Share

Bab 2 - Hari Pernikahan

Garis takdir sering kali tidak berjalan sesuai keinginanku walau aku sudah berusaha untuk mengikuti kemana arah angin membawaku.

Maksudku…, angin takdir yang dihembuskan oleh ibu tiriku.

Awalnya aku tidak ingin dipaksa menikah. Aku tidak peduli pada usiaku yang sudah menginjak 36 tahun dan masih belum juga menikah. Aku memang sudah tidak berencana untuk menikah karena aku ingin hidup bebas. Untuk itulah aku menyisihkan uang gajiku yang sudah banyak dipotong sana-sini.

Aku menabung sedikit demi sedikit untuk menikmatinya suatu saat nanti. Aku ingin menggunakan uang tabunganku untuk berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat indah yang selama ini hanya pernah kulihat melalui Youtube.

Jangankan kepikiran menikah. Aku bahkan baru pernah berpacaran 2 kali dan semuanya berakhir kurang dari 1 minggu. Luar biasa, bukan?

Kekangan dan mendapat sikap posesif. Ya, bisa dibilang itulah yang membuatku tidak senang menjalin hubungan dengan pria. Bahkan dengan siapa saja yang memiliki sikap seperti itu.

Apa yang kualami di dalam rumah sudah cukup membuatku jera. Aku tidak mau lagi hidup terkekang oleh orang lain. Cukup hanya karena rasa terima kasih pada ibu tiriku yang sudah merawat ayahku —saat aku tidak bisa mengurusnya karena disibukkan oleh kuliahku pada saat ayahku mulai lumpuh.

Tidak lagi. Aku tidak mau lagi hidup dalam aturan dari siapapun.

Tapi, seperti yang kukatakan tadi…

Hidup, terkhusus hidupku, hampir selalu tidak sesuai dengan apa yang kuinginkan. Saat aku sudah mengikuti arah angin ―untuk mau dijodohkan— tetap saja, dari semua calon yang ada pada akhirnya aku tetap dijodohkan dengan pria yang paling tidak ingin kunikahi.

'Walau kuakui dia sebenarnya cukup tampan sih… Upsss…'

Aku meliriknya sebentar, sembari menyesap teh hangat untuk mengusir rasa kesal yang masih melandaku.

Ya, pria itu, suami mudaku... Eh tidak... Maksudku, suamiku yang masih berusia muda, saat ini ada tepat di hadapanku. Duduk di seberangku dalam acara makan keluarga.

Sebenarnya waktu sudah berlalu selama 3 minggu sejak ibu tiriku mengumumkan perjodohan paksa itu.

Aku juga sudah melakukan perang gerilya untuk membatalkan rencana tersebut. Sudah juga mengikuti arah angin seperti yang kukatakan tadi, mengikuti kemauan ibu tiriku dengan memilih sendiri pria mana yang akan kunikahi dari kesepuluh pria yang direkomendasikannya.

Tapi begitulah… Aku gagal. Angin menghembuskanku lebih jauh dari tempat yang ingin kutuju, dan disinilah aku sekarang. Berada dalam acara makan keluarga setelah pulang dari KUA dan kantor pencatatan sipil untuk melakukan pernikahan yang sah secara Agama dan Hukum.

Tidak ada persiapan apapun yang kulakukan selain menyediakan foto 4x6 yang ibu tiriku minta untuk digunakan dalam dokumen pernikahan kami. Karena itulah foto di buku nikahku cukup berbeda, tidak dengan foto gandeng seperti biasanya.

Tidak ada acara pernikahan. Aku tidak mengenakan gaun pengantin yang didambakan setiap wanita saat melangsungkan pernikahan, juga tidak ada resepsi pernikahan. Sebagai gantinya kami hanya melakukan pesta kecil yang cuma bisa dikatakan sebagai acara makan-makan keluarga.

Aku bahkan tidak mengundang sahabat baikku untuk datang. Jika sahabatku saja tidak kuundang, apalagi teman-teman kantor dan kenalanku.

Jadi, pesta kecil ini tak jauh dari acara makan malam keluarga biasa yang memiliki menu sedikit lebih banyak dan pastinya sedikit lebih mewah jika harus dibandingkan dengan menu makan malam asal yang biasanya ibu tiriku hidangkan beberapa tahun belakangan.

“Kakak ipar ganteng juga ya.” Suara salah satu adik tiriku, yang menjadi satu-satunya tamu yang hadir, membuyarkan lamunanku.

Ya, kecuali dia. Nina, adik tiriku yang sedang menggoda suamiku. Selain dia tidak ada tamu lain. Ayahku pun tidak ada. Hanya aku, suamiku yang masih muda, ibu tiriku, dan Nina.

