Share

Apakah Aku Masih Perawan?

Setelah berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Endokrinologi Reproduksi dan Infertilitas, yakni dokter Hendri, akhirnya diputuskan bila Ron dan Bela harus lebih dahulu dicek kesuburan sebelum nantinya diambil sperma dan sel telur. Sementara Harsha, harus mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung hormon untuk mempersiapkan kondisi rahimnya.

Setelah melalui hari-hari yang panjang dan proses yang melelahkan bagi Harsha, akhirnya tiba saatnya ia dibawa ke ruangan khusus di mana dokter akan menyuntikkan embrio Ron dan Bela. Karena harus bolak-balik ke kota, sementara keadaan ibunya belum stabil, Harsha terpaksa meminta bantuan pada perawat di rumah sakit untuk mengawasi ibunya selama ia tak ada.

"Sudah siap?" Dokter Hendri memperhatikan pasiennya yang nampak sangat pasrah di ranjang pasien.

"Siap, Dokter." Harsha menjawab dengan dada berdebar was-was. "Dokter, apakah setelah proses ini saya bukan lagi gadis perawan?"

Dokter Hendri meletakkan jarum suntik di tangannya dan mendekat di kepala Harsha.

"Dalam istilah medis, seseorang dinilai tidak perawan apabila selaput daranya sudah robek. Namun, itu saja tidak cukup, karena bisa saja selaput dara robek karena terjatuh atau kecelakaan. Jadi, selama anda belum melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis, itu artinya anda masih perawan, Nona."

Harsha mengangguk dengan lega setelah mendengar penjelasan itu. Sedikit kekhawatiran di hatinya mulai sirna.

"Kami akan melakukan prosedur itu dengan sangat hati-hati tanpa merobek selaput dara anda."

Dan proses mendebarkan itupun akhirnya dimulai. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Harsha membiarkan seorang pria melihat bagian paling intim di tubuhnya. Dengan air mata berlinang, Harsha merasakan sesuatu di bagian bawah tubuhnya masuk semakin dalam. Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya, terbayang wajah ibunya yang semakin membuat hati Harsha teriris nyeri.

"Maafin Harsha, Bu."

.

.

"Sha, Harsha."

Dingin, Harsha menarik selimut yang menutupi bagian kakinya hingga sebatas leher. Ia pingsan saat proses penyuntikan embrio itu berlangsung beberapa jam yang lalu.

"Harsha, kamu bisa mendengarku?"

Persekian detik, ingatan Harsha kembali ke momen di mana ia sedang berbaring dengan kedua kaki terangkat ke atas. Harsha sontak membuka mata dan sosok wanita cantik yang sedang tersenyum lantas membuatnya menghembuskan napas lega.

"Nyonya Bela," desis Harsha ditengah kebingungan yang menderanya.

Ia tak lagi berada di ruangan dingin itu. Harsha sudah dipindah ke ruang rawat inap.

"Kamu akan menginap di sini sampai besok. Ron akan menjagamu di sini karena aku harus pulang. Ada urusan penting yang tidak bisa aku tinggalkan." Bela mengalihkan tatapan pada suaminya yang duduk di sofa tak jauh dari ranjang.

Dengan lemah, Harsha menganggukkan kepala. Ia meraba perutnya yang masih rata. Apakah embrio itu sudah masuk ke rahimnya?

"Siklus satu berhasil disuntikkan ke rahimmu. Dokter tadi bilang, kamu dilarang banyak bergerak dulu setidaknya sampai nanti malam."

"Baik, Nyonya," jawab Harsha patuh. Ia melirik ke tempat Ron, di mana pria itu sedang sibuk dengan tablet di tangannya.

"Aku pergi dulu," pamit Bela sembari berbalik badan dan menghampiri suaminya, mengecup mesra bibirnya sebelum kemudian menghilang di balik pintu.

Ruangan yang mewah dengan segala fasilitasnya yang canggih. Harsha memperhatikan setiap sudut kamar rumah sakit yang justru mirip kamar hotel. Bahkan ibunya tak mendapat fasilitas semewah ini di kota kecil mereka.

"Apa kamu lapar?"

Pertanyaan Ron membuat Harsha menghentikan tingkah noraknya. Ia memperhatikan majikan ganteng itu dengan malu-malu.

"Sedikit, Tuan."

"Mau makan apa? Sekalian aku pesankan di restoran."

Singkat, padat dan jelas. Harsha selalu menilai Ron sebagai pria yang irit bicara. Sejak kecil, Harsha mengagumi sosok Ron yang kharismatik dan selalu berwibawa di manapun berada, Ron juga jarang tersenyum sehingga Harsha sangat sungkan untuk berbicara dengannya.

"Terserah Tuan saja," sahut Harsha keki, ia bahkan tak tahu apakah makanan favoritnya, Telur bumbu balado, dijual di restoran itu.

"Aku benci kata terserah."

Ron bangkit dari kursi, ia mendekat ke ranjang pasien di mana Harsha berbaring dengan wajah pias mengawasinya.

"Jangan jadi perempuan yang tidak punya pendirian dan bersembunyi di balik kata terserah," saran Ron dingin.

Sementara Harsha, seandainya bisa lari dan kabur, mungkin ia sudah melakukannya sejak Ron bangkit dari sofa. Aura Ron selalu menyeramkan dibalik sikapnya yang selalu terlihat tenang.

"Baiklah. Saya mau makan telur bumbu balado," putus Harsha dengan suara lirih.

"Telur apa?"

"Telur bumbu balado, Tuan. Apakah restoran menjual makanan itu?"

Ron memeriksa menu online di tabletnya dengan seksama. Keningnya mengernyit rapat dalam usahanya mencari makanan yang diinginkan oleh Harsha.

"Tidak ada." Ron menggeleng cepat ketika tak ada menu telur balado di restoran itu. "Pesan yang lain saja!"

"Baiklah, pesan nasi pecel saja kalo begitu."

"Tidak ada makanan semacam itu di restoran ini, Harsha. Jangan aneh-aneh!" bentak Ron frustasi mendengar nama makanan itu. "Biar aku saja yang pesan makanan untukmu!"

Dari ranjangnya, Harsha memperhatikan Ron dengan tatapan ngeri. Dibentak begini saja sudah membuat nyali Harsha menciut, apalagi jika harus berhadapan dengan pria ini selama sembilan bulan ke depan!

Tak lama, sensasi aneh di perutnya mulai mengusik ketenangan Harsha, ia hampir saja menurunkan kakinya sebelum Ron berteriak lagi.

"Jangan turun!"

Harsha menyentuh dadanya yang sontak berdebar kencang karena terkejut. Ia melirik Ron dengan takut.

"Saya mau ke toilet, Tuan. Saya kebelet pipis."

"Dokter melarangmu bergerak. Kencing saja di sana!"

"Apa!?" Harsha terbelalak syok. "Kencing di kasur ini?" serunya tak percaya.

"Kamu memakai kateter! Coba lihat itu!" Ron menunjuk selang kecil yang menjuntai di samping ranjang Harsha. "Jadi jangan banyak bergerak dan tetaplah di situ!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status