Share

Bab 4 - Temuan Yang Mengejutkan

Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintu kamar mandi itu. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi.

Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.

'Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.'

Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran yang lebih banyak sebelum menambahkan air dingin juga ke dalamnya. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi.

Aku kemudian membawanya ke sofa lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.

Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tentu saja tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran.

"Kalau pakaiannya ada di kantong plastik, lalu apa isi ransel besar ini? Kenapa dia tidak menaruh pakaiannya di dalam ransel saja?"

Aku menatap ke pintu kamar mandi sebentar, lalu mendekati kantong plastik yang Steven letakkan di lantai, di dekat tas ranselnya, kemudian menyentuh kantongan plastik itu dengan ujung jemariku lalu menekan-nekannya. Dari kelembutannya aku menebak kalau isi tas plastik ini hanya pakaian.

“Hmmm...” Aku malah penasaran juga dengan isi ranselnya.

Aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, lalu menatap tas ransel lagi. "Apa tidak masalah kalau aku mengecek isinya?" Aku mempertimbangkan untuk membuka ranselnya karena penasaran dengan ukurannya.

"Tidak. Ini tidak benar."

Aku menyandarkan tubuhku ke sofa dan duduk diam beberapa saat.

Setelah mendengar suara air berjatuhan di lantai kamar mandi, barulah aku mendekati tas itu lagi.

"Benar. Kalau mau melihat isinya, inilah saatnya. Asal tidak ketahuan tidak apa-apa, kan?"

Aku meraih ritsleting ransel lalu menariknya perlahan sembari terus menatap ke pintu kamar mandi, mengawasi seandainya Steven tiba-tiba membuka pintu tersebut.

Setelah kurasa tasnya sudah terbuka cukup lebar, barulah aku memalingkan wajah dan memeriksa isinya.

“Astaga!”

Aku melepaskan tas itu secara refleks. Tubuhku juga ikut mundur menjauh dengan refleks setelah melihat apa yang ada di dalam sana.

Dengan jantung berdebar kencang akibat adrenalin yang meningkat, aku akhirnya menghampiri tas itu lagi untuk memastikan apa yang baru saja kulihat.

Benar saja. Ada sepucuk senjata api, HP model lama, dan sebungkus rokok di dalamnya dan... Aku membuka tas itu lebih lebar lagi, menggali-gali isinya untuk memastikannya lebih jauh.

Selain benda-benda tadi, yang diletakkan di bagian atas, ransel itu hanya berisi bergepok-gepok uang seratus ribu yang masih tersegel per sepuluh juta dan tersusun dengan sangat rapi.

“Dari mana uang-uang ini? Apa dia..."

Rasa takut mulai melanda pikiranku setelah melihat senjata api itu lagi, membuatku dengan segera mengembalikan semua benda yang baru saja kukeluarkan dari ransel dan menutupnya kembali.

Aku buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi, saat tidak mendengar suara air lagi dari dalam kamar mandi.

'Oh, tidak...! Itu ketinggalan…'

Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi sudah kuletakkan di meja, dan bergegas kembali ke area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu.

'Hampir saja.'

Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku.

Walau sangat sulit untuk dilakukan setelah apa yang baru saja kulihat di dalam ranselnya, aku memaksa bibirku untuk tersenyum. Tapi rasa takut yang sudah menguasaiku secara penuh membuatku susah untuk tersenyum. Senyumku pasti akan terlihat aneh di matanya.

Menyadari kebodohanku, aku melirik ke arah ransel. 'Bodoh! Harusnya kuambil saja pistolnya,' pikirku, menyesal tidak melakukannya.

Entah dia menyadari atau tidak, Steven kemudian pergi menuju sofa dan duduk di dekat ranselnya, lalu membuka ritsletingnya.

Dadaku menjadi sesak. Tanpa sadar aku menahan napas, terutama saat melihatnya mengeluarkan senjata api itu dari dalam tasnya.

'Oh, astaga... Bagaimana ini!?'