Aku menatap tajam pada Nina. Ingin rasanya mengumpatkan kata-kata kasar padanya, ditambah dengan saran, “Kalau begitu kenapa bukan kau saja yang menikahinya?”

Ingin rasanya ku lontarkan kata-kata itu andai tidak merasa kasihan dengan suamiku yang tampak canggung berada di antara kami yang merupakan orang asing baginya.

“Berapa usia Kakak?” tanya Nina lagi pada Steven, suamiku.

“Dua puluh enam,” sahut Steven singkat. Tidak seperti yang kuduga, Steven terlihat jelas tidak menanggapi kecentilan Nina yang padahal, menurutku sih, cantik dan manis.

'Ah… mungkin karena ada aku di sini.'

“Oh... Kakak cuma dua tahun lebih tua dari Nina?” Nina berbicara dengan gaya dan nada centil yang membuatku muak melihatnya.

'Ayolah Nina, tidak perlu berlebihan. Tingkahmu membuatku kenyang seketika!'

“Keysa pulang dulu,” ucapku sambil menggeser kursi dan bangkit berdiri.

“Kak Key sudah mau pulang? Kakak belum makan, bukan?” ucap Nina sok perhatian, padahal dia biasanya tidak begini.

'Halah... Tumben.'

“Aku tidak nafsu makan."

"Cie... Apa kakak sedang nafsu untuk segera melakukan malam pertama?"

'Bedebah ini!'

Untung aku bisa menahan diri untuk tidak mendampratnya seketika. Tapi dengan tatapan mataku, kurasa Nina tahu kalau aku marah padanya.

“Sudah... Sudah...," ibu tiriku menengahi.

Dia tahu kalau aku marah maka hanya dia saja yang bisa mengimbangi mulut berbahayaku. Tidak dengan Nina, juga adik tiri laki-laki lain yang tidak hadir dalam pernikahanku ini. Karena itulah dia dengan cepat mencegah agar aku tidak marah, terutama karena ini adalah hari pertama pernikahanku ―mungkin.

"Hati-hati di jalan ya, selamat menikmati malam pertama kalian,” ucap ibu tiriku lagi sambil mengusap-usap punggung tangan Steven seraya berkedip padanya.

'Oh yang benar saja! Menyebalkan!' Aku benar-benar muak melihat kelakuan Nina dan ibu tiriku ini. Orang-orang di rumahku memang tidak ada yang waras sama sekali ―mungkin termasuk aku.

“Ayo...,” ajakku pada Steven tanpa memedulikan Nina yang baru saja mencegah kami pergi. Dia terlihat tertarik pada Steven. Aku bisa merasakan itu.

Nina biasanya tidak mau bicara pada pria yang tidak disukainya. Dia bahkan pernah membiarkan seorang pria baik-baik yang suka padanya menunggu di luar rumah selama 2 jam hanya karena dia tidak suka. Keterlaluan, bukan?

Kalau aku mengingatnya lagi, aku merasa kasihan pada pria itu. Dia cukup baik, sopan, dan sudah bekerja setelah lulus kuliah. Hanya karena kurang dalam hal tampang, Nina tidak menerima cintanya.

Andai dulu ada pria seperti itu yang mendekatiku, aku mungkin akan menerimanya.

Steven mengambil tas ranselnya yang terlihat berat ―karena ransel itu sangatlah besar—, juga sebuah plastik hitam berukuran sedang sebelum akhirnya pergi mengikutiku dengan patuh.

Aku sebenarnya agak sedikit kasihan padanya. Sudah jauh-jauh datang dari desa untuk menikahiku, tapi setelah bertemu denganku, aku malah bersikap agak dingin padanya.

“Sungguh anak yang malang,” gumamku sambil menatap Steven yang sedang memerhatikan jalanan ramai kota Jakarta.

Omong-omong, Steven ternyata tidak dekil juga tidak berambut gondrong. Sepertinya yang kulihat tempo hari adalah foto lamanya.

Steven yang berada di hadapanku saat ini cukup rapi. Kulitnya bersih, rambutnya juga pendek dan tertata dengan sangat rapi. Singkatnya, dia tampan! Haha... 'Upsss...'

MeowMoe

Follow I6 ku juga ya, nanti di folback @_meowmoe_ / @MeowMoe21 Terima kasih sudah mengikuti novel ini. Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate. Thank you (^^)

| 3
Komen (11)
goodnovel comment avatar
M. Arwan
lucu ceritanya wkwkk
goodnovel comment avatar
Jeany Xin
ngecek lagi ke awal, ceritanya berkembang banget. keren othornya
goodnovel comment avatar
Hi5
menarik, alurnya hidup
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status