Share

Bab 5 - Tumpukan Uang

Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat terbangun dari tidurku dan langsung melihat...

“Astaga! Kau siapa?!” Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan akhirnya terpojok ke dinding, menatap takut pada pria tampan berperawakan tinggi dan atletis yang sedang duduk di tepi ranjang tidurku.

'Dia…'

Steven...

Suamiku...

Senjata api...

Mafia...

'Astaga!'

Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi, juga mengingat apa yang sudah kutemukan di dalam ranselnya.

Parahnya, aku sekarang berada di dalam kamar yang sama dengan pria yang ku duga sebagai anggota mafia.

'Aku bersama seorang mafia! Bagaimana ini?!'

Aku akhirnya ingat jika telah kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.

“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat —mungkin menyadari ketakutanku— sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh dariku yang sudah terpojok di dinding.

“Lihat...,” dia mengangkat selembar kertas di tangan kanannya lalu menaruhnya perlahan ke atas tempat tidur. Sambil menunjuk kertas itu dia kemudian menjelaskan, “Ini surat izin membawa senjata api. Anda pasti tahu kalau tidak sembarang orang diizinkan memiliki senjata api di negara kita, kan?”

Aku masih menatapnya dengan tubuh gemetar sebelum akhirnya menurunkan pandanganku pada selembar kertas yang baru saja diletakkannya di atas tempat tidur.

'Benar, dari yang kutahu memang begitu. Tidak sembarang orang memiliki izin membawa senjata api di negara ini.'

Aku mendekati kertas tersebut sambil terus menatap ke arahnya, takut kalau dia tiba-tiba menyergapku. Aku kemudian membaca tulisan di kertas dengan cepat, melihat cap dari POLRI dan yakin kalau cap itu asli.

Mengetahui itu, aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega, setidaknya sedikit dari rasa takut sudah beranjak pergi dari pikiranku.

Aku menatap Steven kembali. “Kenapa kau punya senjata api? Kalau kau bukan penjahat, apa kau seorang pengawal pribadi? Tidak mungkin kau Polisi, kan?”

Aku melihat keraguan di wajah Steven, juga bisa mendengar helaan napas pendek darinya.

“Saya seorang pengawal pribadi,” sahutnya.

Kami bertatapan dalam keheningan cukup lama setelahnya. Aku menatap dalam pada manik hitam di kedua matanya, mempelajari apakah ada kebohongan di sana, sementara dia menatapku dengan ekspresi seakan memohon agar aku memercayainya.

'Baiklah, ayo coba percaya padanya. Setidaknya dia bukan pengangguran, kan?'

“Di mana senjatanya?” tanyaku lagi.

Steven tidak menjawab dan malah bergegas pergi keluar kamar, sebelum akhirnya kembali dengan membawa komponen senjata api yang masih terpisah-pisah itu padaku dan meletakkannya di tepi ranjang.

Melihat keadaan senjata api yang masih terbongkar, aku menjadi jauh lebih tenang.

“Lalu... Apa gaji pengawal pribadi sebesar itu? Maksudku... Aku juga melihat tumpukan uang di dalam ranselmu.”

'Ups, astaga! Bodoh. Aku malah mengumumkan sendiri kalau aku sudah membongkar tasnya.' Tanpa sadar aku menepuk mulutku yang sudah kelepasan berbicara karena rasa penasaranku yang terlalu besar.

Tapi Steven kemudian mengangguk. Hanya itu jawaban yang diberikannya padaku.

“Baiklah... Jadi..., kau bukan mafia atau sejenisnya, kan?” Walau sebelumnya dia sudah menjelaskan dirinya bukan penjahat, aku tetap ingin memastikannya lagi. 'Yah..., setidaknya memastikan kalau masa depanku benar masih ada.'

Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya. Dia terkejut, lalu terlihat jelas sedang menahan diri agar tidak tertawa. 'Dia mau tertawa? Dia sedang menahan tawa, kan?'

“Bukan. Saya tidak bekerja seperti itu.”

“…”

“Saya tidak melakukan hal yang melanggar hukum.”

“B-begitu...”

"Maaf jika sudah membuat Anda takut."

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menutup wajah dengan kedua tangan. Aku benar-benar merasa malu karena sudah bersikap bodoh di depan pria yang berusia 10 tahun lebih muda dariku ini.

'Huft... Kenapa aku malah merasa diriku jadi kekanakan sekali sih?' Aku menyesal karena telah kehilangan ketenangan di hadapan pria yang bahkan berusia lebih muda dari adik tiri laki-lakiku ini.

'Tapi mana ada wanita yang tidak takut saat ada orang asing membawa senjata api di hadapannya, kan? Ini tidak memalukan. Bukan pula kekanakan. Ini adalah hal yang wajar. Iya benar, ini sangat wajar…'

Saat masih berusaha mengembalikan kepercayaan diriku lagi, aku merasakan kelembaban dan basah di antara kedua pahaku. 'Hah? Tunggu... Kenapa basah?'

