Share

Bab 3 - Rumah Pengantin Baru

“Baru pertama kali ke Jakarta?” tanyaku, ingin membuat suasana sedikit mencair setelah seharian ini agak mengabaikannya.

Steven menoleh dan tersenyum padaku.

'Oh astaga, ayo bernapas Keysa... Oke baiklah, jantung? Aman…' Aku baru menyadari, selain tampan, dia memiliki senyum yang sangat memesona.

“Ya, ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta,” sahutnya sebelum kembali tersenyum, membuatku buru-buru mengalihkan mataku dari bibirnya.

'Astaga, yang benar saja! Bagaimana bisa ada pria yang tersenyum semanis ini?'

“Apa jalanan di Kalimantan tidak seramai ini?” tanyaku lagi seraya berusaha menjauhkan tatapan dari bibirnya.

“Di kotanya cukup ramai. Tapi tidak seramai ini. Dan...,” ia mengernyitkan kedua alis sembari tersenyum aneh, “jalanannya tidak berisik,” lanjutnya.

“Tidak berisik? Bukankah semua jalanan pasti akan berisik kalau sedang ramai?”

“Tidak ada yang membunyikan klakson sesering ini.” Steven tersenyum kaku.

“Oh...”

Aku hanya bisa menanggapi dengan senyum kaku yang sama. Sepanjang hidupku, aku hanya pernah pergi seputaran Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Bali. Jadi aku tidak bisa membayangkan jalanan padat kendaraan tanpa adanya kebisingan klakson.

'Di Bali yang tenang saja aku masih sering mendengar suara klakson,' kenangku. Aku dulu kuliah di Bali dan seingatku jalanan di sana juga hanya sedikit lebih tenang saja dari jalanan di sini.

Taksi yang kupesan akhirnya tiba dan kami pun pulang menuju rumah pengantin baru kami.

Oh, omong-omong ibu tiriku membelikan kami sebuah rumah sederhana sebagai hadiah pernikahan.

Tidak... Sebenarnya tidak bisa disebut sebagai hadiah. Menurutku rumah itu disediakan untuk kami agar aku bisa pergi dari rumahku. Rumah ayahku.

Aku tahu, ibu tiriku ingin menjual rumah itu sejak lama. Seperti yang pernah kukatakan, beberapa pengusaha menginginkan tanah dari rumah kami yang berukuran sangat luas, sepertinya ingin membangun ulang rumah itu menjadi komplek rumah toko.

Tapi ibu tiriku selalu gagal menjualnya karena aku terus-terusan menolak untuk pindah dan tentu saja menolak untuk menandatangani akta jual-belinya.

Setelah kupikir-pikir lagi, sindiran ibu-ibu tetangga kami yang selalu mengataiku perawan tua justru digunakannya sebagai kesempatan untuk menikahkanku secara paksa agar aku pindah dan tercoret dari daftar pewaris utama tanah milik ayahku itu.

Sekarang karena aku sudah pindah, ibu tiriku sudah pasti akan menjual rumah itu segera.

“Baru jemput adik ya, Neng?” tanya supir taksi membuyarkan lamunanku.

'Haiss… Adik?'

Aku tersenyum pahit membalas tatapan pria paruh baya itu dari kaca spion di dekat kepalanya, lalu melirik pada Steven yang juga sedang tersenyum sambil menatapku.

'Argh... Tuh, kan? Pasti kelihatan sekali kalau aku lebih tua darinya. Untung saja tidak dikira keponakanku.'

“Kami suami-istri, Pak,” sahut Steven menggantikanku.

Aku segera melirik kembali ke arah spion. Memicingkan kedua mataku, ingin melihat reaksi pak supir setelah Steven memberi jawaban.

Pria paruh baya itu mengangguk-angguk kecil. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Kalaupun ada, hanya sedikit. Tidak berlebihan.

“Saya pikir Neng ini kakaknya, Bang...,” ucap pak sopir. “Menikah dengan jarak usia satu atau dua tahun dengan wanita yang lebih tua tidak jadi masalah sih, Bang,” tambahnya lalu tertawa cekikikan.

'Apa?! Tidak, tunggu…'

Aku sebenarnya agak kesal dengan apa yang dia bicarakan. Topik pembicaraannya memang kurang sopan. Terlalu bersifat privasi. Tapi..., 'Satu sampai dua tahun? Apa jarak usia kami hanya terlihat sejauh itu?'

Aku tertawa.

'Terlihat 1-2 tahun kan, ya? Yuhu... Syukurlah tidak seburuk yang kukira.'

Pak supir sampai menoleh padaku, terkejut saat aku tiba-tiba saja tertawa.

“Maaf Neng kalau ternyata seumuran atau Neng-nya lebih muda. Hehe...”

“Apa terlihat seperti itu, Pak?” tanyaku dengan penuh semangat sebelum akhirnya tertawa lagi.

“Maaf Neng. Maklum sudah tua, mata bapak sudah agak rabun...”

Tawaku sirna seketika.

'Jiaahhh... si Bapak... Aku sudah melayang tinggi malah ditarik jatuh seketika. Jadi karena mata rabunnya maka dia tidak bisa melihat perbedaan usia kami yang sangat jauh, ya? Haaahhh... Ternyata bukan karena aku terlihat awet muda.'

