Seorang gadis mungil tampak sedang berjalan, di sebuah tempat yang begitu gelap. Tidak ada cahaya penerangan sama sekali di tempat itu.
“Ma! Mama!” panggil gadis itu
“Pa! Papa!” panggilnya lagi.
Tubuhnya gemetar ketakutan. Dia benar-benar tidak bisa melihat apa pun di sana. Napasnya teras sesak, karena merasa ruang geraknya terbatas.
“Kak! Kak Ettan!” panggilnya dengan sedikit berteriak.
Dia benar-benar merasa sangat takut.
Di mana ini? Tempat apa ini?
“Ma!”
Langkah kecilnya terus saja melangkah, mengikuti apa yang dikatakan nalurinya.
Tidak tahu tempat apa ini. Tidak tahu tempat seperti apa ini? Mengapa tidak satu orang pun di sini?
Langkah kecil itu terus melangkah. Tidak peduli dengan tubuhnya yang menabrak sesuatu di sana-sini. Langkahnya terhuyung-huyung, karena kepalanya mulai pusing. Gelap, tempat yang begitu gelap dan sangat lembap.
Sampai indra penden
PlakkSuara nyaring terdengar menggema, di seluruh ruang tamu milik keluarga Askara.Sofia jatuh tersungkur, menandakan betapa kerasnya tamparan yang diberikan oleh sang ayah.Gadis itu mendongak, dengan mata berkaca-kaca. Apa salahnya? Sampai membuat ayahnya murka seperti ini. Bibirnya bergetar menahan rasa sakit, dan takut yang datang secara bersamaan.“Papa!” teriak Soraya. Wanita menatap nyalang sang suami, lalu berjalan menghampiri putrinya, dan membantu untuk segera berdiri.“Jangan membelanya!” teriak Bagas.Ini pertama kalinya pria paru baya itu berteriak, sedemikian.“Pa...,” panggil Sofia dengan suara bergetar.“Jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi!” hardik Bagas sekali lagi. Napas pria itu naik turun, menandakan emosi yang sedang memuncak.Ettan bergeming di tempatnya. Ada rasa ingin membela sang adik, tetapi kesalahan Sofia kali ini sangat fatal. Me
“Gugurkan bayi itu!” Tiga kata yang terlontar begitu saja dari bibir pria paru baya itu.Bukan hanya Sofia yang tersentak, Soraya, dan juga Ettan tak kalah terkejut ketika mendengar penuturan Bagas. Terdengar sangat kejam, bukan? Di sinilah Bagas menunjukkan tabiat aslinya.Sofia membeku. Lidahnya terasa kelu, dia tidak mampu berkata sepatah kata pun.Menggugurkan?Angannya kembali teringat akan mimpinya di rumah sakit tadi. Suara tangisan bayi, suara seorang anak yang memanggilnya dengan sebutan ibu.“Ibu ... kenapa kau menyerah? Bukankah ibuku adalah wanita yang hebat?”Perkataan itu terus saja menggema, memenuhi rongga kepala gadis mungil tersebut.Apakah semua mimpi itu suatu pertanda? Apakah suara itu benar-benar suara anaknya?Spontan tangan Sofia terulur, menyentuh perutnya yang masih datar.Apa benar sudah ada kehidupan lain di dalam perutnya tersebut?Perlahan tangannya mengusap pe
“Ma!” panggil Bagas dengan suara bergetar. Dia takut jika sampai terjadi sesuatu kepada istrinya.Ettan berlari setelah melihat ibunya jatuh pingsan. Di susul dengan Sofia di belakangnya.“Mama! Buka matamu, Ma!” Bagas terus saja berusaha membangunkan istrinya. Menepuk pelan pipi yang mulai terlihat keriput.“Kita bawa ke rumah sakit, Pa!” Ettan segera mengangkat tubuh wanita paru baya tersebut.“Mama,” panggil Sofia dengan suara bergetar.Dia sangat takut terjadi hal buruk kepada ibunya.Bagas menatap tajam putri bungsunya tersebut. Tidak peduli dengan Ettan, yang membawa Soraya masuk ke dalam mobil.“Jangan mengikutiku,” ancam pria paru baya itu ketika melihat Sofia hendak masuk ke dalam mobil.“Pa, biarkan Sofia ikut,” sergah Ettan. Dia tidak ingin berdebat lebih panjang lagi.“Semua ini gara-gara anak sialan sepertimu!” hardik pria it
Rintik hujan turun dengan sangat deras, menemani seorang gadis yang sedang berjalan di dalamnya. Dia tidak peduli dengan dinginnya air, yang mengguyur tubuh mungil tersebut. Saat ini dia hanya ingin menghilangkan segala sesak, yang ada di dalam dada. Menghapus segala jejak air mata, yang masih saja memaksa untuk terus mengalir. “Kau bodoh Sofia,” umpatnya kepada diri sendiri. Entah ke mana arah tujuannya, Sofia hanya berjalan mengikuti langkah kaki. Dia tidak pulang ke apartemen Ettan. Melainkan pergi dari keluarga itu untuk selamanya. Dia tidak mau melihat ibunya terus sakit, apalagi jika Ettan ikut bersamanya. Sudah cukup. Cukup Sofia saja yang pergi dari kehidupan keluarga Askara. Di dalam rintik hujan, air mata gadis itu terus saja mengalir. Dia menyesali semua kebodohannya. Kenapa harus seperti ini pada akhirnya? Langkah kecil itu terus melangkah, tanpa tujuan. Tidak tahu harus pergi ke mana? Sebab dia tidak memiliki siapa pun lag
