperti anak kecil yang sedang merajuk. Sejak tadi pandangan matanya hanya menatap jalanan.

Janu sudah meminta maaf karena lancang telah menyentuh Nadine, tetapi gadis itu tidak terima. Apalagi saat dia memaksa untuk mengantar pulang, sehingga didiamkan sejak tadi.

Sambil menyetir, Janu memutar lagu. Rasanya lucu sekali saat melihat Nadine yang terus saja cemberut, sementara mereka hanya berdua di mobil.

"Cantik. Ingin rasa hati berbisik. Untuk melepas keresahan, dirimu ...."

Nadine membuang pandangan. Dia semakin kesal sewaktu Janu mengucapkan kata-kata cantik dan menoleh ke arahnya.

"Berisik."

Akhirnya Nadine bicara juga. Suara Janu yang cempreng membuatnya gerah. Tangannya terangkat menutup kedua telinga.

"Enakan nyanyi dari pada manyun begitu. Gak asyik."

Janu melirik wajah cantik di sampingnya. Dia mencuri pandang pada sosok sempurna ciptaan Tuhan itu. Entah mengapa saat berada didekat Nadine, dia menjadi berbeda.

Mendengar itu, akhirnya Nadine menyerah juga. Gadis itu ingin mendiamkan Janu tetapi tidak mungkin, mengingat saat ini dia di antar pulang. Tadi setelah Niken selesai mengambil gaun, gadis itu meminta maaf kepada sahabatnya karena tidak bisa pulang bersama.

"Iya kalau suaranya bagus. Ini cempreng siapa juga yang mau dengar."

"Cantik-cantik kok mulutnya bawel," sindir Janu. Dia sengaja melakukan itu biar Nadine semakin kesal. Tenyata menggoda seorang wanita itu asyik juga.

"Anterin pulang sekarang!"

Janu merasa senang. Ternyata membuat wanita emosi itu gampang sekali. Bercanda sedikit saja, hatinya langsung panas.

Janu memutar balik kendaraannya, berlawanan arah dengan lokasi rumah Nadine.

"Inikan bukan jalan pulang ke rumah saya," protes Nadine.

"Kita makan dulu ya. Laper nih dari tadi," jawab Janu sembari fokus menyetir menuju salah satu tempat makan favoritnya.

"Tapi saya mau pulang cepat."

Nadine sudah ditunggu mamanya sejak tadi karena lupa berkabar kalau hendak menemani Niken. Ini akibat dari bergosip tentang Pak Beni yang menembaknya tadi.

"Bilang aja sama mama kalau pulangnya agak telat. Makan dulu sama saya."

Janu beralasan. Selain lapar, dia juga masih ingin berlama-lama dengan Nadine. Kapan lagi dia dapat kesempatan seperti ini.

Nadine mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada mamanya supaya tidak merasa khawatir. Tak lama benda pipih itu berdering.

"Halo, Ma," jawabnya.

Terdengar balasan dari suara di seberang sana.

"Kamu pulang diantar siapa, Nak?" Nada suara itu terdengar sedikit khawatir.

"Teman," jawab Nadine singkat.

"Siapa?" tanya mamanya penuh selidik.

"Ada aja, nanti dikenalin."

Nadine hendak memutuskan sambungan saat mendengan pertanyaan panjang lebar dari mamanya.

"Cowok?"

"Mah, udah dulu ya. Nanti Ndin telepon lagi. Bubbye."

Nadine menutup telepon. Padahal mamanya belum selesai berbicara.

Janu yang sedari tadi menguping percakapan itu akhirnya tak kuasa menahan tawa. Dia tergelak ketika gadis itu menyebut namanya sendiri dengan sebutan Ndin.

"Apanya yang lucu?" tanya Nadine galak.

"Ndin? Siapa, tuh?" Janu menggoda lagi.

"Kamu!"

Nadine memukul bahu Janu karena kesal sejak tadi digoda terus. Ndin itu adalah panggilan kesayangannya sejak kecil.

