Share

Bab 6 - Uang Lamaran

“Dua miliar.”

Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.

'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'

“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.

Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.

“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”

“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”

Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”

Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang dilakukan tim termasuk dalam hitungan, berarti saya terhitung pernah melakukannya.”

“Maksudku dengan tanganmu sendiri,” aku cepat meluruskannya. Aku benar-benar ingin tahu dengan siapa aku akan berbagi rumah. Bahkan kamar, mungkin?

“Tidak. Saya belum pernah melakukannya.”

“Bagus! Dan tolong jangan pernah melakukannya,” sahutku cepat.

Setahuku, seseorang yang sudah pernah melakukan pembunuhan tidak akan merasa canggung untuk mengulangi perbuatannya. Maksudku, aku tidak ingin dia melakukannya padaku juga suatu saat nanti. Ingat, aku berniat untuk menceraikannya dalam waktu dekat dan takut jika dia akan membunuhku setelah aku melakukannya.

Steven tersenyum canggung, lalu mengangguk setuju. “Kalau Anda yang memintanya, saya akan berusaha.”

“Ya.”

'Hah? Kenapa harus mematuhiku? Oh... Benar juga, aku kan istrinya. Astaga, jadi dia benar-benar akan menganggapku sebagai istri yang sesungguhnya?'

Aku menatap kembali pada tumpukan uang. “Sebaiknya simpan kembali uang ini. Kita mungkin akan dirampok kalau ada yang tahu kau memiliki uang sebanyak ini,” saranku, walau ada sedikit rasa penyesalan dalam hatiku.

'Tsk…, andai Mama mengizinkannya melakukan lamaran… uang ini pasti akan… Haaaaahhh…, sudahlah…,' sesalku, yang tidak terpikir jika lamaran resmi itu sampai terlaksana, uang ini akan seperti uang darinya untuk membeli diriku.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, aku akhirnya menoleh pada Steven yang sedang menatap bingung padaku.

“Ini uang Anda. Silahkan kalau Anda mau menyimpannya,” sahutnya setelah bertemu pandang denganku.

“Ya. Sebaiknya seperti... A-apa?! Uangku?!” Aku sedikit histeris ketika menyadari maksudnya.

Aku menatapnya dengan mata terbuka lebar sementara ia terlihat menahan tawa.

“Saya memang ingin memberikannya pada Anda sejak awal. Sayang sekali ibu Anda tidak memberikan kesempatan.”

Aku menatap tumpukan uang itu lagi… lagi… dan lagi dan... Apa aku mau menolaknya? Tentu tidak. Aku tidak seperti itu. Terserah kalau ada orang yang mengataiku mau menikah hanya karena uang. Mereka tidak tahu, aku dinikahkan paksa dan kebetulan mendapat uang ini. Kucing dalam karung yang kupilih ternyata sangat manis! ―aku bahkan lupa kalau ibu tiriku lah yang memilihkannya untukku.

Aku menoleh lagi padanya, ingat kalau dia adalah pria yang langsung kutolak saat tahu kalau dirinya jauh lebih muda dariku dan pengangguran. Kalau waktu itu aku tahu dia akan memberiku uang 2 miliar, apa aku akan menerimanya? Tentu saja!

'Hohoho… Hmmm… Apa aku pensiun saja ya dari pekerjaanku? Tapi aku harus membayar pajak, kan? Hnnn? Apa uang yang di dapat dari lamaran juga harus membayar pajak? Tidak, kan?'

“Anda ingin saya membantu untuk menyimpannya?” tanya Steven membuyarkan lamunanku.

“Ya...? Tidak. Aku akan menyimpannya sendiri. Terima kasih.”

“Maksud saya, akan lebih baik kalau saya membantu Anda memindahkannya ke brankas. Saya lihat Anda memilikinya di kamar.”

“…Oh... K-kau benar. Kalau begitu, tolong bantu aku memindahkannya.”

❀❀❀

Aku tersadar dari pingsan sekitar pukul 6 pagi dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Butuh waktu satu setengah jam untuk memindahkan tumpukan uang itu ke dalam kamar. Untungnya aku kebetulan memiliki banyak waktu luang karena hari ini hari Sabtu dan aku sedang libur bekerja.

Setelah kami selesai memindahkan semua uang, Steven memintaku untuk mengantarnya membeli pakaian tambahan untuknya dan kami pun pergi ke toko baju terdekat yang kutahu.

Aku melihatnya memilih pakaian dengan asal. Dia tampak tidak memedulikan harga atau kualitas pakaian yang dibelinya. Asalkan ukurannya cocok, dia langsung mengambilnya.

'Apa dia tidak masalah kalau pakaiannya tidak nyaman di kulit? Ah, terserahlah…, yang penting kami akan cepat pulang. Ada banyak uang yang kutinggalkan di rumah.'

Aku sebenarnya ingin membayarkan pakaian itu, hitung-hitung sebagai hadiah dariku untuknya. Namun Steven sudah terlebih dahulu membayarnya menggunakan sebuah kartu debit ―atau aku yang sengaja membuka ritsleting dompetku dengan lambat?