Tidak ingat kalau Steven berada di hadapanku, aku langsung meraba-raba bagian yang kurasa basah.

“Anda mengompol...,” ucap Steven dengan ragu, sepertinya menyadari kebingunganku akan diriku sendiri.

Aku menatapnya dengan mulut terbuka lebar, lalu melihat celana panjang ketatku yang memiliki bekas basah lebar di antara kedua pahaku. 'Astaga... Memalukan sekali!'

Aku langsung melompat dan berlari ke kamar mandi, tapi tak lama kemudian balik lagi untuk mengambil pakaian ganti di lemari, lalu bergegas berlari kembali menuju ke kamar mandi yang entah kenapa terasa menjadi sangat jauh.

Sekilas aku melihatnya memerhatikan kesibukanku sambil mengulum bibirnya. Aku tahu dia sedang menahan dirinya agar tidak tertawa.

'Memalukan! Benar-benar memalukan!'

❀❀❀

Setelah kesegaran air menj4m4h tubuhku, aku akhirnya bisa berpikir jernih kembali. Mencoba mengesampingkan pemikiran lain, aku menatap kembali ke lantai, pada pakaian kotorku yang berhamburan.

Saat aku bangun tadi, aku masih berpakaian lengkap. Pakaian yang sama dengan yang kukenakan untuk pernikahan. 'Dia tidak melakukan apa-apa padaku, kan?'

Aku lebih meyakininya setelah ingat kalau dia bahkan tidak menggantikan celanaku yang basah. Dia mungkin benar-benar bukan orang jahat yang sudah pasti akan memanfaatkan keadaan saat aku pingsan.

Aku menoleh ke cermin yang berada di balik pintu kamar mandi, menatap pantulan diriku yang ada di dalamnya. 'Atau karena aku kurang menarik?'

Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang.

“Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan setelah duduk di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung yang berlawanan.

“Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.”

Aku tersenyum kaku lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak keluar dari kamar mandi tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami.

“Jadi... Apa maksudnya ini?” tanyaku dengan kedua mata yang masih tertuju pada tumpukan uang.

“Ini… Sebelumnya saya ingin minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya ingin melakukannya tapi ibu Anda mengatakan kalau itu tidak perlu. Beliau ingin agar kita langsung menikah saja.”

“Begitu ya…”

'Tsk… Dasar ibu tiri brengsek!'

Apa yang kuucapkan tidak sama dengan apa yang kupikirkan. Namun demikian, aku akhirnya mengangguk pelan saat ingat apa yang ibu tiriku katakan padanya juga sama dengan yang dikatakannya padaku. Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku tadi.

“Jadi... Uang ini sebenarnya uang yang akan saya gunakan untuk melamar Anda, uang yang ingin saya berikan pada Anda,” lanjut Steven.

“Apa?!”

Steven ikut terkejut saat aku, secara tidak sengaja, memekik kaget mendengar apa yang baru dikatakannya.

'Wow! Untukku? Tunggu... Tadi itu ada kata sebenarnya, kan? Berarti tidak untukku lagi? Eh...?' Aku tiba-tiba menyadari maksudnya. “Apa kau ingin memberikan uang ini pada ibu tiriku?!” tanyaku merasa tidak terima.

“Tidak... Sejak awal saya memang ingin memberikan uang ini pada Anda.”

Aku menatap tumpukan uang itu lagi sambil menelan ludah. 'Syukurlah kalau bukan untuknya. Tapi aku ikut rugi juga,' sesalku dalam hati, mengira kalau dia pasti membatalkan niat untuk memberikan uang ini padaku karena tidak diberikan kesempatan melamarku dengan benar oleh ibu tiriku.

“Saya tahu kalau Anda sebenarnya tidak ingin menikah. Anda mungkin menikah hanya karena terpaksa.”

“Dari mana kau bisa tahu?”

“Saat saya meminta untuk bisa berbicara pada Anda, ibu Anda selalu memberikan alasan yang saya rasa tidak masuk akal.”

Aku mengernyit, menatapnya sembari tersenyum tipis. 'Intuisinya bagus juga. Pengawal pribadi memang beda.' Aku berpaling kembali pada tumpukan uang. “Tapi... Ada berapa banyak uang ini?” tanyaku tanpa merasa sungkan.

Rasa penasaranku mengalahkan akal sehatku yang berusaha menahan diri untuk tidak bertanya.

MeowMoe

Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_

| 1
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Hi5
kocak hhhhhh
goodnovel comment avatar
Boa
seru wkwkwk
goodnovel comment avatar
Bagus Wibowo
gasss poool
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status