Ini pertama kalinya Arnold menginjakkan kaki di perusahaan Askara Group. Pria itu menatap kagum desain interior perusahaan yang cukup ternama.
“Mari Tuan.” Aldi langsung menyambut kedatangan mereka berdua. Kemudian, mengarahkan keduanya untuk masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan.
Di dalam lift ketiga pria itu hanya diam membisu, dengan pikiran masing-masing.
Setelah lift berhenti, Aldi mempersilakan tamu mereka untuk masuk ke dalam ruang rapat. Lalu meminta Arnold dan Arzan untuk menunggu kedatangan Ettan sebentar lagi.
“Maaf, Tuan. Tuan Ettan sedang dalam perjalanan menuju kemari.” Aldi membungkukkan tubuhnya, merasa tidak enak, karena bosnya belum sampai kantor di jam seperti ini.
“Tidak masalah.” Arnold tersenyum miring. "Mungkin dia ada sedikit masalah.”
“Terima kasih Tuan.” Lagi-lagi Aldi merasa sungkan.
Sebenarnya Ettan memang tidak masuk bekerja hari ini, karena alasan penting. Namun, mengingat janji mereka beb
Beberapa saat sebelumnya.Arnold menatap keluar kaca jendela mobil, dengan perasaan jenuh. Netra abunya terus saja meneliti pemandangan sekitar. Apalagi perasaan gelisah masih terus saja mengusik pikirannya.Arzan menoleh sebentar lalu kembali menatap jalanan yang tampak lengang di depan.Mereka tidak melewati gang sempit, melainkan memutar arah mencari jalan yang lebih lengang. Hanya ada keramaian di depan gedung-gedung sekolah, yang mereka lewati tadi.Arnold menepuk pundak Arzan dengan tiba-tiba, ketika melihat sesuatu yang ganjil di kawasan sekolah yang baru saja mereka lewati.“Apa?” Arzan menoleh dengan sedikit tidak suka.“Lihat ke belakang!” Arnold memutar kepalanya, melihat ke belakang sana.“Apa?” Arzan masih tidak mengerti. “Mereka sedang menjemput anak-anak mereka. Itu hanya taman kanak-kanak, biasanya di jam seperti ini memang sudah waktunya pulang.”Arnold menepuk ba
Mobil sport milik Arnold terus saja membuntuti jeep hitam, yang sudah hampir satu jam berjalan.Kini mereka mulai memasuki kawasan yang terbilang sepi, tepatnya wilayah pinggiran kota. Pria itu jarang melihat rumah penduduk di sana. Hanya ada pepohonan rindang di tepi jalan.“Tempat apa ini?” tanya Arnold kesal. Pria itu ingin langsung memberhentikan jeep hitam di depan sana, tetapi dia teringat tujuan awal mereka mengikuti mobil tersebut.“Kita ada di pinggiran kota.” Arzan masih memusatkan perhatiannya. Dia tidak ingin jika jeep itu lepas sedikit saja dari pandangannya.“Kau sudah hubungi polisi?” tanya Arnold.Arzan menggeleng kuat.Melihat hal itu Arnold segera merogoh saku jasnya, untuk mengambil ponsel.“Shit, sialan!” umpat Arnold ketika tidak menemukan jaringan di ponselnya.“Ada masalah?” tanya Arzan tanpa menoleh sedikit pun.“Tidak jaringan di s
Di sisi lain.Sofia masih terus memaksa untuk ikut, ketika Nicholas mengantarkannya ke apartemen pria itu.“Biarkan aku ikut, Nic. El pasti sangat membutuhkanku.” Sofia memegang lengan Nicholas. Netra cokelatnya menatap pria itu dengan penuh harap.“Di sana sangat berbahaya, Fia. Kita tidak tau apa yang akan terjadi di sana.”“Lalu, bagaimana bisa aku membiarkan anakku dalam kondisi berbahaya seperti itu.”Nicholas menghela napas berat. “Kau percaya padaku, kan?” Tangan besar Nicholas membingkai wajah cantik Sofia.Sofia termangu. Bibirnya mendadak kelu, entah apa yang dirasakannya. Kini dia tidak bisa percaya kepada siapa pun, termasuk dirinya sendiri.Semua kejadian ini adalah kesalahannya. Bagaimana bisa dia mempercayai orang lain, atau dirinya sendiri di saat sang anak berada dalam kondisi berbahaya karena dirinya.“Aku janji akan membawa El pulang dalam keadaan baik-bai
Sofia bergerak gelisah, entah mengapa perasaannya menjadi sangat tidak tenang sejak tadi. Dia selalu memikirkan tentang keadaan anaknya.“Tuhan, tolong jaga anakku,” ujar Sofia seraya berdoa.Wanita itu berjalan ke dapur, lalu mengambil air di dalam lemari pendingin. Menenggaknya hingga kandas. Rasa khawatir membuat kerongkongannya terasa kering kerontang.Sudah hampir satu jam sejak kepergian Nicholas, tetapi pria itu masih belum menghubunginya untuk memberikan kabar apa pun.“Tolong jaga dia juga untukku,” lirih Sofia pelan, ketika ingat Nicholas. Bagaimana pun hanya Nicholas yang dia miliki saat ini.***“Halo, Ken. Bagaimana?” tanya Nicholas seraya menyetir mobil.Pria itu sedang berjalan menuju titik yang sudah dikirimkan oleh Kenzo sebelumnya.“Kami melacak mobil, dan menemukan keberadaannya di sekitar sini. Tidak begitu jauh. Apa kau masih lama?” tanya Kenzo di seberang san
Semburat merah mulai tampak di ufuk barat. Sang surya perlahan merangkak turun, berganti dengan terbitnya sang rembulan.Nicholas menyunggingkan senyuman, serta rasa lega ketika melihat El sudah tertidur di kursi belakang mobil. Meskipun, anak itu masih sedikit gelisah dan mengigau karena masih merasa takut.“Hai chiamato, Sofia (Kau sudah menghubungi, Sofia)?” tanya Kenzo tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan.Nicholas terlihat menggeleng. “Ponselku mati.” Pria Italia itu merebahkan tubuhnya ke belakang.Ada sedikit hal yang mengganggu pikirannya sejak tadi.“Qual era il nome dell’uomo che ha aiutato El prima (Siapa nama pria yang menolong El tadi)?” Nicholas bertanya sembari menutup rapat matanya. Jujur saja hari ini terasa begitu melelahkan.“Ah, quello... ho dimenticato di chiedere (Ah, itu ... aku lupa menanyakannya).” Kenzo menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalana
Sofia masih bergerak gelisah di apartemen Nicholas. Sejak tadi, pria itu sama sekali tidak menghubunginya.Sofia kembali meraih ponsel yang berada di atas meja. Dia kembali berusaha menghubungi Nicholas.“Oh, Nic. Kau ke mana?” lirih Sofia dengan gelisah.Wanita beranak satu itu terus bergerak gelisah. Ponsel Nicholas yang tidak bisa dihubungi kembali menambah kegelisahan di dalam dirinya.“Astaga, Nic kau di mana.” Sofia terduduk. Tangannya mengusap kasar wajah cantik yang dia miliki. Perlahan bulir bening yang sedari tadi ditahan, turun membasahi pipi mulus wanita tersebut.Sofia memeluk kedua kaki. Hatinya benar-benar diliputi rasa khawatir. Tentang bagaimana kondisi El, dan bagaimana kondisi Nicholas.Jujur saja, di hati wanita itu sudah dipenuhi segala tentang Nicholas. Hanya saja, Sofia masih berusaha keras menolak semua perasaan yang hadir. Dia tidak mau kalau sampai terjebak dengan perasaannya sendiri. Terlebi
“Hubungan bisnis. Kali ini aku menawarkan kerja sama sebagai rekan bisnis.”“E—eh.” Sofia tergagap mendengarnya.Wanita itu masih belum mengerti dengan arah pembicaraan Nicholas. Hubungan bisnis?“Aku tidak mau memiliki hutang dalam bentuk apa pun.” Sofia berkata setelah cukup lama memikirkan.Nicholas terkekeh mendengarnya. Sofia benar-benar polos dan tidak tahu dalam perihal bisnis. Meski dia tahu tentang latar belakang wanita itu, yang merupakan anak seorang pengusaha terkenal.“Aku tidak sedang memberimu hutang. Begini ....” Nicholas membenarkan posisi duduknya. “Anggap saja aku sebagai investor dalam usahamu. Aku akan menanamkan sejumlah uang, sebagai modal awal.”Sofia menganggukkan kepalanya berkali-kali. Kini dia mulai mengerti. “Bagaimana dengan masalah pembagian keuntungan?” tanya Sofia cukup serius. Baginya, modal awal untuk membangun sebuah usaha cukupl
“Apa berita yang aku dengar itu benar?” Arnold kembali bertanya.Pria itu seolah tahu, sumber dari semua hal yang membuat Grace datang. Jika semua itu benar, maka pertanyaan Arnold sama sekali tidak salah.“A-aku benar-benar tidak tau kenapa kabar itu bisa mencuat.” Grace memasang raut sedihnya.Akhir-akhir ini model ternama itu diterpa sebuah skandal. Banyak rumor dari berbagai pihak, yang menyebutnya menjadi seorang wanita panggilan pejabat kelas atas.Arnold menghela napas pelan. Dia sudah tahu perihal pekerjaan sampingan yang dilakukan Grace, selain menjadi seorang model.Bukankah dulu mereka bertemu karena pekerjaan itu?“Ternyata kau masih melakukannya?” Arnold melepas kacamata baca yang baru dikenakan.Grace mengangguk perlahan. Gaya hidup yang selalu mewah, memang membuat wanita itu gelap mata. Toh, selama ini dia bisa melakukan apa pun yang dia mau karena memiliki banyak uang.&ldquo