Sejak pertemuan Sofia dengan pria bernetra biru beberapa hari yang lalu, gadis itu kembali mengubah sudut pandangnya terhadap seorang pria. Sudut pandang yang sempat membuatnya berpikir bahwa semua pria itu sama saja, brengsek. Hanya Ettan, pria terbaik yang pernah ada di dalam hidupnya. Namun, kini pria asing tersebut berhasil mengubah kembali pemikiran Sofia.Sudah hampir satu pekan, dia hidup di jalanan. Berbekal uang seratus ribu, sebisa mungkin Sofia menghemat pengeluarannya. Namun, hari ini dia sudah tidak bisa membeli makanan. Uangnya sudah habis sejak kemarin sore, padahal Sofia sudah berusaha sebisa mungkin menghemat pengeluarannya, hanya dengan memakan roti.Tangan kecilnya menyusut air mata yang kembali menetes. Baru kali ini dia merasakan bagaimana susahnya hidup tanpa orang tua. Bagaimana sangat bernilainya, uang yang selama ini dia habiskan begitu saja.“Sayang maafkan ibumu yang masih belum bisa memberikanmu makanan yang layak.”
Jakarta, 20 Maret 2018Nicholas berjalan dengan sangat santai, ketika sudah turun dari dalam mobil mewahnya. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Dia terlambat hampir satu setengah jam, jalanan di Jakarta begitu macet, sehingga membuatnya tidak leluasa melaju cepat jalanan.Langkah panjangnya terus saja melangkah. Dia tidak perlu terlalu terburu-buru, sebab hanya ada Kenzo saja yang menunggunya di sana. Mungkin pria itu akan sedikit mengomel, tetapi hal tersebut bukan masalah besar bagi Nicholas.Nicholas sudah terbiasa dengan ocehan panjang dari sahabatnya.Pria bernetra biru itu, melangkah menuju tempat yang sudah diberi tahu Kenzo sebelumnya. Restoran di dalam bandara yang masih bisa dikunjungi oleh publik.Nicholas hampir lupa, jika dari kemarin Sofia sama sekali tidak ada kabar. Terakhir kali dia ingat, tidak ada perdebatan yang terjadi diantara mereka. Merasa khawatir, pria Italia i
“Sofia!” Sofia menghentikan langkah kakinya, menoleh ketika mendengar suara yang seperti memanggil namanya. “Ada apa?” tanya Nicholas. Kini mereka sedang berjalan untuk segera keluar dari dalam bandara. “Seperti ada yang memanggil namaku,” ujar Sofia dengan melihat ke sana-sini. “Mungkin hanya perasaanmu saja.” Nicholas kembali merengkuh pinggang ramping Sofia. “Dai. Dovete essere tutti molto stanchi, giusto? (Ayo. Kalian semua pasti sangat lelah, bukan)?” Sofia mengangguk. “Sepertinya begitu. Ayo! El dan Ken juga pasti sudah di luar,” ujar wanita itu. Mereka berdua kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Selama itu, tangan Nicholas tidak pernah lepas dari pinggang Sofia. *** “Sofia!” teriak Arnold kencang. Pria itu menghentikan langkah kakinya. Napasnya sedikit terengah, belum lagi teriakan sang adik yang membuatnya hampir menjadi pusat perhatian. Bibirnya mendada
Setelah mengantarkan Kenzo ke apartemen yang sudah disediakan oleh pihak perusahaan, Nicholas membawa Sofia dan juga El ke apartemen pribadinya. Apartemen yang dulu sempat ditinggali Sofia sebelum pergi ke Milan, bersamanya.Sofia mengedarkan seluruh pandangannya. Menatap gedung tinggi yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya untuk sementara.“Maaf, untuk beberapa hari ke depan, kalian tinggal bersamaku di sini dulu. Apartemenku yang satu lagi belum dibereskan, karena aku pikir kau masih ragu untuk kembali,” ucap Nicholas membuyarkan lamunan Sofia.“Aku sangat merepotkanmu, Nic,” ucap Sofia tidak enak hati. Pria itu selalu saja membantunya.Nicholas menggeleng. “Sudah seharusnya kita saling membantu, karena ....”“Karena apa?” tanya Sofia ketika Nicholas menggantung ucapannya.‘Karena kalian berdua adalah tanggung jawabku. Aku tidak mungkin melepaskan kalian begitu saja.’&