Edric dan Zura kembali ke Jakarta dengan perasaan yang dipenuhi tanda tanya. Tadi mereka tidak jadi masuk ke rumah duka lantaran istri Yonathan mengatakan semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya semakin terasa aneh karena wanita itu memberi tahu kepada mereka bahwa ada yang mengirim se koper uang tunai kepadanya sebagai bentuk jaminan jenazah suaminya akan tiba di rumah dengan selamat.
Siapa? Dan untuk apa? Jika itu bukan orang Eco, then who? Siapa juga orang asing yang tiba-tiba mengenal keluarga Yonathan dan berbaik hati memberikan banyak uang dan bersedia mengurus semua hal tentang Yonathan di Dubai???
Tangan kiri Edric berada di kemudi sedangkan tangan kanannya bertopang di space kosong yang ada di pintu. Sedari tadi dia mencoba mengingat-ingat siapa saja karyawan Eco Paper yang berasal dari Indonesia. Bisa saja, semasa hidupnya, Yonathan sempat berbagi cerita tentang keluarganya.
Edric mengambil ponselnya dan mencari nomor H
Eh aku mewek lho nulisnyaaa.
Mereka tiba di apartemen tepat seperti dugaan Zura. Jam tujuh malam kurang sedikit. Saat baru saja mendorong pintu, Embun sudah berjingrak-jingkrak di pangkuan Santi, menyambut mereka. Dalam hitungan detik anak kecil itu melompat dan berpindah ke pelukan ibunya. "Aaaah, mama kangen Embunnnnn." Zura memeluk putrinya dengan begitu erat. Sampai kedua matanya berkaca-kaca lantaran masih merasa bersalah membuat mereka kelamaan menunggu. Edric meletakkan tas Zura yang sejak tadi dia pegang di atas sofa. "Embun, come to uncle. Biar mama mandi dulu." Edric menepuk kedua tangannya sebanyak dua kali, pertanda meminta Embun dari pangkuan Zura. "Baru juga dipeluk," protes wanita itu kemudian. "Kamu ganti baju dulu. Biar enak main sama Zura-nya." Setelah mencium Embun sampai puas, Zura pun menuruti perintah Edric. Masuk ke kamar dan mandi. Untungnya Embun sudah kompak dengan Edric. Dia dengan cepat melupakan mama yang sedari tadi dia rindukan.
Zura tidak tau apa yang merasuki dirinya sampai-sampai memutuskan untuk membawa ayah dari putrinya itu ke kamar tamu yang masih tersisa di dalam apartemen. Jari-jarinya mencengkeram pergelangan tangan Edric dengan kuat karena takut pria itu akan kabur.Edric pun tidak tau apa yang akan dilakukan perempuan itu. Dari belakang dia melihat kuncir kuda Zura bergerak-gerak kecil, sesekali menunjukkan tengkuknya yang putih itu lagi. Ah, dia belum punya kesempatan untuk meninggalkan tanda merah di sana.Zura mendorong pintu kamar dan menarik Edric masuk ke dalam. Yang terjadi selanjutnya, dia langsung mendorong pria itu ke daun pintu dan tiba-tiba menyerangnya dengan sebuah ciuman.Oke, Edric shock berat! Namun bibir Zura yang lembut sudah menerobos terlebih dahulu ke dalam rongga mulutnya. Tidak ada waktu untuk menganalisa kenapa dan untuk apa perempuan itu melakukannya. Dia tidak ingin membuang-buang waktu.Maka dari itu, tanpa berlama-lama lagi, Edric la
“Ini si Edric kenapa nggak angkat-angkat telepon lagi?” Chalondra merasa gemas lantaran sampai pukul sepuluh malam, putera sulungnya itu tidak memberi kabar akan keberadaan dirinya. Biasanya, kalaupun Ed akan pulang malam, dia akan selalu mengabari rumah. Dominic yang sedang rebahan di kasur hanya bisa memandangnya dengan kepala yang sedikit menggeleng. “Tadi ‘kan Calvin sudah bilang dia ke Bekasi bareng Zura. Kamu seharusnya bisa menebak dia ada di mana sekarang, Chalondra,” ujar Dom sambil menguap lebar. “Maksud Dad dia di rumah Zura?” “Hm. Seperti kemarin.” “Kemarin ‘kan dia sudah pulang jam sembilanan?” Chalondra masih ingin membela diri. “Mungkin kali ini menginap. Sudahlah, dia sudah besar. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan dia seperti itu. Sini, tidur.” Dominic menarik-narik ujung jubah tidur istrinya. “Nggak bisa gitu, Dad! Nanti Zura itu hamil lagi gimana? Tentang Embun saja belum kelar, sudah nambah bayi baru!