Aku tertarik untuk menoleh pada Steven saat merasa kalau dia sedang menatapku, memerhatikan diriku yang sedang mengobrol dengan pak supir.

Ternyata bukan hanya menatapku. Dia sedang tersenyum juga.

'Haisss... Jangan tersenyum terutama untuk mengejekku! Kau tidak tahu kalau senyummu itu… Ah sudahlah!'

Saat aku mengernyitkan kedua alisku, Steven buru-buru mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana lalu mendekatkan ponselnya padaku.

Aku membaca tulisan “Anda memang terlihat awet muda,” di layar ponselnya.

Setelah mendelik padanya selama beberapa saat, aku pun mengambil ponselku juga lalu menunjukkan balasanku padanya, “Tidak usah menghiburku.”

Berikutnya dia membalas agak panjang, “Saya tidak sedang menghibur, apalagi berbohong. Jujur, saat saya melihat foto Anda, saya kira ibu Anda membohongi saya tentang usia Anda. Dan saat saya melihat Anda untuk pertama kalinya, saya tidak percaya jika Anda terlihat jauh lebih muda lagi dibandingkan yang ada di foto.”

'Omong kosong! Hahaha... Huft… rayuan lelaki.'

Aku menyimpan kembali ponselku, tidak berniat membalas pujian Steven yang kuanggap hanyalah bualan kosong seperti yang sering para lelaki hidung belang ucapkan padaku.

Aku kemudian melirik sebentar pada pak sopir melalui kaca spion ―yang sedang senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia memerhatikan interaksi yang aku dan Steven lakukan.

Aku akhirnya memalingkan wajah dari mereka, memerhatikan kendaraan yang berlalu-lalang dari balik kaca mobil di sebelah kananku.

Dalam lamunanku, aku kembali ingat dengan apa yang baru saja Steven katakan dan itu membuatku tidak bisa menahan senyum. Mungkin saja itu caranya untuk mencairkan suasana di antara kami agar bisa dekat denganku. Dan pujian itu cukup membuatku sangat terhibur.

'Usahanya lumayan juga…'

Pada akhirnya, rasa takut akan terlihat jauh berbeda saat sedang jalan berdua dengannya ―yang selama beberapa hari ini menghantuiku— agak sedikit berkurang.

'Hah? Kenapa aku malah terbujuk oleh kata-katanya?!'

❀❀❀

Steven memerhatikan keseluruhan tampak luar rumah sederhana kami selama beberapa saat, lalu tatapannya berhenti agak lama pada teras rumah sebelum akhirnya mengikutiku masuk ke dalam rumah.

Rumah kami memang masih belum direnovasi. Rumah tipe 36 yang bahkan hanya memiliki teras seukuran 1x3 meter. Entah apa yang developernya pikirkan saat membuat teras seukuran itu. Mungkin, jika ukuran 1x2 meter tidak mirip seperti sebuah kuburan, mereka akan membuatnya seukuran itu.

Aku mempersilakan Steven duduk di sofa bulu, satu dari dua perabotan yang ada di rumah kami yang kesemuanya kubeli secara kredit.

“Kau lebih suka teh atau kopi?” tanyaku setelah menunggunya meletakkan tas ransel besar yang terlihat sangat berat itu, juga kantongan plastik yang sejak tadi ditentengnya, di lantai.

Entah apa isi plastik itu, kuharap bukan makanan khas daerahnya. Bukannya aku tidak suka makanan khas daerah lain, tapi makanan itu mungkin sudah basi setelah tertutup dalam kantongan plastik seharian.

Steven menatapku dengan mulut sedikit terbuka, seperti orang kebingungan, seperti baru saja mendapatkan pertanyaan yang agak berat untuk dimengerti.

'Apa di kampungnya teh dan kopi disebutkan dengan bahasa yang berbeda?'

“Air hangat saja,” sahut Steven akhirnya.

“Oh…, ok...”

'Itu lebih baik. Aku jadi tidak terlalu repot.'

“Apa saya boleh ke kamar mandi?”

Aku menatap wajahnya yang mengkilap dipenuhi keringat kering bercampur debu.

'Ah... Benar juga, dia pasti merasa gerah karena pertama kalinya ke Jakarta, kan? Tingkat kelembaban udara di sini dan di kampungnya pasti berbeda sangat jauh. Pantas sejak tadi dia terlihat gelisah.'

“Tentu. Kamar mandi ada di sana.” Aku menunjuk salah satu dari empat pintu yang ada di rumah kami. Bagi yang pernah tinggal di rumah tipe 36 pasti tahu, hanya ada 4-5 pintu di rumah bertipe tersebut. Pintu depan, pintu kamar, pintu kamar mandi, dan pintu menuju halaman belakang.

Aku memerhatikannya mengeluarkan handuk dan pakaian dari dalam kantongan plastik, lalu mengikutinya ke kamar mandi ―tentu hanya dengan tatapan mataku saja.

MeowMoe

Follow I6 ku juga ya, nanti di folback @_meowmoe_ Terima kasih sudah mengikuti novel ini. Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate. Thank you (^^)

| 3
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Bika Ambon
yoi kak wkwkwk authornya pendiam jd di bantu balas
goodnovel comment avatar
MADA
seru novelnya
goodnovel comment avatar
Bagus Wibowo
gas poooll
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status