"Ayah ingin mengucapkan terima kasih langsung sama Aa, sekaligus minta maaf katanya, Aa bisa 'kan ke sini temui kami?" tanya Sabrina.Aku melirik suami tajam, awas saja jika mengiyakan."Duh aku sibuk, Sab. Istriku juga lagi hamil muda kasihan kalau harus dibawa pulang ke kampung, jalannya jelek. Bilang sama ayahmu aku sudah maafkan," jawab Mas LutfiBibirku mengembang, kagum sekali padanya. Ia bisa menjaga perasaanku sekaligus membuat Sabrina sadar akan posisinya."Oh istri Aa lagi hamil ya." Sabrina terdengar tak suka."Iya lagi hamil, dia ga bisa melakukan perjalanan jauh-jauh, kasihan nanti kecapekan."Hidungku mau melayang mendengar Mas Lutfi bicara begitu."Tapi Ayah ingin ketemu sama Aa langsung, gimana kalau kami saja yang datang ke sana?" tanya Sabrina.Ah gila, nekat juga dia ternyata. Bilang aja mau ketemu suamiku, pake bawa-bawa bapaknya lagi, bisa jadi bibit pelakor ini."Aku takut umur ayah ga panjang, sebelum meninggal ia ingin ketemu Aa, mau minta maaf karena sudah men
"Ya saya sih pasrah aja, ibu-ibu. Kalau suami kita direbut pelakor, ikhlaskan aja buat apa lelaki bej4t dipertahankan, suatu saat bej4tnya bakal kumat lagi," sahutku, bibir ini gatal sekali kalau ga bicara.Kirana bibirnya cemberut, emang dia saja yang bisa menyindir, aku juga bisa kali.Acara arisan dimulai, Alhamdulillah aku yang dapat. Uang sebesar lima puluh juta berpindah ke tanganku, aku bingung mau diapakan uang ini."Selamat ya, Mbak, Risti. Baru aja pulang liburan sekarang dapat arisan beruntung banget Mbak ini." Mbak Seli memuji."Alhamdulillah, Mbak Seli, saya akan belanjakan uangnya buat peralatan bayi, mungkin ini rezeki si kecil." aku mengelus perut yang masih rata."Duh aku juga jadi pengen hami lagi nih, kayanya asyik ya hamil Mbak Risti ga mabok," sahut Bu Sisca dia panasan juga orangnya.Aku liburan ke Singapura dia mau juga ke sana, aku hamil dia pun ikutan mau hamil, ada-ada saja."Ayo dong, Mbak, bikin lagi mumpung masih muda genjot terus," sahutku bersemangat.Ka
(POV HANIF)"Ini semua gara-gara kamu tahu! Jaga kandungan aja ga becus!" Aku marah-marah di hadapan Kirana yang sedang kesakitan akibat keguguran. Bagaimana aku tak marah hilangnya bayi yang ia kandung karena ulahnya sendiri."Ini udah takdir, kok kamu nyalahin aku." Kirana melawan, itulah yang buat aku eneg sama dia.Sudah jelas ia terpeleset di dapur karena jingkrak-jingkrakan entah kenapa, ia tak menyadari ada minyak goreng tumpah dari atas dan mengalir ke bawah, lalu terinjak olehnya dan terpleset hingga dari selangk*ngannya keluar darah."Aku tuh udah lama pengen punya anak, kamu tahu itu. Dan sekarang kita udah mau punya kamu malah membunuhnya." Aku geram sekali."Bisa jadi Kirana keguguran itu karena terkena mata jahat, Hanif. Lihat aja akun sosmed istrimu itu, penuh poto-poto hasil USG," ibuku menyela.Aku pusing selama ini sudah capek mengalah terus. Di saat aku ingin punya anak dia malah di KB, setelah lepas KB dan langsung hamil malah keguguran.Kemudian aku teringat Ris
"Ini urusan kerjaan, kamu mana ngerti, udah sana tidur lagi," jawabku, padahal aku sedang telponan dengan seseorang."Oh ya sudah, di dalem aja nelponnya, di luar dingin anginnya gede." Setelah itu Kirana masuk lagi kamarnya.Aku lanjut telponan hingga larut malam, bahkan hingga vidio call dengannya. Kami ngobrol dan saling melempar canda, kalau bicara dengan dia rasanya nyaman sekali beda kalau sama Kirana.Dia adalah Seli, tetangga yang terhalang beberapa rumah, pertama kami berkenalan yaitu saat ia menjadi mediator di perusahaan tempatnya bekerja. Waktu itu perusahaannya ngajak kerja sama dengan perusahaanku.Sejak saat itu kami saling bertukar nomor Wa dan sering curhat masalah pribadi, hingga akhirnya hubungan kami sudah jalan sejauh ini. Jujur aku tak bisa lepas dari dirinya.Karena hubungan ini sudah menjadi candu aku pun selalu menyempatkan waktu untuk bertemu, misal jika pulang kerja, atau akhir pekan itu pun jika bisa lolos izin dari Kirana.Entah sampai kapan kami seperti i