Insiden bersama Patricia tadi pagi ternyata membuat mood Edric jelek hingga siang harinya. Dia mendadak mengkhawatirkan sesuatu. Zura. Dia takut Patricia akan bertemu dengan Zura, entah kapan dan entah di sengaja atau tidak. Dia takut Zura salah paham dan menbuat wanita itu kembali mejauhinya. Jam sebelas siang dia memilih untuk cabut lebih awal. Beruntung kata Hendry dia tidak ada jadwal yang urgent, jadi dia bisa menemui Zura secepatnya. Dalam perjalanan menuju apartemen, Ed sambil menelepon wanita itu. Berniat untuk melepaskan stress dengan mendengar suara Zura yang merdu. Tapi panggilannya tidak ada jawaban. Barulah Edric sadar kalau bisa saja dia sedang bekerja. Alangkah bodohnya Ed karena melupakan hal penting tersebut. Namun dia tetap memutuskan untuk bermain dengan Embun saja di apartemen. Tidak lupa dia memberi kabar kepada Zura tentang kedatangannya, lewat pesan singkat. Suara alarm pintu terdengar setelah Edric menekan bel. Lalu, Santi dan Embun mu
Patricia masih mengurung dirinya di kamar setelah diusir oleh Edric. Semangatnya, harga dirinya, semuanya luluh lantah kala satu-satunya orang yang dia cintai ternyata sangat membencinya. Membencinya tanpa alasan dan sialnya Pat tidak punya kesempatan untuk menanyakannya kepada Edric. Salahnya di mana, dosanya apa, sehingga laki-laki itu tidak pernah mau membuka hati untuknya. Kurang hambar apa status pertunangan mereka empat tahun ini? Patricia sudah terlalu sabar mendengar omongan-omongan orang yang memojokkan dirinya. ‘Tunangan tapi kok nggak pernah diajak ke acara-acara resmi Inti Global?’ ‘Tunangan tapi kok praktek terus?’ Sampai-sampai Pat menjauh ke Singapore untuk menghindari judgement orang-orang tentang dia dan Edric. Apakah empat tahun masih belum cukup untuk Edric untuk melukai perasaannya? Kenapa sampai sekarang pun mereka masih belum bisa akur layaknya sepasang tunangan yag normal? Air mata di pipi wanita berusia tiga puluh itu tidak kun
Sebuah tarikan paksa dari Edric tak terelakkan oleh Zura yang sedang menangis sesenggukan. Pria itu bagai terkena sambaran petir ketika Zura membentaknya dan menyuruhnya pergi dengan embel-embel ‘kami tidak membutuhkan bapak’. Bagi seorang Edric, ucapan ini jauh lebih menyakitkan dari seorang investor yang menarik semua dananya dari Inti Global. “Lepas!” Zura memberontak. Mereka sudah menjadi tontonan orang-orang yang berada di luar sana. Namun Edric tidak peduli. Dia mendorong Zura masuk ke dalam jok dan mengunci pintu dengan remot control sesegera mungkin. Khawatir saat dia memutar dari depan mobil, wanita itu mencuri kesempatan untuk kabur. Setelah dia berhasil masuk ke dalam, dilihatnya Zura sedang berusaha membuka pintu. “Bisakah kita diam saja selama Embun masih bangun?” Edric langsung berucap sambil menatapa Zura dengan pasrah. Dia takut Embun akan mengingat pertengkaran mereka dan menyimpan ini di dalam memori otaknya. Dia tidak mau itu terjadi.
Zura melompat dari kasur dan langsung berlari keluar dari kamar. Santi yang berada di dapur terkejut bukan main. Zura membuka pintu apartemen dengan tidak sabaran. Lalu, saat pintu besi itu sudah terbuka, benar saja, dia melihat Edric masih berdiri di sana, bersandar di tembok yang ada di depan pintu. Zura menubruk tubuh tinggi Edric dan memeluknya erat-erat. Napasnya terengah, bahagia karena Edric tidak pulang dan tidak meninggalkannya. “I’m sorry,” lirihnya penuh rasa penyesalan. Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam di dada kekasih hati yang sudah begitu sabar menghadapi sikapnya. “Labil.” “I know.” Zura tidak mengelak. “Childish.” “Agree.” “Tempramental.” “You know that, but you still love me. Why?” Zura mendongak manja melihat Edric yang sudah tersenyum kepadanya. “Sometimes, we don't need a reason to loving some body, Zura. Just … love.” Zura tidak sabar lagi. Dia mendaratkan ciuman di bibir lak
Zoey tidak percaya apa yang baru saja dilakukan Zac kepadanya. Kedua matanya membulat sempurna, dia terperangah. Barusan ... Zac benar-benar menciumnya! Oh Tuhan!! "Shitt!! You are the craziest person alive!!!" Zoey mengusap bibirnya dengan kasar. Wajahnya memerah bagai kepiting rebus. Emosi tingkat tinggi membuat kepalanya mengebul, rasa ingin pecah. Zac tertawa sinis, ikut menjilat bibirnya juga. "Jika kau ingin berciuman dengan Jeff, ingatlah ciumanku." Itu saja yang dia ucapkan sebelum akhirnya keluar dari ruangan kembar bodongnya itu. Rasa cemburu telah membutakan matanya sampai-sampai berani mencium Zoey. Dia sudah melewati batas. "Aaaaaaaaaa!!!" Zoey berteriak di balik pintu yang baru saja ditutup oleh Zac. Dia marah, di benci, dia jijik, dia akhh! Kenapa Zac bisa kehilangan akal sampai menciumnya?? Merek saudara kembar yang notabene satu darah! Why?! Gila! Jika dia marah tentang Jeff, tidak seharusnya sampai melakukan hal tak wajar seperti itu.