Dengan santainya ia mengeluarkan senjata itu seolah itu hanyalah senjata mainan, lalu dengan santai pula ia meletakkannya di atas meja seakan aku tidak melihatnya.

'Apa yang ingin kau lakukan?!' Aku berteriak dalam hati.

Setidaknya kalimat itu yang ingin kuteriakkan, tapi kalimat itu tidak pernah terlontar dari mulutku. Aku mulai panik dan gemetar ketakutan. Tubuhku terasa sangat lemas hingga tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang masih kupegang.

Pyaarr!

Suara gelas pecah dari dekat kakiku malah membuat Steven terkejut dan langsung menatap ke arahku, sebelum menatap pada senjata apinya lagi.

“A-apa... yang… ingin kau lakukan?” Aku akhirnya bisa mengucapkan kalimat itu dengan susah payah setelah melihat Steven memegang senjata api itu lagi.

“Tidak! Maaf, saya hanya ingin mengeluarkannya saja,” sahutnya dengan ekspresi penuh penyesalan.

'Hanya mengeluarkannya? Benda berbahaya itu? Oh, yang benar saja! Benda itu bahkan bisa membunuhku.'

Aku melihat Steven berdiri dan tampak hendak berjalan ke arahku namun berbalik lagi dan berjongkok di dekat meja sambil mengangkat senjata api itu ke depan dadanya.

“Jangan... tolong...,” pintaku dengan suara bergetar takut. Sebenarnya suaraku hampir tidak keluar sama sekali.

“Tidak... Anda salah paham. Tolong percaya pada saya. Saya tidak bermaksud menyakiti Anda,” ucapnya sembari membongkar senjata api itu dengan cepat.

Aku melihatnya memisah-misahkan bagian senjata api itu dengan sangat cekatan dan sangat cepat seolah sudah sangat terlatih melakukannya, hingga akhirnya melihat senjata api itu tidak lagi bisa digunakan untuk menembak.

“Maaf, di tempat saya biasanya memegang benda ini sudah biasa. Jadi saya tidak mengira Anda akan takut. Maksud saya… saya lupa kalau saya sedang tidak berada di kampung saya.”

Kata-kata itu justru tidak menenangkan, apalagi menghiburku. Imajinasiku malah berkembang semakin liar. 'Senjata api adalah benda biasa di tempatnya? Tinggal di mana dia sebenarnya? Di sebuah medan perang?'

Aku teringat kembali dengan apa yang dikatakan Bu Rosa. Dia… Steven, mungkin benar-benar anggota mafia. 

'Benar! Dia punya senjata api. Ada banyak uang di dalam ranselnya, juga ponsel model lama, dan rokok. Dan... sudah biasa memegang senjata api. Semuanya sangat cocok dengan apa yang sering kulihat di film-film Hollywood. Dia mafia!'

Polisi atau tentara tidak mungkin membawa uang sebanyak itu kemana-mana. Dia pasti anggota mafia. Pasti seperti itu.

'Mama sialan! Dia pasti mau membunuhku karena ingin menjual tanah dan rumah kami!' Aku mengumpat dengan pemikiranku yang semakin berkembang luas, baru menyadari alasan mengapa ibu tiriku memaksaku untuk menikahi pria ini.

Aku melirik pada salah satu pintu yang akan langsung tembus ke halaman belakang rumah andai aku bisa membukanya. Itu adalah pintu terdekat dari posisiku berdiri.

'Aku harus melarikan diri sekarang!'

Aku pun bergegas berlari menuju pintu itu.

Setidaknya itulah niatku.

Sayangnya, syok yang kudapat setelah melihatnya mengeluarkan senjata api membuat kedua kakiku kaku dan gemetar. Bukannya berlari, aku malah terjatuh. Bahkan aku kemudian pingsan saat melihat Steven berlari ke arahku. 'Mati aku!'

❀❀❀

MeowMoe

Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_

| 1
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Hi5
detail ceritanya bagus, semangat otor
goodnovel comment avatar
Siti Rayanna
lucu ceritanya ssru juga
goodnovel comment avatar
eko pujianto
bagus bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status