Setelah dari toko pakaian Steven juga mengajakku makan di luar dan aku membawanya ke rumah makan Cina yang pernah kulihat dalam perjalanan ke kantor. Aku sebenarnya memilih toko pakaian dan rumah makan secara asal karena aku juga baru 1 minggu tinggal di daerah ini.

“Makanlah,” ucap Steven, “Anda belum makan sejak kemarin, kan?”

“Ah... Benar juga.” Aku sendiri sampai lupa kalau aku belum makan sama sekali sejak kemarin pagi.

Sebenarnya, saat ini aku telah melupakan segalanya. Dalam ingatanku hanya ada bergepok-gepok uang yang ada di brankas, terutama yang kusimpan di lemari pakaian. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Pepatah yang pernah kudengar itu memang benar adanya. Aku bahkan meletakkan pikiranku juga di sana.

'Harusnya aku membeli brankas yang lebih besar beberapa buah. Bagaimana kalau ada yang masuk dan mencuri uang yang kusimpan di lemari?' Memikirkannya membuatku sakit kepala hingga tanpa sadar memijat-mijat kepalaku dengan ujung belakang sendok.

Aku baru tersadar setelah mendengar Steven tertawa sambil menatap ke arahku. Aku menoleh ke belakang, namun di belakangku hanya ada tembok dengan sebuah poster ayam goreng besar.

'Dia menertawakan poster ini? Memang lucu sih.'

“Anda terlihat sangat gelisah,” ucap Steven seakan mengerti kegundahanku.

'Oh… Dia menertawakanku.'

Aku menoleh ke kanan kiri, melihat apakah ada pengunjung lain yang sedang memerhatikan kami, lalu menarik bangku lebih dekat ke meja dan berbicara padanya dengan suara pelan. “Aku agak mengkhawatirkan uangnya. Bagaimana kalau kita pulang saja setelah makan?”

“Saya sudah selesai.”

Tatapanku beralih pada piring makannya yang sudah kosong. 'Hah? Kapan dia menghabiskannya?'

“Kalau begitu ayo kita pulang,” ajakku dengan semangat sambil memundurkan kembali kursi dan langsung berdiri.

“Anda baru makan beberapa suap.”

Aku akhirnya duduk kembali. Mendekatkan wajahku pada wajahnya, lalu berbicara, “Aku bisa membeli restoran ini selama uang itu masih ada. Kalau uang itu hilang, aku mungkin tidak akan semangat makan lagi.” Aku sedikit mengeluh padanya agar bisa segera pulang ke rumah, tapi dia malah tertawa.

Aku menatapnya kesal. Entah apa yang dia tertawakan namun aku hanya merasa kesal. “Aku pulang sekarang,” ucapku sedikit merajuk karena dia hanya tertawa dan sepertinya masih belum berniat beranjak dari kursinya.

“Tunggu. Tolong jangan khawatirkan uangnya.”

“Kau mungkin tidak khawatir karena kau...,” aku terkesiap. “Apa kau akan mengganti kalau uangnya hilang?”

Dia mengangguk.

Aku masih menatapnya, mengamati ekspresi wajahnya untuk menilai apakah dia hanya asal bicara atau tidak.

'Gila! Dia serius?'

Aku pun mengambil sendok dan garpu lagi lalu makan dengan lahap, cepat, dan tak tahu malu.

Sampai jam 7 pagi tadi aku masih tidak memercayainya dan sekarang aku percaya padanya setelah dia memberiku uang 2 miliar.

'Ha... Siapa sih yang tidak silau dengan uang sebanyak itu?' Jalan pikiranku memang tidak bisa ditebak, bahkan oleh diriku sendiri.

“Apa yang kau lihat?” tanyaku saat tidak sengaja bertemu pandang dengannya.

Steven tersenyum lembut lalu menggeleng.

“Apa kau menertawakanku?”

“Tidak... Saya cuma tidak menyangka akan menikah dengan wanita seperti Anda.”

Uhuk...!

Kata-katanya membuatku teringat kembali akan perbedaan usia kami yang terlampau jauh, membuatku tersedak nasi yang baru kusuap ke mulutku.

Steven dengan cekatan memberikan air minum dan tisu padaku. Gerakannya bahkan lebih cepat dariku yang seharusnya lebih responsif karena akulah yang tersedak.

“Apa kau sekarang menyesalinya?” tanyaku setelah meredakan batuk-batukku.

“Mana mungkin saya menyesal? Justru saya hampir tidak percaya bisa menikahi wanita secantik dan semanis Anda.”

“...”

“...”

'Kyaa... Pujianmu sangat memabukkan.' Aku tersipu kegirangan dalam hati

Untung saja mulutku sedang kosong. Jika tidak aku pasti akan tersedak lagi ―yah, untung saja aku tidak tersedak udara.

MeowMoe

Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_ Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_

| 2
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bagus Wibowo
gaaasss poooolllll
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status