(POV KIRANA)"Loh hape siapa ini, Mas? ini 'kan bukan hapemu?" tanyaku sambil mengangkat hape berbalut softcase pink itu setinggi wajah."Oh iya itu ponsel rekan bisnis Mas, jadi gini tadi Mas meeting sama moderator dari perusahaan yang kerja sama sama perusahaan kita, nah karena Mas pulangnya buru-buru jadi salah ambil."Kutelisik wajah Mas Hanif, firasatku ia berbohong tapi raut wajahnya mengatakan tidak, apa hanya ini prasangka buruk saja?Ponsel di genggamanku berbunyi lagi."Ini yang punyanya pasti nyari, sini Mas angkat." Mas Hanif merampas secara pelan ponsel itu dari tanganku."Iya, Bu. Ini ada sama ya, mohon maaf ya.""Baik, Bu, baik.""Yuk, malem.""Iya bener, ponsel Mas ada sama dia. Mas mandi dulu ya," ujarnya lalu melenggang dari hadapanku.Aku duduk sambil mengingat-ingat ponsel milik siapa yang tadi itu, perasaan aku pernah melihat tapi lupa di mana?"Mas, yang punya ponsel itu siapa namanya?" tanyaku saat kami hendak tidur."Rekan bisnis, Mas, Kirana." Mas Hanif menjaw
"Mereka itu ada hubungan 'kan?" tanyaku dengan mata berkaca.Mbak Risti malah menyeringai, tega sekali dia. Aku lagi sedih begini ia malah tertawa."Bisa jadi, kamu inget dulu saat mendapatkan Mas Hanif?" Mbak Risti malah bertanya begitu."Kamu bisa nikah sama dia setelah nyakitin istrinya, kamu godain Mas Hanif padahal tahu ia punya istri, sekarang ga menutup kemungkinan, kalau kamu yang akan ada di posisiku."Aku menganga, tak menyangka dalam hati Mbak Risti masih menyimpan rasa dendam, padahal kini ia sudah bahagia dengan suami barunya."Aku 'kan udah bilang, laki-laki tukang selingkuh itu ga bisa dirubah kecuali kalau dia benar-benar sudah diadzab, termasuk suami kamu, siap-siap ya Kirana sebentar lagi kamu akan merasakan sakitnya berada di posisiku." Mbak Risti menyeringai jahat.Aku diam tercenung mencerna ucapannya yang teramat menyakitkan. Tidak! Mas Hanif tak boleh selingkuh lagi, hanya aku wanita terakhir yang akan jadi istrinya."Yang, masuk yuk udah panas, tar muka kamu go
(POV Risti)"Mbak Ris, di rumah Nyonya Seli ada ribut-ribut." Bu Yani ART-ku melapor, tangannya menjinjing belanjaan."Ribut kenapa?" tanyaku sambil minum susu ibu hamil."Engga tahu tapi saya lihat tetangga baru depan rumah Mbak Ris itu marah-marah sama Nyonya Seli," jawab Bu Yani sambil membereskan belanjaan.Mungkin maksudnya Kirana, apa jangan-jangan Kirana melabrak Mbak Seli? ah aku jadi penasaran."Maksud Ibu Mbak Kirana? dia 'kan tinggalnya di sana di depan," ujarku makin penasaran."Nah iya Mbak itu, dia marah-marah tadi, serem pokoknya bahas-bahas pelakor lagi." Bu Yani bergidik.Karena penasaran aku pun melangkah ke depan, mau lihat keributan di sana, sepertinya seru juga."Mau ke mana, Yang?" tanya suamiku, dia masih pakai kolor karena hari ini tak ke pabrik."Mau ke rumah Mbak Seli," jawabku sambil pergi.Benar ternyata di rumah Mbak Seli ramai banyak orang, tapi keributan sudah tak terdengar, yang kudengar hanya ucapan lelaki dewasa, pak RT nampaknya.Lelaki yang selalu m
Aku mencolek sambelnya pake jari telunjuk, ternyata sambel rujak buatan Mas Lutfi lebih enak dari pada buatanku."Buahnya juga makan dong, Yang," sahut Mas Lutfi."Mas dulu ya yang makan, ini enak loh, ayo aaak." Aku menyuapi Mas Lutfi mangga muda yang sudah dicolek ke dalam sambelnya."Engga ah asem, kamu aja yang makan 'kan kamu yang mau." Mas Lutfi menolak."Mas dulu yang makan." Aku merengek manja, sementara Mas Lutfi mendesah."Asem, Yang." Mas Lutfi sampai nyengir-nyengir.Kandunganku sekarang sudah usia lima bulan, kata tetangga perutku belum kelihatan, aku jadi pesimis takut bayi di dalam sana kurang gizi."Saya dulu empat bulan aja udah kelihatan, kok Mbak Risti belum ya, jangan-jangan bayinya kurang gizi." Begitu kata Bu Silmi pas lagi arisan kemarin.Ditambah dengan omongan Kirana."Kasihan banget sih bayi Mbak sampe kurang gizi gitu, kaya aku dong, Mbak, makan buah, susu sama makanan bergizi biar bayi kita sehat." Begitu kata Kirana, dasar sok tahu.Sekarang wanita bermulu