"Jangan mukul entar nabrak."

Janu menahan pukulan itu dengan sebelah tangannya. Sementara, tangan yang satu masih memegang setir.

"Biarin. Aku sebel."

Janu menepikan mobil dan berhenti di depan sebuah mini market. Dia menarik tangan Nadine karena gadis itu tak kunjung juga berhenti.

"Apaan, sih."

"Diem gak! Kamu mau kita nabrak orang? Saya belum mau mati. Belum ngerasain indahnya nikah."

Wajah Nadine merona. Akhirnya gadis itu memilih diam. Janu menghela napas. Kenapa semua wanita sifatnya begini, labil dan tidak bisa ditebak.

"Terserah kamu."

"Kita makan dulu. Habis itu aku antar kamu pulang. Saya lapar," jelas Janu.

Perutnya sudah melilit sejak tadi. Sehabis pulang dari butik, Janu menolak undangan makan yang ditawarkan oleh Sasa. Untungnya, mamanya tidak marah, karena dia sudah menggandeng Nadine.

Ternyata cara menyenangkan mamanya cukup sederhana, yaitu dengan membawa calon menantu, walaupun itu hanya fiktif belaka.

"Salah sendiri kenapa tadi gak makan dulu."

"Saya buru-buru ditungguin mama. Kalau makan dulu, jadinya kan kita gak bakal ketemuan," jawab Janu beralasan.

"Apa hubungannya?" tanya gadis itu.

"Saya gak bisa ngenalin kamu sebagai calon istri. Kalau tadi ikut mereka makan, malah jadinya gak bisa nganterin kamu pulang."

Nadine mendelik. Janu percaya diri sekali ketika mengatakan hal itu. Mereka baru saja kenal. Jangankan berpacaran, mengenal lebih dekat saja belum.

"Jangan asal ngomong, Pak Dokter," ucap Nadine ketus.

Sikap Janu tadi di depan sang mama seolah-olah sudah menandai dia sebagai miliknya. Nadine merasa kesal karena Sasa menatapnya seperti musuh. Tentu saja dia tak enak hati, apalagi saat melihat raut wajah mereka yang kecewa.

"Sorry soal yang tadi. Saya pinjam nama kamu. Saya kira mama ke butik karena memang mau beli dress. Ternyata saya mau dijodohin lagi sama anak temannya."

Janu menarik napas panjang. Dia menyandarkan tubuh lalu memejamkan mata sembari memijat dahi dengan perlahan.

"Kan kamu tinggal bilang gak mau. Apa susahnya?"

"Ya gak mungkin juga bilang begitu waktu ada Sasa. Gak etis namanya."

Janu kembali menoleh dan menatap wajah cantik di sampingnya.

"Jadi selama ini kamu suka dijodohin?" tanya Nadine penasaran. Sedikit demi sedikit dia mulai tertarik pada kehidupan pribadi pak dokter ini.

"Iya."

"Kesian." Nadine tersenyum geli.

"Ngejek saya?" Janu menyindir.

"Emang. Gantian boleh, kan?"

"Gak lucu."

"Katanya laper. Kenapa malah berhenti di sini?"

Janu menyalakan mesin mobilnya lalu mulai melaju.

"Saya antar kamu pulang aja. Gak jadi makan. Makin pusing kepala saya kalau begini."

Mobilnya berbelok arah menuju sebuah jalan yang sudah diinfokan Nadine tadi. Bukan sebuah komplek elit milik orang kaya. Hanya perumahan biasa, tetapi sejuk dan asri.

"Makasih, ya," ucap Nadine berpamitan ketika mereka tiba di depan rumahnya.

"Saya gak ditawarin masuk?"

"Gak!"

"Tadi katanya mau ngenalin yang nganter."

Nadine mendelik menatap lelaki itu. Tanpa berucap, dia bergegas keluar dan meninggalkan Janu begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status