"Kamu kenapa?!! Nggak jadi tidur?" tanya Bagas saat Yana keluar dari kamar utama menuju ke kamar sang anak. Yana menggeleng lalu duduk di samping suaminya. "Kemarin aku sudah mencabut laporan ke kantor polisi."Yana pun lalu menceritakan semua yang dialaminya kemarin. Bagas dan Mamanya dengan antusias menyimak. "Ya sudah. Kalau itu keputusan kamu. Aku dukung. Aku setuju kok kita menyewa jasa pengacara untuk membantu Ani sesuai keinginan kamu," tukas Bagas. "Tapi masalah nya, barusan mantN suami Ani telepon.""Hah? Telepon kamu? Dia bilang apa?""Dia ngancem aku biar nggak bantuin Ani. Dia memang ingin nikah lagi, tapi dia juga tetap menginginkan nafkah dari Ani.""Ya Tuhan, egois banget ya. Lalu kamu jawab apa?" tanya Mama Bagas. "Yah, aku jawab sampai jumpa di pengadilan agama. Lalu telepon nya ku tutup.""Yah, benar sih. Enggak usah kamu ladenin dan kalau perlu blokir saja daripada mengganggu.""Kamu sudah nyari pengacara untuk kasus Ani?" tanya Bagas. Yana menggeleng. "Kamu
Ani menggigil melihat wajah penuh amarah Satria. Teringat beberapa kenangan saat dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Satria sebelum dia bekerja di rumah Yana. "Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan memukuliku lagi? Pukul saja lagi! Biar semua tahu kalau kamu pelaku KDRT. Sekalian ada saksi dan bukti untuk melaporkanmu ke polisi." Satria mendelik dan segera menyeret Reyhan ke menjauh dari ibunya. "Kesini kamu! Dasar anak tidak tahu diuntung! Kenapa kamu malah mau ikut dengan Ibumu yang mantan napi itu. Mau jadi apa kamu?" tanya Satria kencang. Namun manik mata Reyhan yang jelas menunjukkan tanda dia ketakutan membuat Ani berani menentang Satria. Reyhan yang tangan mungilnya nya ditarik sang ayah berusaha tetap menggenggam tangan sang Ibu. "Tidak. Reyhan akan ikut aku! Aku ibunya, Mas. Aku sudah lama tidak bertemu dengan anakku sendiri. Cukup kamu membuatku sebagai sapi perah!" Ani memeluk anaknya dan membuat mantan suaminya bertambah murka. "Tidak! A
Pengacara yang datang bersama Yana segera memandang ke arah seluruh orang yang berkerumun di sekitarnya. "Kalian telah mengetahui keributan ini. Dan sekarang lihatlah punggung anak ini yang penuh dengan luka!" seru pengacara itu seraya memperlihatkan punggung Reyhan pada beberapa orang yang berkerumun. Beberapa orang mendelik dan tercengang dengan bekas luka di punggung Reyhan. "Apa kalian selaku tetangga di sekitar korban tidak melihat adanya KDRT atau penyiksaan yang dilakukan pada anak ini?" Beberapa orang berpandangan lalu menggeleng serempak. "Maaf, kami tidak mau ikut campur, Pak," sahut salah seorang lelaki bertubuh pendek. Pengacara itu mengerutkan keningnya. "Saya akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Kalau kalian terbukti sudah melihat dan menyaksikan KDRT terhadap anak ini tapi mendiamkannya saja, kalian bisa juga saya laporkan pada polisi dan Komnas perlindungan anak dan wanita," tukas pengacara itu tegas. Suasana hening sejenak. "Oh, tetap tidak ada yang mau menga
"Astaghfirullah! Bu, apa Ibu mendengar suara di depan panti?" tanya Ani cemas. "Ibu dengar, Nak." "Lalu apa yang harus Ani lakukan?" "Kamu di sini saja. Biar ibu yang menemui tamunya." Ibu panti yang sudah berumur 63 tahun itu mengelap kedua tangannya dengan serbet kotak-kotak merah yang tergantung di dinding sebelah sink lalu bergegas meninggalkan dapur. "Bu, jangan pergi sendiri! Aku ikut!" seru beberapa orang perempuan yang mengenakan celemek. Bagian staf dapur. "Jangan, kalian di sini saja. Bahaya!" "Tidak. Kita hadapi sama-sama, Bu." "Seharusnya kita memakai jasa satpam untuk menjaga gerbang depan." Ibu panti itu menoleh pada Ani. "Uang darimana untuk membayar satpam, An? Kamu tahu sendiri kalau uang dari donatur hanya cukup untuk makan ala kadarnya dan membayar sekolah anak-anak." Ani menatap kedua mata ibu panti asuhan yang telah dianggap nya ibu sendiri. "Jangan cemas, Bu. Ani akan mencari cara untuk menghasilkan uang lebih banyak dan mendayagunakan anak-anak panti."
"Hap!" Remaja itu dapat menangkap tangan Satria tepat waktu. Sehingga bogem mentah pemuda itu mendarat di telapak tangan si remaja. "Bapak yang memulai duluan ya? Saya keamanan di sini dan bertanggung jawab akan ketertiban di panti ini!" Remaja itu melepaskan cekalan tangannya dan mundur selangkah lalu mengatur kuda-kuda untuk memberikan serangan balik sekaligus untuk menghadapi Satria. Tiga orang remaja lain mendadak berbaris di samping remaja pertama dan melakukan kuda-kuda yang sama. Satria berdecih. "Ck, seperti inikah cara bertarung kalian? Keroyokan? Tidak tahu malu!" "Wah, bapak rupanya tidak berkaca ya?! Justru Bapak yang tidak tahu malu. Umur sudah tua tapi beraninya melawan remaja. Lagipula Bapak ini laki-laki, berani nya melawan ibu panti!" seru pemuda itu tidak mau kalah. "Apa kamu bilang, anak kecil tidak punya sopan santun!" Hiyah! Satria merengsek ke arah remaja itu dan melayangkan tinjunya. Remaja itu menangkis tangan kanan Satria dan melayangkan tendangan
Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An
Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r
Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng