Sofia terlihat mengusap wajahnya dengan sedikit kasar. Wanita itu ketiduran dari sore sepulang dari kafe. Entah apa yang kini dilakukan oleh El, dia juga tidak tahu.
Dengan mata yang masih sedikit mengantuk, Sofia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Dia belum memasak makanan, untuk makan malam.
Wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Menanggali setiap pakaian yang menempel di tubuhnya. Lalu mulai mengguyur tubuh dengan air yang terasa sedikit dingin.
Rasa lelah yang beberapa saat lalu sempat mendera, hilang begitu saja. Dinginnya air yang menyentuh kulitnya langsung, membuat Sofia merasa lebih segar.
Tak butuh waktu lama, wanita itu segera menyelesaikan kegiatan di dalam kamar mandi. Dia harus segera memasak, sebelum El benar-benar kelaparan.
.
.
.
.
.
“El!” panggil Sofia ketika sudah ke luar dari dalam kamarnya. Mata berwarna cokelat itu mencari keberadaan anak laki-lakinya di dalam ruang
Arzan menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas sofa. Dia baru saja mengantarkan dokter keluarga yang memeriksa kondisi Arnold. Kondisi pria itu sedang tidak baik-baik saja. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Arnold sehingga dia mengalami gangguan kecemasan seperti ini lagi. Entah sudah yang ke berapa kalinya Arnold mengalami hal seperti ini. Awalnya memang terlihat begitu sepele, tetapi semakin kemari kondisi pria itu benar-benar menakutkan. Arzan mendongakkan kepalanya. Menatap langit-langit apartemen milik Arnold. Sepertinya, malam ini dia akan menginap di sini, untuk menemani Arnold. Arzan tidak bisa jika harus meninggalkan sahabatnya itu sendirian. “Siapa dia?” Tiba-tiba Arzan teringat akan perkataan Arnold sebelum pria itu benar-benar kehilangan kesadarannya. Dahi Arzan sedikit mengernyit. Dia tidak tahu siapa orang yang dimaksud oleh Arnold. “Apakah Sofia?” Mendadak kepalanya terasa berdenyut nyeri. Dia kembali m
Dareen berjalan dengan sedikit tergesa, sehabis menerima panggilan dari Arzan. Dia merasa sedikit khawatir.Lagi-lagi Arnold—kakaknya itu selalu saja menarik perhatian seorang Dareen. Entah apa yang sebenarnya mendasari perasaan khawatir yang datang dalam diri Dareen. Satu yang dia pahami, meskipun mereka tidak dekat, tetapi mereka tetap seseorang yang memiliki hubungan darah.Dareen menekan bel setelah sampai di depan pintu apartemen milik Arnold. Dia memang tidak tahu apa pun akses untuk masuk ke dalam sana. Dulu dia tahu, tetapi semenjak dia sering datang tiba-tiba, Arnold mengganti seluruh akses keluar masuk apartemennya, dengan dalih bahwa dia tidak suka diganggu.“Kau sudah datang?” tanya Arzan ketika sudah membuka pintu.Dareen mengangguk. Dia langsung saja masuk tanpa menunggu izin dari Arzan lagi.Melihat ruang tamu yang kosong, tanpa kehadiran Arnold, membuat dahi Dareen sedikit mengernyit. Satu pertanyaan yang terlintas
Di sinilah Sofia berada. Wanita itu terlihat berkali-kali meremat tangannya sendiri. Berusaha menghalau rasa gugup yang sejak tadi tidak bisa hilang.Nicholas menoleh. Menatap wanita yang sangat dicintainya itu, dengan tersenyum lembut. Diraihnya tangan Sofia yang terasa begitu dingin.“Kau gugup, Sayang?” tanya Nicholas seraya mengusap lembut tangan Sofia.Sofia menunduk. Wanita itu sama sekali tidak berani menatap wajah Nicholas. Padahal mereka masih berada di dalam mobil, tepat di depan rumah keluarga Nicholas.“Hei, kemari lihat aku!” Nicholas meraih dagu Sofia agar wanita itu menatapnya.“Aku takut.” Akhirnya bibir tebal milik Sofia berbunyi setelah cukup lama diam.Nicholas tersenyum. Dia paham dengan perasaan yang kini dialami oleh Sofia. Pria itu mendekatkan wajahnya. Menyingkirkan beberapa anak rambut yang memang dibiarkan oleh sang empu, tergerai begitu saja.Satu kecupan lembut mendarat d
Arnold kembali mengelilingi kota pada malam hari. Tidak ada yang dapat pria itu lakukan di saat dilanda sepi seperti saat ini.Jiwa itu telah lama merasakan kesendirian tanpa ujung. Bahkan, Arnold sama sekali tidak tahu tempat seperti apa yang harus dia kunjungi. Tempat di mana yang harus di datangi, dan siapa yang akan menjadi obat kegundahannya.Sejak kejadian beberapa hari lalu, Arnold semakin enggan berdekatan atau berbicara kepada siapa pun. Dengan Arzan sekali pun. Pria itu hanya ingin menghabiskan hari-harinya, tanpa gangguan dari siapa pun.Arnold melajukan mobil miliknya menuju taman kota. Dia ingin sedikit menghirup udara segar di malam hari.Sesampainya di taman kota, Arnold turun dari dalam mobil. Pria itu bersandar pada badan mobil, seraya menatap beberapa orang yang berlalu lalang di hadapannya.Taman kota memang terlihat begitu ramai di malam hari. Banyak orang berpegangan tangan sembari berjalan dengan tersenyum manis.Secerc
Sofia duduk dengan tersenyum kecil. Degup jantung wanita itu masih berdetak kencang tidak karuan. Bukan lagi karena gugup bertemu dengan Nicholas, tetapi karena kehadiran Alicia.“Mom,” panggil Nicholas kepada ibunya, yang sejak tadi hanya memandang Sofia dengan senyum penuh arti.“Eh, iya. Maafkan Mommy, Sayang.” Wanita paru baya itu menoleh, melihat ke arah suaminya.Sofia hanya bisa membalas dengan senyuman. Dia merasa canggung dengan situasi seperti ini. Situasi yang belum pernah dia hadapi.Sementara, Alicia masih duduk terdiam. Menatap Sofia dengan banyak pertanyaan. Ingin rasanya sejak tadi dia memberondong Sofia, tetapi Nicholas tidak mungkin membiarkan hal tersebut.“Siapa namamu, Sayang?”“Sofia, Mom. Aku sudah memberi tahu tadi, kan.” Nicholas menggeleng pelan. Pertanyaan macam apa itu.“Bukan kau, yang Mommy tanya!”“Sofia, Tante.” Sofia terseny
“Nicholas!” panggil Tuan Luciano kepada putra sulungnya tersebut.Nicholas menghela napas panjang. Dia sudah menduga bahwa kedua orang tuanya pasti akan bertanya lebih banyak dari perkiraan.“Dia wanita yang kau pilih, Sayang?” tanya Nyonya Elina begitu lembut. Dia suka dengan kepribadian Sofia yang menurutnya baik, dan sedikit pendiam.Nicholas mengangguk. “Dia wanita yang baik, Mom.”Nyonya Elina dan Tuan Luciano mengangguk mengerti. Ada senyuman yang terukir jelas di wajah kedua paru baya itu.Siapa yang tidak bahagia. Ketika mereka merasa bahwa Nicholas mungkin saja tidak menyukai seorang gadis, pria itu datang dengan membawa seorang gadis ke rumah mereka.“Jadi bagaimana latar belakang keluarganya?” tanya Nyonya Elina antusias. Dia tidak perlu menantu dari keluarga kaya raya, asal keluarga itu baik, Nyonya Elina sama sekali tidak akan mempermasalahkan hal seperti itu.“Mom,&rd
Kenzo berjalan dengan sedikit malas ketika mendengar suara bel yang tidak berhenti.“Sebenarnya siapa yang memiliki janji dengan Nic!” Pria Italia itu sedikit mengumpat kesal.Saat ini dia berada di apartemen Nicholas, bersama dengan El. Anak laki-laki itu baru saja terlelap, dan sampai saat ini juga Nicholas dan Sofia belum kembali.Dengan rasa kesal karena mendengar suara bel yang terus berbunyi, Kenzo membuka pintu dengan sedikit kasar.“Kenapa kau tidak bisa bersabar sedikit!” tukas Kenzo tanpa melihat siapa yang datang.“Jo!”“Di mana Nic?”Kenzo sedikit terkejut melihat kedatangan Jovita malam-malam seperti ini. Sejak kejadian beberapa waktu lalu, dia dan Nicholas memang tidak pernah lagi bertemu dengan Jovita.“Untuk apa kau mencarinya?” Wajah Kenzo terlihat begitu sinis. Dia adalah pria yang tidak suka berkata-kata manis jika memang tidak menyukai seseorang.
Nicholas duduk dengan perasaan gundah. Haruskah dia menceritakan segalanya tentang Sofia saat ini?Dilihatnya wanita bertubuh mungil yang kini serang tertawa bahagia, bersama ibu dan adiknya.Bibir Nicholas tersungging, jarang-jarang dia bisa melihat tawa Sofia seperti ini. Sebuah kejadian langka yang akan terus terekam dalam memori ingatannya.“Nic, bisa kita bicara?” Tiba-tiba saja suara Tuan Luciano membuat Nicholas sedikit terperanjat.“Apa sangat penting, Dad?”Tuan Luciano hanya tersenyum. Pria paru baya itu segera bangkit dan berjalan meninggalkan Nicholas, dan yang lain menuju ruang kerjanya.“Mau ke mana daddymu?” tanya Nyonya Elina heran.Nicholas terdiam. “Aku akan menyusul dad dulu.” Pria itu segera bangkit untuk segera menyusul ayahnya.***Kini Nicholas duduk dengan perasaan yang tak menentu di depan kedua orang tuanya. Meninggalkan Sofia dan Alicia yang masih